29

1.4K 83 1
                                    

"Gw butuh lo di belakang gw, bukan di depan"

__________

"Yudha berubah... beberapa hari ini dia aneh" Dinaya berbicara dengan suara serak khas orang habis menangis.

"Gw harus bicara sama dia" Ari berniat untuk bangkit dari duduk setelah melepas pelukannya pada Dinaya. Tapi dia terhenti karena cekalan Dinaya.

"Ga usah. Kali ini, gw mohon.. biarin gw nyelesaiin ini sendiri, gw ingin bersikap dewasa dek" Dinaya menatap Ari dengan wajah memohon.

Ari tidak bisa lepas tangan "ga bisa. Gw tetap akan ngomong sama dia. Dia pernah janji sama gw dan saat dia ingkari, dia harus berhadapan sama gw" tegas Ari.

Cekalan Dinaya melemah seiring raut sedih yang makin bertambah di wajahnya.

"Apa lo mau gw kayak gini terus? Menjadi cewek lemah yang selalu berada dibelakang elo?" pias Dinaya pelan.

Emosi Ari mereda. Melihat kakaknya yang lemah seperti itu membuat Ari berpikir keras. Suatu penyesalan bagi Ari yang merasa semua ini adalah kesalahannya. Dia melepas Dinaya kepada orang yang menurutnya tepat, tapi tang terjadi malah sebaliknya. Kakaknya kembali kecewa. Karena keegoisannya ingin melindungi Dinaya, sikap possesivenya membuat Dinaya menjadi lemah menghadapi masalah perasaannya. Ari menatap Dinaya dengan penyesalan yang semakin kuat ketika air mata Dinaya kembali turun. Dalam sekali tarikan, Dinaya kembali ke dalam pelukannya.

"Gw ga maksud buat lo jadi kayak gini kak. Maafin gw" Ari ikut menangis bersama Dinaya.

"Ga.. ga ada yang salah. Udah jalan dan takdir gw begini. Yang penting sekarang gw ingin lo bebasin gw ngehadapin masalah ini sendiri. Gw butuh lo di belakang gw, bukan di depan"

Ari mengerti maksud kakaknya dan dia mengangguk. Dinaya melepas pelukan mereka.

"Udah.. kok jadi lo yang nangis sih? Cowok bukan?" Sindir Dinaya pada Ari. Mengetahui Ari menangis dalam pelukannya, Dinaya jadi prihatin kepada adiknya dibanding pada dirinya sendiri.

"Sialan lo"

"Eh.. ngatain yang lebih tua dosanya gede. Lo ga tau?" Dinaya menjitak kepala adeknya.

Ari meringgis. Jitakan Dinaya ga maen-maen. "Sakit ogeb" teriak Ari.

"Hehehe peace man... udah ah jangan sedih-sedihan. Heran deh! yang bermasalah gw, kenapa jadi elo yang gw hibur ya?" Dinaya mencibir.

"Ngehibur? Lo pikir menjitak orang itu ngehibur? Situ waras?" Kesal Ari.

"Buktinya lo berenti nangis" bener juga batin Ari. Eh tapi kan tadi Ari nangis karena kakaknya.

"Lah gw kan nangis ngikutin elo. Lo nya aja yang sok-sok kuat padahal lemah" seketika Ari menyesal sudah berkata seperti itu.

Wajah Dinaya berubah muram. Senyumannya hilang.

"Ehh sorry kak. Maafin gw, gw ga maksud ngingetin lo lagi. Maaf! Udah jangan dipikirin. Ntar gw cariin cowok baru yang lebih ganteng dari gw"

"Lo mau gw sama Yudha putus?!" Dinaya membentak Ari.

'Salah omong lagi kan gw' batin Ari.

"Bukan itu maksud gw, aduh gimana ya. Yaa pokoknya lo ga usah sedih. Semua masalah ada jalan keluarnya kok. Banyak-banyak doa aja"
Ari ga tau lagi harus ngomong apa. Cewek lagi baperan dan kayanya lagi PMS juga, gimana ngadepinnya?

"Nah! Gitu dong. Ngomong tu yang berfaedah. Jangan asal ceplos aja" Dinaya beranjak dari kasurnya berniat ke kamar mandi.

"Iya iya... salahin aja gw. Ikhlas gw" bisik Ari tapi tetap di dengar Dinaya.

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang