14

1.8K 92 0
                                    

Sibuk...

Sejak tadi pagi hingga matahari tepat di atas kepala membakar sekujur tubuh dan menghasilkan butiran-butiran keringat, Dinaya tetap fokus mengerjakan tugasnya.

1 jam berlalu tepat azan sholat zuhur Dinaya menyelesaikan pemeriksaan pada pasien terakhirnya. Bakti sosial yang diadakan di salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat itu telah berlangsung selama 2 hari, dan hari ini adalah hari terakhir.

Dinaya memperhatikan petugas kesehatan yang bertanggung jawab mengurus perbekalan obat. Dia mendekat dan membantu mengepak obat-obatan yang tersisa.

"Dokter istirahat aja, ini biar saya yang selesaiin" Narti salah satu asisten apoteker merasa tidak enak karena Dinaya yang telah capek menyelesaikan tugasnya sendiri malah ikut membantu tugas orang lain.

"Ya elah mbak Narti, kita lagi di luar kok. Ga usah seformal itu" Dinaya tersenyum ramah.

"Aku ga enak sama dokter fredy, dia ngeliatin kamu terus tuh" bisik Narti. Dinaya mengalihkan pandangan ke arah dokter Fredy yang berdiri disamping Irfan. Mereka memang melihat kearah Dinaya.

"Dokter Dinaya apakah sudah selesai?" Dokter Fredy memberi isyarat agar Dinaya mendekat. Dan seperti dihipnotis, kaki Dinaya menurut berjalan mendekat.

"Kenapa dokter?" Dinaya hanya menatap dokter Fredy dan masih enggan menatap Irfan yang dia yakini sedang memperhatikannya. Itu fakta bukan kepedean.

"Kita makan siang dulu di sana sambil ngobrol" Dokter Fredy menunjuk sebuah rumah makan padang yang berada di pinggir pantai. Dinaya mengangguk dan megikuti mereka.

Ternyata Dani sudah berada di sana bersama petugas lain. Meja khusus dokter telah disiapkan lebih dulu oleh Dani.

Dani tersenyum pada Dinaya dan senyumnya terbalaskan. Hatinya menghangat.

Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Irfan yang merasa kesal dengan tingkah Dani. Walau sebenarnya dia tau cowok itu tidak sepenuhnya salah, tetap saja Irfan merasa kesal.

"Dinaya, silahkan!" Lagi, Dani memberikan senyuman gantengnya pada Dinaya.

"Makasih" Dinaya sedikit risih dengan perlakuan Dani yang sedikit lebay menurutnya.

"Besok pagi kita kembali ke jakarta. Untuk sisa hari ini kita bisa bersantai dulu di kota padang" dr.Fredy membuka percakapan setelah sesi makan siang selesai dalam diam.

Ketiga dokter muda yang ada di meja itu hanya mengangguk.

"Dinaya!! Lo mau maen kemana abis ini?" Dani mengejar Dinaya yang sudah mendahuluinya keluar rumah makan seusai sesi foto bersama rekan yang lain.

"Gw mau balik ke hotel dulu, ntar sore ada acara. Mau meet up bareng teman SMP waktu gw sekolah disini" Dinaya masuk ke mobil yang disediakan untuknya selama 2 hari di Padang lengkap dengan sopirnya.

"Loh, emang lo SMP di Padang?"

"Emang lo ga tau?" Dinaya menaikkan sebelah alisnya menatap Dani yang sudah duduk disebelahnya di kursi penumpang. Dinaya tidak mau repot bertanya kenapa Dani nebeng mobilnya untuk kembali ke kota Padang.

"Gw pikir lo cuma numpang lahir doang di sini. Ternyata stay sampai SMP" Dani memperhatikan cewek cantik disebelahnya yang fokus pada hp. Sekilas Dani melihat Dinaya sedang sibuk membalas grup chat alumni SMP nya.

"Hmm" Dinaya tidak tertarik membahas hal yang sudah bisa di tebak oleh Dani. Dan dia tidak tertarik untuk membagi cerita masa kecilnya pada Dani.

"Gw boleh ikut lo meet up?"

"Hah?" Dinaya menoleh pada Dani yang memasang wajah memohon. Dia berfikir sejenak. Lalu mengangguk. 'Biarin aja ikut biar dia seneng' batin Dinaya.

"Thank you! Jadi pengen peluk deh"

Sebelum Dani sempat meletakkan tangannya di pundak Dinaya, cewek itu lebih dulu berkelit dan menendang kaki cowok tersebut.

"Awww.. shhh"

"Siapa yang ngajarin lo jadi mesum kek gini hah?" Kesal Dinaya sambil berkacak pinggang.

"Adek lo!" Dani menjawab sambil meringgis mengusap betisnya yang kena tendang Dinaya. Dinaya menautkan alisnya dan menangkap maksud dari jawaban Dani.

"Sialan si Ari. Jangan ikutin saran-sarannya lah, lo mau aja dibodohi orang bodoh" Dinaya meletakkan tasnya ditengah dengan tujuan sebagai pembatas antara dirinya dan Dani.

"Menurut gw dia sedikit membantu kok. Buktinya gw ga garing lagi didekat lo dan kita ga saling canggung lagi"

"Kata siapa lo ga garing?" Dinaya menyipit.

"Iya kan pak?" Dani menepuk pundak sopir yang sesekali melirik mereka dengan senyum diwajahnya melalui kaca spion.

"Iya mas, kalian kayak pasangan baru pacaran... mesra!" Pria berumur itu nyengir menunjukkan giginya yang sedikit kuning.

'Si bapak sopir malah ngawur' batin Dinaya.

"Nah kan, kita tuh kayak pasangan. Bapak sopir aja setuju. Dokter Fredy juga bilang kayak gitu, petugas lain tadi juga ngedukung kita loh. Bahkan dokter irfan yang baru kenal kita aja langsung nanyain kita udah pacaran berapa lama?"

Deg! Dinaya diam. Apakah benar Irfan bertanya seperti itu? Apa tujuannya?
Pikiran Dinaya penuh dengan pertanyaan tentang Irfan. Tatapan cowok itu tidak bisa diartikannya. Diapun hanya bisa sesekali melirik cowok itu karena merasa jantungnya masih belum siap jika harus bertatap lama dengan cowok yang berhasil menjungkir balikkan dunia damainya dalam sekejap.

"Dinaya?! Lo mikirin apa?"

Dinaya tersentak sadar. Dia tidak tau harus merespon bagaimana pada Dani yang meminta jawabannya. Akhirnya hanya satu kata yang bisa keluar dari mulut Dinaya. Kata-kata ajaib dari seorang cewek.

"Gapapa" lalu Dinaya memalingkan wajahnya ke jalanan melalui jendela mobil. Dia menutup mata dan terlelap bersama pikiran-pikirannya.

Dani yang selalu memperhatikan gelagat Dinaya beberapa hari ini hanya bisa menghela napas berat. Dia sudah mencoba berubah menjadi lebih friendly pada Dinaya. Imagenya yang dulu kalem sudah diubahnya menjadi lebih supel dan humoris dihadapan Dinaya tapi dia masih belum bisa menebak hati dan pikiran Dinaya, apalagi menyentuh hatinya.

Dia bukannya tidak peka pada benang kusut yang terjadi antara Dinaya dan Irfan. Dinaya bukan seseorang yang akan langsung menjaga jarak pada rekan kerja yag terlihat baik. Dinaya lebih cepat akrab dengan siapapun yang baik kepadanya. Tapi sesuatu yang aneh antara Dinaya dan Irfan sangat kentara jika mereka berdekatan. Dani sangat sadar.

Tatapan dokter Irfan yang tidak pernah lepas dari Dinaya dan sikap Dinaya yang seolah sengaja mengabaikan tatapan itu membuat Dani harus berpikir keras dan meyakinkan hatinya serta berharap pemikirannya tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi semua pertanyaan itu hanya Dinaya atau dokter Irfan yang bisa menjawab.

Semalam dia bertanya pada Ari, tapi respon Ari malah diluar harapannya sehingga ia tidak mendapat jawaban dari pertanyaan itu. Sebenarnya hubungan seperti apa yang terjadi antara Dinaya dan Irfan?

Dani memperhatikan kepala Dinaya yang mencari posisi nyaman untuk tidur. Dani menarik kepala Dinaya agar bersandar di bahunya. Dani melepaskan ikatan rambut Dinaya agar kepala Dinaya tidak sakit karena terhalang ikat rambut. Rambut Dinaya disibakkan ke satu sisi bahunya sehingga wajah dan leher jenjang Dinaya terekspos dengan jelas.

"Maafin gw karena udah bikin lo kecewa di awal. Gw harap lo mau nerima gw lagi nanti" Dani mengecup puncak kepala Dinaya dan ikut merebahkan kepalanya disandaran kursi.

Mereka berdua terlelap selama 2 jam perjalanan menuju kota Padang.

----------

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang