36

1.3K 76 0
                                        

"Nyari aku?"
Dinaya kaget ketika Irfan berbisik tepat dibelakang tengkuknya. Bulu kuduknya merinding. Untung saja kaget Dinaya hanya sampai di ekspresi wajah. Dia kagetan tapi tidak panikan, jadi jika dia kaget, dia tidak akan bertingkah layaknya orang panik.

"Dari mana?" Dinaya berbalik dan menatap Irfan lekat dimatanya. Dia ingin melihat bagaimana ekspresi cowok itu setelah berbicara empat mata dengan Ari.

Irfan terlihat biasa. Bego! Dinaya baru ingat kalau Irfan memang cowok tipe datar. Ekspresi bisa disembunyikannya.

"Kenapa?"

Dinaya hanya mengangkat bahu. Dia malas bertanya lagi karena Irfan malah balik bertanya bukannya menjawab pertanyaan Dinaya sebelumnya.

"Btw, kok muka lo baik-baik aja?" Zaya bertanya sambil memperhatikan seluruh tubuh Irfan. Dia berharap menemukan hal yang sangat ingin dilihatnya.

"Maksud lo?" Dinaya tidak mengerti.

"Gw nggak ngapa2in dia" Ari menjawab pertanyaan Zaya yang dibalas ekspresi kecewa oleh cewek itu. Padahal dia sangat ingin melihat setidaknya satu buat memar bekas pukulan di tubuh Irfan.

"Lo ngarap Adek gw berantem sama Irfan?" Dinaya berang sambil berkacak pinggang menghadap Zaya.

"Seharusnya emang gitu. Gw masih ga terima dia ngebuat lo buta atas apa yang udah dia lakuin sebelumnya"

"Dia udah minta maaf Zay" Dinaya berusaha sabar.

"Bulshit! Sekali kata maaf dan lo bisa jatuh kepelukannya lagi"

"Zaya! Itu hak gw! Perasaan gw hanya gw yang tau, dan lo cukup ngehargai keputusan gw!"

"Ohh benar gw lupa, gw cuma teman lo yang diingat kalau lo butuh. Bahkan terlalu banyak hal yang gw ga tau tentang lo karena lo terlalu tertutup. Apalagi sejak masalah lo sama cowok ini" Zaya meledak. Dia sedih Dinaya yang tidak pernah membentak orang, sekarang malah membentaknya hanya karena membela cowok brengsek yang baru berbaikan dengannya.

Dinaya sadar dia sudah kelewatan "Zay...!"

"Udah jangan diterusin" Irfan memegang bahu Dinaya.

Zaya mendengus dan menatap Irfan datar. Dia sudah sangat kesal saat ini. Dia butuh pelampiasan.

Plak!!

"Zaya!" Dinaya tidak percaya pada penglihatannya barusan.

Suasana menjadi tegang.

"Cukup! Gw muak liat drama kalian. Seenggaknya biarin sekali aja cowok ini dapetin rasa sakit di tubuhnya dan agar dia tau sakit yang lo rasain bahkan sakit tamparan gw ga sebanding sama apa yg lo rasain" Zaya menatap kesal pada Dinaya yang masih menatapnya tajam.

"Tapi ga gitu caranya" Dinaya hampir membentak lagi.

"Gw ngerasa tindakan gw udah benar. Sebagai teman, gw merasa berhak ngelakuin itu untuk membalas rasa sakit lo sebelumnya. Dan gw masih belum sudi lo berbaikan sama dia hanya karena dia sudah lepas dari selingkuhannya. Tenang aja, setelah ini gw ga bakal ikut campur lagi" Zaya meningglkan mereka dengan langkah cepat.

Rio dan Dani saling pandang bingung mau bersikap bagaimana dan akhirnya mereka pura-pura lapar lalu izin kafe. Pipit mengejar Zaya, Dia merasa bersalah karena dia ikut andil saat mengizinkan Irfan ikut bersama mereka. Dia tidak tau rasa benci Zaya pada cowok itu tidak maen-maen.

Tinggallah Ari, Dinaya dan Irfan.

Dinaya menatap Irfan yang diam menatapnya. Entah apa yang dipikirkan cowok itu. Dinaya ingin sekali mengusap pipi Irfan yang memerah, tapi ketika tangannya akan menyentuh pipi cowok itu, tiba-tiba tarikan keras pada tangan lainnya membuat Dinaya harus berbalik arah membelakangi Irfan dan berhadapan dengan wajah merah Ari.

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang