Senin pagi merupakan waktu terberat bagi para pekerja. Tau kenapa? Karena senin pagi bagai pengingat bahwa waktu istirahat sembari bermalas-malasan sudah habis. Senin pagi mengingatkan beban yang akan dihadapi para pekerja seminggu ke depan.Itulah yang dulu pernah dipikirkan oleh seorang gadis yang tengah tersenyum mematut dirinya didepan cermin saat ini. Seakan bukan dirinya, dia tersenyum geli sambil melihat pantulan bayangan di depannya sekarang. Dulu pikiran negatif itu selalu ditanamkan diotaknya.
Namun, Semua pikiran negative itu bertolak belakang dengan kondisi Dinaya yang sangat bersemangat mengawali harinya pagi ini. Dinaya dengan semangat bangun pagi dan senyuman manis yang selalu bertengger di bibirnya sejak keluar kamar membuat semua keluarganya memandang takjub.
Ada apa dengan Dinaya?
Biasanya dialah yang paling malas di senin pagi, bangun selalu telat, wajah cemberut dan ga pernah sempat sarapan karena selalu telat berangkat kerja. Sekarang dia berubah 180 derajat.Ari dan Iki yang sejak tadi memperhatikan tingkah tidak normal kakaknya hanya bisa saling pandang. Mama dan Papa tersenyum bangga dengan perubahan sulung mereka.
"Lo kesambet apa semalem?" Ari menatap kakaknya horor. Dinaya tersenyum manis padanya, Ari merasa bulu kuduknya merinding.
"Iya kak, kakak kelihatan ga normal" Dinaya melotot pada adik bungsunya. Iki menatap Dinaya seperti punya kelainan jiwa.
"Iki bener, lo kayak lagi kerasukan sesuatu terus menjadi orang lain" Ucapan Ari membuat senyum manis Dinaya menghilang seketika.
"Dasar adek-adek durhaka!! Emang menurut kalian normalnya gw itu gimana?" Dinaya lanjut memakan sarapannya yang sempat terhenti akibat ucapan adik-adiknya.
"Kayak lo yang biasa lah, petakilan, cuek, senin pagi selalu telat dan senggol bacok" Iki mengangguk mendengar penjelasan Ari.
"Itu namanya ga normal" Dinaya cemberut.
"Itu normalnya elo, kalau yang sekarang malah kelihatan ga normal" Ari mematahkan semangat Dinaya yang sudah membara sejak semalam.
"Shittt!!!"
"Ehh, ngomongnya!" Mama menegur Dinaya, dan wajahnya makin cemberut.
"Jangan dengerin adik-adikmu. Kamu hari ini cantik banget dan sikapmu udah kayak anak gadis siap berumah tangga sampai nyiapin sarapan buat keluarga" papa tersenyum bangga.
"Gimana pilihan mama? Kamu berubah gini gara-gara Dani kan?" Mama menuntut jawaban dari Dinaya.
Dinaya menatap dua adiknya yang balas menatapnya dengan raut wajah penasaran.
"N-nggaklah.. masa baru ketemu sekali udah langsung ngaruh sama sikapku. Dia belum sehebat itu buat ngerubahku. Butuh beradaptasi sama aku dulu baru aku bisa nentuin dia pantas atau ga" Dinaya mendapat tatapan aneh dari 4 orang yang ada di sekelilingnya.
"Kenapa liatin aku kayak gitu?" Dinaya gugup merasa risih ditatap intens seperti itu.
"Secara ga langsung lo ngaku kalau perubahan ini karna cowok yang bernama Dani itu"
"Hus, bang Dani. Kalian harus terbiasa. Kayaknya pilihan mama kali ini bakalan berhasil deh" mama mengedip pada Dinaya. Papa tersenyum. Dua adik cowoknya hanya saling bertatapan seakan ada yang sedang direncanakan.
"Non, ada temennya di depan. Katanya mau jemput non barengan ke Rumah Sakit" mbak Wati kembali keluar setelah mendapat anggukan dari Dinaya.
"Aku berangkat dulu ma, pa. Upin ipin bye. Assalamualaikum..." setelah mencium kedua tangan orang tuanya dan adik-adiknya mencium tangannya, Dinaya keluar ruang makan dan pergi dengan cowok yang menjemputnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Possesive Bro (End)
General FictionSiapa sangka seorang Dinaya Feriawan, dokter cantik, elegan dan sangat seksi itu masih menjomblo selama 25th hidupnya, alias jomblo seumur hidup. Bukannya dia punya kelainan soal percintaan, dia mau dan ingin. Hanya saja Perjuangannya selalu terhamb...