Seumur hidup aku belum pernah opname di rumah sakit. Baik rumah sakit vampir, apalagi rumah sakit manusia. Waktu orang tuaku masih lengkap, aku terlalu bahagia dan terawat untuk sakit. Sedangkan waktu mereka berdua sudah tiada, aku terlalu miskin untuk biaya rumah sakit.
Entah jam berapa, yang jelas ini sudah malam. Aku membuka mata lagi, merasakan nyeri di seluruh tubuh. Tanganku ditancapi selang infus dan aku terbaring di atas ranjang pasien. Ini rumah sakit. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku jadi pasien opname.
Saat menoleh ke kiri, aku ternyata tidak sendirian. Ada satu ranjang pasien lagi. Walaupun lampu sudah diredupkan, tapi cahaya bulan cukup terang menerobos jendela. Mataku mengenali seseorang yang terbaring sekitar satu meter dariku, Lee Jeno.
"Udah bangun?" ujarnya lirih, aku kaget. "Jangan kaget, aku udah siuman sekitar satu jam yang lalu. Berharap ada orang yang bisa dimintai penjelasan, tapi kayaknya ini udah terlalu malam jadi nggak ada yang ke sini."
"Di sini nggak ada jam?" tanyaku. Suaraku aneh sekali, sangat parau.
"Kayaknya nggak," Jeno menyahut.
Aku menggeliat, mengerahkan tenaga untuk melihat ke sekeliling. Di atas nakas ternyata ada barang-barangku diletakkan begitu saja. Ponsel, jam tangan, dan kemasan kecil gummy bear.
"Ada handphone-ku, sebentar, biar aku liat..." ujarku.
Kuulurkan tangan ke nakas, tapi tidak sampai. Apalagi badanku lemas. Gagal mengambil ponsel, aku menggerutu pelan dengan napas terengah-engah. Yang bisa kulakukan hanya menghempaskan diri lagi ke tempat tidur.
"Kenapa? Nggak kuat bangun?" tanya Jeno. "Wah... kirain kamu nggak separah itu. Tunggu, aku aja yang ambil."
Tadinya mau kularang Jeno, tapi dia sudah melepas selang oksigen dari hidungnya kemudian berjalan pelan-pelan berpegangan pada tiang infusan.
"Awas, hati-hati..." aku waswas melihat dia berjalan gontai.
"Nggak apa-apa kok, tenang aja," Jeno tersenyum tipis. "Nah, akhirnya kita tau waktu. Jam dua dini hari."
"Wow," kutatap layar ponsel yang ditunjukkan Jeno. "Pantesan nggak ada orang."
Mendadak napas Jeno terengah-engah, dia memegangi dada sambil mengerang. Aku langsung panik.
"Kenapa? Sakit lagi? Makanya jangan bangun dulu!" tukasku.
"Ini... ambil handphone-nya..." dia menyerahkan ponselku kemudian berpegangan pada pinggiran tempat tidur sambil masih memegangi dada.
"Coba duduk dulu, ke sini," aku bergeser setelah meletakkan lagi ponsel di nakas, memberikan cukup ruang untuk diduduki Jeno.
Sulit karena sekarang aku lemah sekali, tidak bisa berbuat apa-apa selain berbagi tempat. Jeno menurut, dia duduk di ranjang pasienku, tidak lama kemudian ambruk ㅡ berbaring telentang.
"Sorry, jadi sempit," kata Jeno, masih mengatur napas. "Padahal tadi aku udah merasa sehat."
"Nggak sempit kok. Yah, kamu keliatan jauh lebih baik sekarang, aku lega. Tapi mungkin di dalam sini belum sempurna, jadi jangan nekat dulu," kuletakkan tangan di dadanya, merasakan detak jantung yang entah kenapa membuatku agak ngeri.
Jeno memegang tanganku di dadanya sambil mengubah posisi menjadi miring sehingga kami berhadapan. Mata bulan sabitnya memicing menatapku dalam remang cahaya bulan. Dia tampak sempurna, kulitnya berkilauan tanpa urat-urat hitam menonjol seperti sebelumnya.
"Aku kira semua udah berakhir, gagal. Ternyata aku masih hidup," ujarnya.
Hatiku pedih lagi mengingat semua yang terjadi dua hari belakangan, tapi kusembunyikan dengan senyum palsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Werevamp ✓
Fiksi PenggemarBukan cuma manusia yang bisa jadi vampire, vampire juga bisa jadi manusia lagi loh! Tidak percaya? Ikuti aku dan Lee Jeno, kami werevamp ㅡum, maksudnya werevamp dan calon werevamp. ©smallnoona 2018