18

1.9K 110 1
                                    

"You still fill my day... its not fine".

"Hal yang pertama kali membuat gw sesak ketika ngeliat mereka. Mereka dengan bahagianya saling mencium pipi. Saling! Dan berkali-kali! Bahkan ketika gw mergoki mereka, mereka masih ngelanjutin aksinya ditambah wajah bahagia yang ga luntur dari wajah mereka. Irfan yang selama ini gw kenal terlihat berbeda. Dia... Dia ga ngehargai gw" Dinaya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Mengusap wajahnya sebentar dan melanjutkan ceritanya lagi..

"Dan disaat itu juga gw merasa jadi cewek jahat yang hampir pernah merebut tunangan orang lain dan gw merasa jahat karena sempat berfikir untuk memperjuangkan perasaan gw, apalagi setelah melihat kenyataan di depan mata berkata lain"

Dinaya sudah tidak mengeluarkan air mata. Dia hanya tersenyum miris selesai bercerita. Dia masih menunduk sambil memijat keningnya yang terasa sakit karena kecapean kerja dan menangis setiap hari.

"Gw keliatan segampang itu ya? Buat dibegoin?" Lagi, Dinaya tersenyum miris dengan suara lirihnya. Menahan air mata bukan hal yang baik, tapi dia tidak ingin menangis lagi. Dia terlalu lelah untuk menangis.

Ari melepaskan napas berat. Untuk pertama kalinya dia melihat Dinaya selemah ini. Air mata bukanlah hal yang sering ditampakkan Dinaya. Hanya rasa sakit yang kuat dan penyesalan mendalam yang bisa mengeluarkan air mata Dinaya. Dan kali ini penyesalan mendalam dirasakan Dinaya disertai rasa sakit yang untuk pertama kali dirasakannya.

Ari menarik Dinaya ke dalam pelukannya dan mengelus rambut Dinaya.

"Lo udah berani nyoba sekali, lo udah ngerasain sekali, dan lo terlalu nekat cukup sekali. Ga ada lain kali, gw ga bakal ngebiarin lo kayak gini lagi. Ini yang gw takutkan. Lo salah pilih, sakit hati dan menyesal itu ga enak, bikin mata bengkak"
Ari berhenti sejenak, Dinaya tersenyum tipis dan makin mengeratkan pelukannya. Tidak ada pelukan yang nyaman selain pelukan keluarga.

"Lain kali lo harus nurut kata gw. Kali ini gw juga salah karena ngikutin larangan lo. Maafin gw kak" Dinaya menggeleng dalam pelukan Ari.

"Bukan lo. Tapi gw yang harus minta maaf ga dengerin nasehat lo" Dinaya kembali menitikkan air mata. Rasa sakit itu datang. Dia menyesal telah mengecewakan Ari dan dirinya sendiri.

Tanpa mereka sadari, Iki, mama dan papa memperhatikan interaksi dua bersaudara itu sedari tadi. Mama menangis dipelukan papa dan Iki menangis menyesali hal yang di sesali Dinaya. Sedangkan papa hanya bisa menghela napas berat melihat kesedihan keluarganya.

----------

Satu bulan berlalu....

Dinaya sudah bisa mengesampingkan rasa menyesalnya, walau mungkin masih tersisa, tapi dia meyakinkan diri untuk tetap berusaha menumpas habis rasa bodoh itu.

"Dek, nonton yok!"

"Ngomong sama gw?" Dinaya yang sedang asyik ngegosip bersama dua sahabatnya tiba-tiba dikagetkan oleh kedatangan Dani dan temannya yang berperawakan persis sama kayak Dani, berotot dan rupawan.

"Ga, sama dua teman lo. Zaya dan Pipit kan?" Dani mengulurkan tangannya berniat untuk berkenalan.

Zaya dan Pipit tersenyum genit menerima uluran tangan Dani.

"Gw Zaya, lo duduk dulu aja"

Dani mengangguk, dia duduk di sebelah Dinaya dan temannya duduk disebelah Pipit.

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang