"Dinaya!!"Dinaya menoleh pada pemilik suara yang tampaknya berasal dari arah belakangnya. Dani berlari kecil mendekati Dinaya yang menatapnya datar.
"Kenapa?"
"Gw perhatiin dari tadi, lo kayak banyak pikiran dan lemas ga bersemangat. Kenapa?" Dani khawatir tentu saja. Dia terus memperhatikan Dinaya sejak bertemu di bangsal penyakit dalam waktu visite pasien.
Dinaya menutup mata sebentar dan menghela napas berat. Apakah sejelas itu?
"Gw cuma lagi banyak pikiran karena pasien gw membludak" Dinaya tidak sepenuhnya bohong. Pasiennya memang sangat banyak.
"Mau gw bantu?" Dani tersenyum tulus berharap Dinaya mau berbagi beban kepadanya. Dinaya menggeleng lalu melanjutkan langkahnya.
Mereka berjalan beriingan menuju kantin rumah sakit.
"Pasien lo hampir sebanyak pasien gw. Ga usah sok-sokan nawarin bantuan" Dinaya membuka pintu kantin dan pada langkah pertama dia terhenti. 2 meja dari tempatnya berdiri ada orang yang sangat tidak ingin dia temui untuk saat ini. Dinaya masih dalam tahap pemulihan hati dan pikiran. Kenapa orang itu malah muncul disaat yang belum tepat.
"Kenapa diam aja. Ayo pesen" Dani menarik tangan Dinaya menuju counter makanan. Dinaya menurut dan memalingkan wajah ketika melewati meja orang itu yang tengah duduk bersama dokter spesialis saraf di RS ini.
"Mau makan apa?"
"Nasi capcay seafood pedas"
"Bukannya asam lambung lo sering naik?" Dani menatap Dinaya dari samping. Dia khawatir lagi.
"Iya gapapa, gw udah minum obat tadi" ucap Dinaya cuek.
"Ya udah samain aja bu. Dua ya!" Dani mencari meja yang kosong. Biasanya jam segitu tidak banyak orang yang mengisi kantin karena sudah lewat jam makan siang. Dia memilih duduk di dekat jendela yang lumayan jauh dari meja Irfan dan dr. Fredy.
"Lo udah sekalian pesen minum?" Dani bertanya ketika Dinaya baru mendudukkan pantatnya di kursi.
"Ga, gw minum ini aja" Dinaya menunjuk air putih di sudut meja.
"Dokter pinter. Lain kali jangan minum es lagi ya? Kayak gini kan sehat" Dani menepuk kepala Dinaya 2 kali dan tersenyum sumbringah. Dinaya memutar bola matanya dan menepis tangan Dani dikepalanya. Dia memalingkan wajah tapi terhenti pada meja Irfan.
Terlihat dr. Fredy sedang melambai kepada mereka, ntah Dinaya atau Dani yang dipanggilnya."Kayaknya manggil lo deh" ucap Dinaya pada Dani karena Dani juga menyadarinya.
"Kita berdua kesana aja. Ga enak sama dokter Fredy" dengan berat hati Dinaya mengangguk dan mengikuti Dani yang sudah mendahuluinya berjalan menuju meja dokter Fredy. Tidak ada yang mau mengambil resiko hanya karena mengabaikan dokter Fredy. Dia senior tertua di RS dan hampir menjadi profesor karena gelar itu masih diusahakannya sekarang. Sikapnya yang tegas dan tidak mau bertele-tele membuat semua juniornya patuh akan semua perintah dokter Fredy.
"Ada apa dokter?" Dani bertanya dengan sopan.
"Kalian berdua nanti cek email. Saya mau kalian ikut saya ke Padang buat penyuluhan sekaligus nambahin data buat penelitian. Tiket udah ada di email kalian. Izin kalian juga sudah saya ajukan ke bagian personalia. Jadi selama 2 hari kalian akan ikut saya dan bantuin saya"
Dinaya diam mencerna penuturan panjang dokter yang bisa dipanggil kakek ini. Jadi, dokter Fredy mengajak Dinaya dan Dani untuk membantunya di Padang. Dinaya melirik Dani yang tersenyum senang karena keputusan sepihak dokter Fredy. Dinaya menghela napas ringan merelakan nasibnya. Sejenak, Dinaya lupa dengan cowok yang terus memperhatikannya dari tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Possesive Bro (End)
Fiksi UmumSiapa sangka seorang Dinaya Feriawan, dokter cantik, elegan dan sangat seksi itu masih menjomblo selama 25th hidupnya, alias jomblo seumur hidup. Bukannya dia punya kelainan soal percintaan, dia mau dan ingin. Hanya saja Perjuangannya selalu terhamb...