47

1.4K 74 0
                                        

Keesokan pagi

"Ayok"
Kakak beradik itu sudah selesai sarapan. Dinaya yang sedang marah pada Ari tetap menjalankan tugasnya sebagai pengganti mama yang harus mengurus adek-adeknya.

"Nanti pulang jam berapa?
Dinaya masih diam. Enggan berbicara dengan Ari.

Ari menghela napas lelah. "Gw jemput jam 5 sore. Gw tunggu di parkiran"

Ari masih belum mendapatkan respon dari kakaknya. Akhirnya perjalanan merekapun dipenuhi dengan kesunyian.

Setelah sampai, Dinaya mengucapkan terima kasih lalu tanpa menerima uluran tangan Ari, dia keluar mobil,

"Maaf" lirih Ari. Rasa bersalah masih dirasakannya melihat Dinaya yang menjadi pendiam seperti itu.

__________

"Din.."

"Hey Din..."

Dinaya menatap kosong pada makanan yang diaduk-aduknya. Tia yang merupakan teman sejawatnya menepuk pundak Dinaya karena sejak tadi dipanggil nggak ada sahutan.

"Kenapa?"

"Lo bengong terus. Ada apa? Makanan juga cuma diaduk-aduk"

Dinaya menatap Tia sebentar lalu beralih pada makanannya. Bahkan dia tidak sadar makanannya sudah tak berbentuk.

"Nggak papa. Lagi nggak nafsu aja" ucap Dinaya lesu.

"Lo sakit?" Tia mengusap pipi dan jidat Dinaya. Suhunya normal.

"Nggak, cuma nggak nafsu" lagi, Dinaya berucap dengan lesu.

2 meter di belakangnya ada Dani yang sejak tadi memperhatikan Dinaya. Perhatiannya tidak pernah berpindah dari pertama kali memasuki kantin. Entah salah atau benar apa yang dilakukan Dani sekarang. Dia menjauhi Dinaya setelah ucapan Ari semalam. Dani dengan penurutnya menyetujui larangan Ari.

Sekarang, ada rasa menyesal dihatinya setelah melihat Dinaya yang tidak bersemangat. Bahkan dia sempat mengacuhkan Dinaya saat mengajaknya makan siang tadi.

"Maaf" lirih Dani pelan.

"Hm?" Rio mengangkat alisnya. Dia pikir Dani berbicara padanya tapi setelah diperhatikan, tatapan cowok itu menembus tubuhnya dan jatuh pada punggung cewek yang juga dikenalinya. Dinaya.

"Udah.. sebagai cowok yang selalu megang omongan, lo harusnya nggak menyesali keputusan yang udah lo buat. Cowok tidak seharusnya plin plan, man" Rio berubah jadi bijak.

"Nggak usah sok bijak, gw tau apa yang harus gw lakuin. Cuman, gw nggak tega sama dia. Rasanya pengen gw peluk terus jelasin semuanya. Gw nggak tahan liat wajah lesunya dan nggak tahan puasa senyumnya"

Rio memutar bola matanya kesal. 'Si kampret malah sok dramatis. Kan gw ikutan baper' batin Rio.

"Lebay lo"

"Nggak salah bilang gw lebay? Yang kemaren mengagung-agungkan Pipit, apa kabar? Pipit inilah... pipit itulah... Pipit begini...Pipit begitu. Kayak orang baru pacaran aja. Itu baru namanya lebay"

"Beda kali"

"Serah lo, gw mau fokus. Minggirin badan lo!"
Dani mendorong Rio ke kiri agar pandangannya tidak terhalangi lagi.

"Si kampret kurang ajar ya lo" Rio nggak rela tapi dia tetap menggeser posisi duduknya. Rio tetap setia kawan walau kawannya jahat.

"Eh, Si Fadel ngapain ngajakin Dinaya ngobrol?"

"Hm? Siapa?"

"Fadel" Dani menajamkan tatapannya pada Fadel yang tersenyum miring kepadanya. Fadel sengaja memanasi Dani.

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang