25

1.7K 94 5
                                    

"Ka... kalian siapa?!
Deg! Ari dan Iki diam. Sedangkan Yudha langsung memanggil perawat.

Dokter yang merawat Dinaya langsung datang setelah mendapat laporan Dinaya sadar. Dokter itu adalah teman Dinaya semasa kuliah dan sempat bercerita kalau anak dari pemilik Rumah Sakit yang akan dalam waktu singkat menjadi Direktur, sedang tidak di tempat. Dalam hati Dinaya, dia bersyukur Irfan sedang tidak di Rumah Sakit.

Setelah kepergian dokter, Yudha mendekati Dinaya dengan tatapan yang tak terbaca.

"Mau ngapain? Jangan dekat-dekat" dengan suara serak dan pelan Dinaya mengalihkan tatapannya dari Yudha yang masih menatapnya tak berkedip.

Yudha mendekatkan wajahnya dan Dinaya makin panik merasa tidak nyaman akhirnya hanya bisa menutup mata.

Cup! Yudha mengecup jidat Dinaya yang membuat cewek itu refleks membuka matanya.

"Makasih"

Dinaya bingung, dia tidak mengerti maksud Yudha berterima kasih padanya. Bukannya seharusnya dia yang berterima kasih? Jujur saja kecupan Yudha membuat hatinya menjadi lebih tenang.

"Minum" Yudha menyodorkan segelas air putih sedangkan Dinaya masih dengan raut wajah bingung meneguk air itu pelan-pelan.

"Kakk...!!" Iki menghambur memeluk Dinaya dan menangis meminta maaf karena kesalahannya yang tidak mau menantar Dinaya tadi.

"Udah, cowok kok cengeng" ejek Dinaya sambil tersenyum.

"Kakak ga lupa sama kita kan? Ga tiba-tiba amnesia kan?" Iki bertanya dengan panik dan air mata yang masih tersisa.

Dinaya mengusap punggung Iki yang masih memeluknya. "Mana mungkin gw lupa adek tersayang gw" masih dengan senyumannya Mata Dinaya beralih pada Ari yang diam sejak dia sadar. Sangat terlihat adiknya itu menyesal atas apa yang terjadi pada Dinaya.

Iki melepaskan pelukannya. Niatnya memberi kesempatan pada Ari untuk berbicara kepada Dinaya tapi yang ada dia masih diam.

"Bang, lo ga mau ngomong apa gitu?" Iki menunggu respon Ari. Dinaya menatap Ari dengan senyumnya, maksud hati ingin membuat Ari tenang tapi adeknya itu malah terlihat emosi karena wajahnya mulai memerah.

Yudha yang mengerti situasi langsung mengajak Iki keluar ruangan dan membiarkan Ari mengeluarkan isi hatinya pada Dinaya.

"Lo kalau ga bisa nyetir ga usah sok-sok an nyetir!" Suara dingin dan tajam dihujamkan pada Dinaya yang masih tersenyum.

"SIM gw legal kok" jawab Dinaya santai.

"SIM lo gw tahan sampai batas waktu yang ga ditentukan!" Sekarang Ari mulai membentak. Dinaya kaget dan berusaha tetap tersenyum.

"Emang lo mau gw repotin ngantar jemput gw?" Dinaya bukan bermaksud menyindir sikap Ari tadi siang, tapi dia tidak punya kata pembelaan lagi. Ari mendekat dengan wajah yang makin memerah.

"Lo harusnya maksa gw kalau gw nolak sekali!" Bentak Ari sambil mencengkram bahu Dinaya.

"Lo tau gw bukan pemaksa" Dinaya meringgis menahan cengkraman Ari.

Iya, Ari tau makanya dia kesal kenapa kakaknya seperti itu.

"Lo..." ucapan Ari terputus karena Dinaya yang menarik Ari kedalam pelukannya. Ari membalas pelukan Dinaya. Dia terisak begitupun Dinaya yang sejak tadi menahan isakan itu.

Sudah cukup, mereka sama-sama lelah. Sudah cukup Ari menyalahkan dirinya sendiri melalui bentakan tak jelas pada Dinaya dan sudah cukup keegoisan mereka yang menahan rasa sedih itu.

"Kenapa lo egois?" Ucap Ari dalam pelukannya yang semakin erat.

"Gw minta maaf"

"Kenapa ga maksa gw dan jelasin kalau lo lagi sakit?"

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang