12

2.2K 110 2
                                        

"Kau telah berhasil meruntuhkan perisai hatiku, tapi dengan sekejap kau ikut menghancurkan isinya"

D'

~~~~~~~~~~

"Kenapa diam aja dari tadi?" Dinaya menoleh kepada Irfan yang sedang makan disampingnya. Dia hanya menggeleng.

"Pa, ma.. on dan tante, aku mohon maaf. Bolehkan aku minta waktu untuk bicara bersama Dinaya?" Irfan menunggu respon semua orang di meja makan. Dia mengabaikan tatapan kaget Dinaya.

Dinaya yang masih kaget. Hanya bisa tersenyum kaku dan mengangguk sopan sebelum tangannya di tarik oleh Irfan.

Irfan membawa Dinaya ke kamar lelaki itu. Dinaya agak canggung karena baru pertama kali masuk kamar lelaki selain adik-adiknya.

"Kamu udah bisa ngomong sekarang, ada apa?" Irfan duduk di sofa yang ada di kamarnya sambil menatap Dinaya yang masih berdiri di dekat ranjang.

Dinaya menatap Irfan yang menunggu jawaban darinya. Bukannya menjawab pertanyaan Irfan, Dinaya dengan cepat mendekati lelaki itu dan memeluknya. Irfan kaget sekaligus berusaha mengontrol gejolak yang tiba-tiba muncul didadanya. Dia tersenyum sambil mengelus rambut Dinaya.

"Kenapa? Hm?" Irfan bisa merasakan kecepatan detak jantung Dinaya dan napas memburunya.

Dinaya memejamkan matanya menenangkan pikiran didada lelaki yang memenuhi pikirannya semingguan ini. Dinaya berbicara tanpa membuka mata, "sebentar aja, begini sebentar aja".

Rasa tenang dan nyaman serta sensasi yang meledup-ledup di dadanya membuat mood Dinaya menjadi baik. Kok bisa?. Apakah lelaki ini sudah berhasil meruntuhkan tembok besar dihatinya?

"Aku ga keberatan sayang, tapi aku ga mau khilaf sebelum nikah. Aku takut ga bisa menahan diri" Irfan masih mengelus rambut Dinaya dengan wajah yang sangat jelas sedang menahan sesuatu.

Dinaya mendadak melepas pelukannya. Wajahnya merona dan mulai salah tingkah. Sayang?

"Ga usah mesum deh" Dinaya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Irfan terkekeh melihat gadisnya yang semakin menggemaskan dengan tingkah langka nya ini. Pertama kali dia melihat Dinaya seperti ini setelah 2 minggu berpacaran. Dia baru sadar Dinaya menyimpan keimutannya selama ini.

"Kamu keberatan sama pembahasan di meja makan tadi?" Irfan menarik tangan Dinaya dari wajahnya. Dinaya masih merona ketika menatapnya.

Sesaat Dinaya menhembuskan napas dalam. "I-iya" ternyata dia masih gugup. 'Ah, sial!'umpat Dinaya dalam hati.

"Kenapa ga diomongin pas di meja makan?"

"Aku ga tega. Mereka kelihatan bahagia ngomongin itu" Dinaya kembali menghela napas.

Semua gerak gerik Dinaya tidak luput dari perhatian Irfan. Ada rasa kecewa dalam dirinya melihat respon Dinaya.

"Kalau gitu biar aku aja yang ngomong sama mereka. Aku tau kamu butuh waktu" Irfan mencoba menolak bersikap egois demi perasaannya sendiri.

"Ntahlah. Aku masih bingung. Sebagian diriku ingin orang tuaku bahagia dengan mengikuti keinginan mereka tapi sebagian lain agak berat menerimanya karena berbagai pertimbangan" Dinaya merebahkan badannya ke punggung kursi.

"Ga usah dipikirin. Aku siap menunggu kapanpun...." Irfan menarik napas sebentar." Dan apapun keputusanmu nanti".

Dinaya menatap Irfan dari samping. Cowok itu sangat mempesona dengan segala hal yang dia punya. Dia mulai mempertanyakan hatinya. Kenapa masih berat? Firasatnya masih menolak untuk menerima Irfan.

Me and My Possesive Bro (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang