45

1.4K 72 1
                                    

"Tuh orangnya" Dani menunjuk seorang cewek dengan postur tubuh sedikit kurus dengan tinggi badannya yang semampai. Kurang lebih setinggi Dinaya.

"Serius?" Dinaya yang bertanya, otomatis tiga kepala disana menghadap Dinaya.

"Antusias banget ngeliat calon bini sang mantan" Pipit menggoda Dinaya yang baru saja mengutuk dirinya karena kelepasan akibat kepo sedari kemaren.

"Nggak rela ya lo?" Kali ini Zaya yang angkat suara.

Dinaya yang tadinya diam karena malu, akhirnya mengangkat wajah dan berniat untuk menyangkal ucapan teman-temannya. Tapi ketika melihat wajah diam Dani yang menunjukkan ekspresi tidak suka, dia memgurungkan niatnya.

"Kenapa diam? Benar ya? Lo masih belum move on?"

Dinaya menatap Dani dengan tajam. Cara bicara Dani sangat tidak disukai Dinaya. Terkesan mengejek sekaligus ada kesan keraguan didalamnya.

"Gw begini bukan kepo karena belom move on tapi kepo karena hal ini mengejutkan. Jujur gw udah nggak ada rasa sama Irfan"

Setelah penjelasan Dinaya yang serius, suasana meja menjadi canggung. Rasa bersalah mendominasi tiga orang yang berada disekitar Dinaya.

"Ekhm...calon istri gw kok ada disini?" Rio muncul ditengah kecanggungan membuat Dinaya nyengir. Jujur aja, dia nggak suka situasi tadi. Tapi dia terpaksa untuk menjawab keraguan teman-temannya.

"Gw?" Dinaya menunjuk dirinya.

"Iya lah.. siapa lagi?" Rio duduk disebelah kiri Dinaya sedangkan yang kanan diisi Dani.

"Lo mau gw mutilasi di Ruang OK?"

"Sadis lo! Tapi kalo Dinaya yang mutilasi gw rela kok"

Dinaya tertawa lepas melihat ekspresi Rio yang dibuat-buat. Dia tau kalau Rio sedang berusaha mencairkan suasana dan Dinaya yakin, Rio sudah tau suasaa canggung itu dari awal.

"Lo lucu! Gw mau deh jadi istri lo"

"Seri...."

"Ga bolehhh!!" Perpaduan suara bass Dani dan teriakan melengking Pipit menggema di cafe itu.

Hampir semua orang yang ada di sekitar mereka, menatap mereka dengan ekspresi berbeda-beda. Untung mereka nggak jadi makan di kantin RS. Bisa turun derajat Dinaya sebagai dokter.

"Kalian nggak punya hak ngelarang gw. Dan Dinaya... tunggu lamaran gw ya?"

Dinaya mengacungkan jempolnya tapi sedetik kemudian Dani menarik tangan Dinaya dan menatap tajam kearah Rio. Tatapan Dani nggak maen-maen, Rio sampai bergidik ngeri.

Zaya menyadari situasi. Dia sadar, perasaan Dani tidak akan pernah bisa dia menangkan karena Dinaya lah yang Dani inginkan bukan yang lain.

Rio membalas dengan wajah mengejek. Dia sangat senang menggoda Dani. Tentu saja Rio tidak berani merebut Dinaya, walau dia memang tertarik pada Dinaya, tapi demi Dani, dia rela mengalah.

"Sans bro! Gw bercanda elahh" Rio mengambil minum di depannya yang merupakan bekas Pipit.

Menyadari minumannya dihabiskan oleh Rio, Pipit jadi salah tingkah. Dan Dinaya menyadari itu.

"Muka lo kenapa merah Pit?"

"Hah? Ng-nggak kok. Perasaan lo aja" Pipit menepuk-nepuk pipiny yang memang memanas.

"Halu kan lo? Karena udah ciuman nggak langsung sama Rio?" Zaya memperjelas situasinya. Pipit melotot.

"Hah? Ini minuman lo Pit? Sorry gw nggak sengaja" jujur saja tadi Rio pikir itu minuman Dinaya.

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang