5

3.1K 166 0
                                    

"Hola sister!"

Dinaya kaget dan membuat sendoknya jatuh ke piring sehingga kuah lontong sayur terciprat mengenai hoodienya. Sumpah serapah sudah terpikirkan diotaknya sejak melihat noda di bajunya.

"Njirr, jantung gw!! Lo mau mati hah?!" Dinaya melotot marah pada Ari. Ups! Dinaya lupa disebelahnya ada Dani. Dinaya menoleh pada Dani yang terlihat shock dengan sikap kasarnya barusan. Biasanya Dinaya selalu anggun dan menjaga sikap didepan Dani.

Ari cengengesan lalu dia dengan cueknya malah memesan lontong dan langsung makan dengan lahap.

"Dan, sorry. Lo kaget gw marah-marah kayak tadi?" Dinaya sebenarnya hanya sedikit merasa bersalah. Toh Dani harus tau sisi devilnya sebelum dia memutuskan melamar dirinya. Dinaya menatap Ari yang masih sibuk makan didepannya. Dia memukul tengkuk Ari yang baru selesai minum.

"Uhukk.. eh nyet. Kalo gw mati gimana?!" Minuman Dinaya sudah di teguk habis olehnya.

"Buktinya ga mati kan? Nyesel gw mukul pelan" Dinaya tersenyum sinis.

"Awas lo ya, gw penjarain 24 jam baru tau rasa!"

"Coba aja" Dinaya mencibir.

"Maaf, lo siapa?" Dani akhirnya bertanya karena sangat penasaran dengan sikap cowok itu yang sepertinya sangat mengenal Dinaya.

"Gw Ari. Dan lo Dani. Gw udah tau" Ari meringgis merasakan nyeri di bahu kanannya setelah di pukul Dinaya saat sedang berjabat tangan dengan Dani. Sepertinya Dinaya emang berniat mau nyiksa tubuhnya.

"Dia lebih tua dari lo. Panggil bang Dani"

"Lo aja ga pake embel-embel abang" cibir Ari.

"Gw beda" Dinaya balas mencibir

Dani kelihatan bingung. Dua orang ini ga bisa berhenti berdebat. Dirinya sedikit cemburu melihat Dinaya yang selalu meladeni Ari membuatnya merasa terabaikan.

"Oke, cukup berantemnya. Gw butuh penjelasan"

Dimata Ari, Dani terlihat sedang cemburu. Dia tersenyum jahil memikirkan rencana jahat di otaknya. Sedangkan Dinaya membiarkan Ari yang sudah akan memulai rencananya. Dinaya selalu bisa menebak ekspresi Ari dan apa yang akan dilakukannya. Sekali lagi, Dinaya sudah terbiasa.

"Oke. Gw saling kenal sama Dinaya bahkan kita sangat dekat. Saking dekatnya kita sering tidur bareng" Ari mengedipkan matanya pada Dinaya.

Dinaya memutar bola matanya. Dia memilih berdiri dan membeli cilok di sebelah gerobak lontong sayur.

"Maksud lo?" Dani seperti tidak percaya. Pikiran buruk itu kembali ke otaknya, apalagi wajah Dinaya yang menanggapi dengan santai ucapan Ari.

"Kita sama-sama tau Dinaya itu cantik dan sexy. Pesonanya ga bisa diabaikan. Makanya gw sering ga suka dia jalan sama teman-teman cowoknya" Ari tersenyum kepada Dinaya yang sibuk bercanda dengan ibu penjual cilok. Sedangkan Dani sibuk dengan pikiran negatif yang makin bertumpuk di otaknya.

"Walau kadang kita suka debat sama hal ga penting, gw percaya Dinaya akan selalu nurutin kemauan gw karena dia sayang banget sama gw. Dia sering bilang gitu kalau gw lagi sakit dan dia yang ngerawat sampai gw sembuh. Jadi, kalau gw nyuruh dia buat ngejauhin elo, dia pasti nurut" Ari tersenyum tertahan melihat ekspresi Dani yang sudah berubah marah dan cemburu.

"Lo berusaha manas-manasin gw?" Dani berkata tajam. Jujur dia cemburu dan kecewa. Dia sudah berharap banyak pada Dinaya tapi fakta ini menyadarkannya bahwa dirinya hanya dipermainkan, sama dengan setahun lalu yang dilakukan mantan tunangannya.

"No, itu fakta. Dan gw selalu bangga sama sikap Dinaya terhadap semua cowok yang ngedeketin dia" Ari mendekapkan tangan di dada. Dia sangat puas melihat ekspresi Dani. 'Ternyata dia gampang nethink, ga seperti bawaannya yang kalem' pikir Ari.

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang