"Aku ga setuju rencana pertunangan kita batal begitu saja, Dinaya!"
Dinaya yang tadinya baru meletakkan cangkir cappucino hangat di atas meja, langsung mengalihkan pandangan pada Irfan.
"Apa kamu udah nemuin Salsa?"
Irfan menyerngit mendengar pertanyaan Dinaya. Seharusnya Dinaya tidak perlu membawa nama Salsa saat ini. Terpaksa dia harus menjawab dengan hati-hati agar tidak salah memilih kata dan nantinya akan berakibat Dinaya menjauhinya lagi."Sudah, dan aku tetap milih kamu" Irfan mencoba tenang walau sebenarnya dia sangat takut jika Dinaya akan memberikan penolakan atas pernyataannya.
"Bisa pertemukan aku sama dia?" Dinaya mengangkat alisnya dan senyum tipis muncul dibibir seksinya. Dia bisa membaca gerak gerik Irfan yang sangat berhati-hati berbicara dengannya saat ini. Hatinya kembali berdesir menatap Irfan dari jarak sedekat ini. Rasanya sudah lama mereka saling menghindar.
"Kamu yakin?" Irfan masih berwajah normal tapi nada suaranya menjelaskan bahwa dia kaget dengan pernyataan Dinaya.
"100%" ucap Dinaya mantap sambil tersenyum.
Senyum itu menular kepada Irfan dan membuat hatinya sedikit lega karena senyum tulus Dinaya masih bisa dilihatnya dan Dinaya memberikan senyum itu kepadanya seorang.
"Lusa kita ke rumahnya. Aku jemput kamu ke rumahmu" Irfan menatap Dinaya penuh harap. Dalam hati Irfan berharap semoga saja Salsa tidak berubah pikirian setelah perdebatan panjang mereka sehari setelah malam Dinaya mulai menjauhinya.
"Terima kasih tawarannya, tapi kamu cukup ngirim alamatnya aja. Aku bawa mobil sendiri"
Dinaya bukanlah tipe cewek pemberi harapan palsu. Dia hanya akan bertindak kalau sudah benar-benar yakin. Dan penolakan pada tawaran Irfan tadi menjadi alasan dirinya tidak akan memberi harapan palsu itu."Kamu masih marah padaku?" Ada kesan kekecewaan dalam nada bicaranya.
"Kamu berpikiran seperti itu?" Dinaya membalas pertanyaan Irfan dengan pertanyaan lainnya.
"Sepertinya begitu" Irfan memiringkan kepalanya dan menatap lekat Dinaya. Malam ini dimatanya, tidak ada yang bisa menandingi kecantikan Dinaya. Tapi dia mulai ragu apakah Dinaya masih mau kembali ke sisinya. Saat ini dia hanya bisa berharap sambil menatap keindahan ciptaan tuhan dihadapannya.
"Aku bukan pendendam" singkat dan cuek Dinaya membalas Irfan yang masih menatap lekat padanya. Sesekali tatapan itu berhenti lama di bibirnya.
"Aku tau kamu tidak akan dendam. Aku hanya harus yakin kamu tetap mau menerimaku setelah apa yang kamu bicarakan nantinya dengan Salsa" Irfan tidak mengalihkan tatapannya sekalipun.
"Kalau begitu perbanyaklah berdoa untuk harapanmu itu" Dinaya tersenyum tipis ketika mendapatkan nama Dani yang muncul di layar hp nya.
Dinaya menerima panggilan Dani. Sedangkan Irfan terlihat mengepalkan tangan diatas meja.
"Kenapa ga bales chat gw?" Nada khawatir terdengar bersamaan dengan kalimat pertama yang dilontarkan Dani.
"Gw masih bicara sama Irfan. Lo balik duluan aja ke hotel. Ntar gw balik sendiri" Dinaya berusaha meyakinkan Dani agar tidak khawatir lagi dengannya. Dia melirik Irfan yang mengalihkan pandangan ketika terciduk sedang tersenyum senang.
"Gw tungguin aja ya, kasian pak sopirnya juga kalau harus bolak balik jemput lo" Dani tidak bisa terima jika nanti Dinaya harus semobil dengan Irfan. Tiba-tiba saja pikiran buruk itu muncul di otak pintarnya sejak Dinaya diculik Irfan.
"Tapi.. " tut tut tut...
"Huh! Ga sopan!" Umpat Dinaya ketika meletakkan hpnya di meja.
"Aku yang anter kamu" Irfan menunggu persetujuan Dinaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Possesive Bro (End)
Fiksi UmumSiapa sangka seorang Dinaya Feriawan, dokter cantik, elegan dan sangat seksi itu masih menjomblo selama 25th hidupnya, alias jomblo seumur hidup. Bukannya dia punya kelainan soal percintaan, dia mau dan ingin. Hanya saja Perjuangannya selalu terhamb...