19

1.7K 99 3
                                    






Yudha kehilangan jejak Dinaya. Ajaib banget cewek itu bisa menghilang secepat kilat. Yudha tersenyum miris. Dia tidak sempat meminta kontak cewek itu. Tapi sedetik kemudian seringaiannya keluar lagi. Dia tau harus bagaimana.

----------

"Assalamualaikum.....!!! Awww! Sakit bego!!" Dinaya mengusap kepalanya yang barusan dijitak Ari. Dia menatap Ari tajam. Siapa yang ga kesal baru masuk rumah langsung dapet jitakan keras.

"Lo punya hp buat apa?" Ari bertolak pinggang. Dia berdiri tegap didepan Dinaya tepat dipintu masuk rumah.

"Hah?! Kenapa jadi nanyain hp gw?" Dinaya masih mengusap kepalanya. "Minggir!! Jangan ngalangin jalan" Dinaya mendorong Ari ke samping. Baru selangkah dia berjalan tiba-tiba badannya tertarik kebelakang.

"Jawab pertanyaan gw!" Bentak Ari. Mata Ari menunjukkan kekhawatiran campur emosi.

Dinaya ciut dibentak Ari. Dia sadar Ari sedang serius. Apa dia berbuat salah?

"Hp gw matiin pas di mall, emang kenapa?" Suara Dinaya melemah. Dia nyesel ga ngabarin Ari. Pasti adeknya itu sangat khawatir, apalagi dia pulang malam.

"Kenapa? Harus gw jawab? Sesibuk itu sampai ga bisa ngabari orang rumah bentar? Iki sampai nyusulin lo ke mall karena kita cemas lo kenapa-napa!!"

"Hah?!" Adek-adeknya makin posesif sejak kejadian Dinaya disakitin Irfan. "Gw minta maaf sama kalian,, Iki suruh balik" Dinaya makin merasa bersalah. Matanya mulai berkaca-kaca, dia cemas Iki kenapa-napa karena berkendara dalam keadaan khawatir padanya. Entah kenapa sejak saat itu, Dinaya menjadi lebih baperan.

Ari menghela napas, dia menarik Dinaya untuk duduk di kursi. Dia pun capek karena baru pulang kerja malah mendapat laporan dari Iki kalau Dinaya belum pulang dan menjadi panik karena nomor Dinaya tidak bisa dihubungi sejak siang hari.

"Lain kali jangan gini. Kita khawatir sama lo. Apalagi mama papa, kalau sampai mereka tau lo ilang kontak hampir seharian, pasti mereka langsung terbang ke sini" Ari menatap kakaknya dengan wajah sendu. Dia tidak tega melihat mata berair Dinaya, walau Dinaya tidak menangis.

"Iya maaf, gw salah. Sekarang lo telpon Iki"

Ari mengangguk, dan langsung menelpon Iki. 15 menit kemudian Iki datang dengan wajah lega setelah melihat wajah kakaknya.

"Iki maafin kakak ya?" Dinaya menangis melihat wajah kusut dan penampilan Iki yang berantakan.

"Udah gapapa, lain kali jangan ilang kontak kak, kita panik" Iki memeluk Dinaya dan mengusap air mata kakaknya.

"Maaf"

Iki mengangguk dan melepas pelukannya.

"Sekarang lo bersih-bersih dan tidur. Besok ikut acara sosialisasi kesehatan di Polresta kan?" Ari membantu Dinaya membawa belanjaannya.

"Iya, lo berangkat jam berapa? Gw nebeng aja ya" Dinaya mengikuti Ari dari belakang. Sedangkan Iki sudah lebih dulu membawa belanjaan Dinaya yang lain ke kamarnya.

"bareng aja. Lagian pulangnya juga di waktu yang sama" Dinaya mengangguk mendapat jawaban dari Ari.

"Kak, kita tidur bertiga disini ya? Udah lama ga bareng2" Iki merebahkan badannya di kasur Dinaya.

Dinaya tersenyum manis. Dia juga kangen tidur peluk-pelukan dengan adek-adeknya.

"Gw yes!" Kemudian Dinaya dan Iki memandang Ari menunggu jawaban.

"Gabisa nolak" Ari tersenyum. Mereka semua tersenyum.

Sekarang Dinaya sedang rebahan di kasurnya menunggu dua adeknya yang belum selesai mandi dari tadi akibat mabar game online dulu waktu Dinaya mandi.

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang