29. third step: ultraviolet

33.4K 7.6K 1.8K
                                    

Mungkin kalian lupa, biar kujelaskan lagi kenapa aku sangat khawatir pada Renjun. Ini semua karena Renjun tahu tentang dunia yang seharusnya dia tidak tahu. Kawanan vampir akan membunuh siapa pun manusia yang tahu keberadaan mereka. Aku tidak mau itu sampai terjadi pada Renjun.

Kecemasanku rupanya sangat parah hingga terbawa sampai alam bawah sadar. Aku mimpi Renjun ketahuan lalu darahnya dimakan ramai-ramai. Kematiannya ditutupi sebagai kasus bunuh diri seorang bintang muda yang diam-diam depresi. Gila ㅡuntung cuma mimpi.

Bertolak belakang sekali dengan kenyataan yang kulihat begitu bangun dari mimpi buruk dan membuka ponsel. Pesan dari Renjun, isinya tidak penting seperti biasa, menyuruhku menonton video yang menurutnya lucu berikut menyertakan link.

"Tch, dasar barongsai," gumamku kemudian tersenyum lega.

Kubalas video lucu Renjun lagi-lagi dengan pertanyaan dia aman atau tidak, dan himbauan supaya hati-hati. Apalagi belakangan Jeno lebih sering tidur di rumah ini daripada di dorm, kami serba salah antara mengawasi Renjun atau menjauhinya supaya tidak ketahuan kalau dia sudah tahu tentang keberadaan para vampir.








"Miaw~"

Karena mendengar suara Kucing, kukira hanya dia yang akan muncul. Tapi rupanya saat pintu kamar terbuka malah sosok Jeno yang muncul, diikuti sekitar tiga kucing liar yang sering kuberi makan. Dia bersin-bersin.

"Ck- orang aneh ini lagi. Alergi tapi main kucing terus," aku mengomentari Jeno.

"Mereka yang nekat ikut masuk, padahal udah kukasih makan di luar," sahutnya.

"Berarti mereka belum kenyang. Kamu dari mana?" tanyaku sambil berjalan keluar kamar menuju dapur. Jeno keluar rumah cukup lama tadi.

"Ke dorm," jawabnya singkat.

"Oh." Kukira Jeno habis menatap dari jauh gadis pujaannya di rumah sakit.

Jeno di belakangku, diikuti tiga kucing, jadi semacam pawai kecil sepanjang koridor sempit yang menghubungkan ruangan-ruangan di rumah ini. Mungkin lebih baik memberi para kucing susu saja karena Jeno sudah memberi mereka makan. Saat aku berbalik setelah menutup pintu lemari, tubuh lebar Jeno sudah ada di depan hidungku.

"Astagaㅡ heh kamu ngapain sih??" protesku.

Tanpa mundur, Jeno malah melengkungkan punggung supaya mukanya sejajar dengan mukaku. Dia tersenyum lebar sampai giginya kelihatan semua.

"A-apa?" tanyaku, agak merepet.

"Udah nggak kayak vampir kan?" kata Jeno masih sambil meringis.

Ya ampun, kukira dia mau apa. Aku mendorong pundaknya yang keras.
"Minggir. Kayak nggak ada cara lain buat tanya aja," gerutuku.

Jeno cengo. "Aku salah apa? Kan cuma tanya?"

"Harus banget sekarang? Di tempat ini??"

"Habisㅡ kamu tadi langsung ke dapur, ya udah aku ikut," dia mengangkat bahu. "Sebelah mana salahnya??"

Aku mendecih. "Nggak sadar ya bikin kaget? Kamu kan gede!"

"Apanya?" Jeno melihat dirinya sendiri.

"Tangan, pundak, semuanya. Itu lumayan mengintimidasi, tau. Jadi jangan deket-deket, aku kaget," jelasku dalam satu tarikan napas.

Di luar dugaanku Jeno malah tertawa kecil.
"Kirain kenapa," ujarnya. "Tapi nggak apa-apa. Aku suka kalo kamu lagi ngomel."

Kutanggapi dengan rolling eyes sambil menyiapkan susu kucing.
"Bullshit~" sahutku.

"Serius, Ron baby. Kan kata orang kalo sering ribut berarti akrab hehehehehe."

"Berhenti bersikap pura-pura jadi pacar, oke? Inget sama cewek yang di rumah sakit," tukasku.

"Ey, jangan cemburu. Beda konteks," Jeno mengacak poniku.

Aku berkelit. "Ngomong-ngomong soal pacarmu, jadi kapan kamu siap buat ritual selanjutnya?"

Helaan napas keluar dari mulut Jeno. Dia menunduk, menatap tiga kucing yang kuberi minum. Raut wajahnya selalu tampak muram kalau aku menyinggung gadisnya. Aku mengerti, itu namanya cinta.

"Dia bukan pacarku. Belum," ujar Jeno. "Atau mungkin nggak akan pernah."

"Kenapa? Tinggal dua ritual lagi, sejauh ini semua baik-baik aja. Sebentar lagi kamu jadi manusia."

"Iya sih, tapi aku nggak yakin nanti bakal berani bilang suka atau nggak," Jeno terkekeh malu-malu. Ekspresinya lucu, membuatku ikut tersenyum walaupun di saat yang sama rasanya menyakitkan.

"Yahㅡ cewek nggak suka orang membosankan yang seleranya aneh," gurauku.

Jeno mengangguk. "Cewek-cewek sukanya pasti yang kayak Jaemin."

"Jaemin siapa?" tanyaku.

"Yang kamu bilang bau detergen."

"Oh... anak itu. Aku nggak kenal jadi nggak tau," aku mengangkat bahu.

"Jadi yang kenal siapa? Renjun? Chenle? Kayak di film nggak nih murid dan guru ada apa-apanya?" ledek Jeno.

Aku memukul pundak batunya. "Nggak ada. Mereka semua bocah. Lebih cocok jadi adikku."

Raut wajah Jeno berubah saat aku menyebut kata 'adik'. Yah, sebenarnya itu memang sensitif. Tapi tidak lagi setelah aku sudah menyerah mencari dia.

"Kenapa?" tanyaku melihat Jeno bengong menatapku.

"Maaf. Selama ini kayaknya aku nggak bantu apa-apa buat cari adikmu. Sementara kamu udah berbuat banyak, demi aku. Nggak adil kan?" ucapnya.

"Jangan bilang gitu. Dari awal aku emang nggak punya banyak petunjuk. Bukan salah siapa-siapa, aku yang terlalu naif dan berharap," jawabku santai, walaupun sedih sih.

Jeno menggenggam tanganku yang memegang tempat minum kucing. Ingin kulepas tapi tanganku berkhianat.

"Kalau keadaannya udah membaik, kalau aku udah jadi manusia, mungkin kita bisa mulai cari petunjuk dari awal. Jangan pernah merasa sendiri lagi, oke?" ujar Jeno tulus.

Senyum tipis muncul di bibirku. Seandainya ini film Twilight, waktunya aku sebagai heroine mengalungkan lengan pada leher Jeno lalu dia menciumku dan semua akan menjadi lebih mudah dihadapi karena kami bersama. Tapi ini bukan film vampir romantis, jadi aku hanya bisa menatapnya balik dengan cara bersahabat agar dia tidak merasa aku menjijikan atau liar.


drrrrrtttttt drrrrrrrrttttt

Karena ponselnya bergetar di saku jaket, Jeno melepas tangannya lalu segera melihat  ponselnya. Pupilnya mengecil saat cahaya layar ponsel memantul di wajahnya. Jeno segera menempelkan ponsel ke telinga.

"Halo? A-apa? Oke. Iya, terima kasih."

Percakapan yang singkat dan sulit kumengerti. Setelah telepon diputus Jeno menundukkan kepala, nafasnya terengah berat dan dalam. Kurasa ada sesuatu yang tidak bagus terjadi.

"Ada apa?" tanyaku to the point.

Jeno menoleh, wajahnya sangat panik. Dia menatapku nanar, membuatku takut.

"Ritual selanjutnya... hari ini aja bisa nggak? Hidup Jinsoo... mungkin nggak lama lagi," ucap Jeno dengan bibir bergetar.

ㅡtbc

ㅡtbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Werevamp ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang