Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, setelah 1 jam berdandan di salon akhirnya Dinaya siap menghadapi acara yang sepertinya bukan acara sederhana.
Bayangkan saja saat ini Dinaya sedang berdiri di tengah kerlap kerlip lampu hias yang di design sebagai jalur tamu untuk menuju meja makan. Tidak hanya itu, lampu hias itu juga diletakkan disekeliling kolam renang dan sekeliling taman belakang sebuah hotel ternama di Kota Padang.
Suara deburan ombak yang menghempas pantai terdengar jelas dari tempatnya berdiri. Jarak pantai ke hotel ini hanya 20 meter. Suasana seperti ini adalah suasana yang didambakan Dinaya jika nanti ada seseorang yang ingin melamarnya. Seketika hati Dinaya berdesir, dia menjadi gugup karena penasaran siapa yang akan menjadi calonnya.
"Kak, ayo duduk" mama menuntun Dinaya menuju kursinya yang teletak ditengah. Karena di meja panjang itu tersusun lima kursi ditiap sisi. Mama dan papa memilih duduk dibagian kanan Dinaya, sedang kan Iki dan Ari disisi kiri Dinaya.
Dinaya maenatap sekeliling, belum ada tanda-tanda tamu yang datang. Lalu dia memperhatikan hpnya yang berkedip.
Nama Irfan muncul dilayar 'ngapain dia nelpon' batin Dinaya.
"Ma, aku ke toilet bentar" mama mengangguk dan tersenyum.
"Perlu ditemenin nggak kak?" Ari tau tujuan Dinaya karena dia sempat melirik hp Dinaya.
"Nggak perlu, gw bentar kok"
"Ya udah" dalam hati, Ari ingin sekali menyusul tapi kemudian ide cemerlang muncul di otaknya. Segera Ari mengeluarkan hp dan mengirim pesan pada seseorang.
Dinaya yang sudah sampai di dekat toilet langsung mengangkat telpon.
"Halo, Assalamualaikum"
"Waalaikum salam, Dinaya aku mau bicara 4 mata sama kamu, apakah bisa?"
"Lewat telpon aja, aku lagi ada acara"
"Aku mau langsung, aku ngeliat kamu dari sini. Kita ketemu di kafe belakang kamu"
Dinaya menoleh kearah kafe dibelakangnya. Kenapa Irfan tau dia ada disini? Langsung saja Dinaya masuk ke kafetaria hotel yang tidak rame. Hanya 2 meja yang terisi oleh pasangan yang sedang makan malam mungkin.
"Maaf mengganggu acara kamu. Aku harus bicara sebelum kamu memutuskan perjodohan itu. Aku nggak ingin menyesal nantinya"
"Dari mana kamu tau aku dijodohkan?"
"Orangtuaku"
Dinaya tidak bertanya lagi. Dia bisa menebak siapa yang memberi tahu orang tua Irfan.
"Aku bener-bener minta maaf sama apa yang terjadi diantara kita. Aku nyesal karena nggak bisa menyelesaikan masalah dengan tepat. Pilihanku menjauhimu ternyata salah besar. Aku benar-benar menyesal"
"Aku udah maafin kamu"
Irfan menatap dalam mata Dinaya. Dia takut menebak karena apa yang dia lihat adalah tidak ada lagi tatapan lembut Dinaya untuknya.
"Apa kamu akan nerima perjodohan ini?"
"Keputusanku akan keluar setelah aku bertemu dengan orang itu"
"Mungkin kamu nggak akan nolak" bisik Irfan sangat pelan.
"Maaf?"
Irfan mendongak dan menatap Dinaya lagi, "apa aku udah nggak punya kesempatan? Aku ingin mengulangnya lagi dan berjanji nggak akan mengulang kesalahan yang sama"
"Mudah berjanji tapi sangat sulit untuk tidak ingkar. Akulah korban sebagai bukti nyata dari hal itu. Mungkin memang inilah kesempatan kamu untuk yang terakhir kalinya, untuk meminta maaf." Dinaya diam sebentar dan menarik nafasnya. "Tidak akan ada kata balikan di kamusku. Kali ini aku menolak dan maafkan aku kalau kamu tersinggung"

KAMU SEDANG MEMBACA
Me and My Possesive Bro (End)
Ficção GeralSiapa sangka seorang Dinaya Feriawan, dokter cantik, elegan dan sangat seksi itu masih menjomblo selama 25th hidupnya, alias jomblo seumur hidup. Bukannya dia punya kelainan soal percintaan, dia mau dan ingin. Hanya saja Perjuangannya selalu terhamb...