16. Hukuman

812 41 2
                                        

Keysha POV

sekarang aku dan Reynand berdiri di hadapan Bu Miska, salah satu guru BK di sekolah. Tatapan Bu Miska begitu tajam dan mematikan, aku saja sampai ketakutan. Sekilas mataku mlirik Reynand sekedar memastikan dan yang benar saja tak terdapat raut ketakutan di wajahnya. Sungguh sikap Reynand sangat aneh menurutku, mengapa? Karena sikapnya tak sedingin ini saat mengobrol bersamaku. Apakah ini hanya perasaanku saja? Ah! Sudahlah. Memahami Reynand sama saja seperti mengarungi samudera dengan berenang.

"Kalian bukan anak kelas X atau kelas XI yang harus diberitahu peraturan sekolah. Seharusnya kalian menjadi contoh baik, bukan sebaliknya. Ibu nggak ngerti kenapa Reynand yang biasanya datang tepat waktu hari ini malah terlamba?" 

Kalau boleh jujur, ini adalah pertama kalinya aku terlambat. Jika Bu Miska sudah mengenalku pasti dia pasti akan melontarkan pertanyaan yang sama seperti Reynand.

Lagi dan lagi aku melirik Reynand, dia masih saja stay dengan sikap dinginnya. Sepertinya ia tidak berniat menjawab pertanyaan Bu Miska.

"Yasudah, kalian balik ke kelas sana!"

Aku dan Reynand keluar dari ruang BK. Lega rasanya keluar dari ruangan mematikan. Huffttt!

"Reynand!" teriak bu miska.

Ini guru nggak ada lembutnya sama sekali. Lihat saja cara dia memanggil Reynand.

Reynand berbalik arah, dia kembali masuk ke ruang bk. Aku mengikuti langkah Reynand. Jangan salahkan aku jika rasa kepoku mengajakku menguping.

"Ada apa bu?" tanya Reynand saat berada tepat di depan bu miska.

"Kamu dipanggil kepala sekolah," ucap bu Miska.

Aku bisa melihat kalau ekspresi Reynand masih dingin, apakah ia tidak terkejut dipanggil kepala sekolah? biasanya kalau siswa di panggil oleh kepala sekolah pasti akan terkejut. Ah! aku lupa kalau dia itu kulkas, datar.

Ada satu kemungkinan, kepala sekolah manggil Reynand karena urusan olimpiade atau yang lain. Aku tidak begitu yakin sih.

Tidak ingin mengambil pusing, sesegera mungkin kakiku beranjak dari tempat mematikan ini.

Sepanjang jalan menuju kelas aku berpikir pasti semua teman sekelasku tidak mendengarkan guru menerangkan di depan saat ini. Memang aku masih terbilang murid baru, tetapi aku bisa beradaptasi dan memahami lingkungan sekitar dengan mudah.

Pasti kalian bertanya-tanya kenapa pagi-pagi begini teman sekelasku tidak mendengarkan penjelasan guru? Aku akan menjawabnya dengan senang hati dan hanya memerlukan dua kata saja. Sejarah membosankan.

Kalian pasti tahu betapa membosankannya pelajaran sejarah di kalangan anak IPA. Mereka lebih memilih memecahkan soal matematika yang sulit ketimbang mendengarkan guru sejarah menjelaskan materi yang sudah diulang beberapa kali. Tetapi berbeda bila guru tersebut bisa membawa muridnya untuk berimajinasi tentang kejadian yang dihadapi pahlawan pada masa itu dengan apik.

Aku mengetuk pintu dan benar saja, beberapa temanku sudah masuk ke alam mimpi. Bahkan, Maura yang terbilang murid yang cerdas saja tertidur dengan posisi kepala di atas meja. Sama halnya dengan Maura, Adira juga membenamkan kepalanya di antara kedua tangannya.

Guru sejarah tampak acuh dengan murid-murid, ia terus menjelaskan materi sambil melihat langit-langit kelas. Ya, itulah kebiasaan guru sejarah dikelasku. Selalu menatap langit-langit kelas jika sedang menerangkan materi.

"Ke mana aja kau?" tanyanya dengan logat Medannya.

"Saya terlambat, pak," jawabku sopan.

"Masuk kau cepat, ganggu aja kau ini," guru sejarah mempersilakan aku masuk.

Aku duduk di bangkuku. Setelah duduk, mataku menatap ke arah depan dengan dagu yang ditopangkan di kedua tangan. Aku merasa aneh jika tidak ada Reynand. Biasanya di saat seperti ini, aku akan menganggu dia, tapi untuk sekarang kebiasaan itu tak bisa dilakukan karena tidak ada Reynand di sebelahku.

Ngomong-ngomong Reynand kok lama banget ya baliknya? Apa mereka membicarakan hal yang penting.

"Heh! Butet! Kau perhatikan dulu aku cakap, datang-datang melamun pula kau disitu." Aku terkejut dengan teriakan pak Ucok yang sepertinya ditujukan kepadaku. Buktinya, semua teman-teman menatap ke arahku semua.

"Saya tidak melamun pak, tapi lagi ngitung," jawabku.

"Apa yang kau hitung? Pikun apa cemananya kau ini, aku ini guru sejarah, nggak ada itung-itung samaku."

Sumpah, aku rasanya pengin ngakak. Logatnya yang sangat kental terdengar begitu lucu, mungkin karena aku orang Jakarta. Jadi, rada aneh dengan logat Medan.

"Aku lagi ngitung berapa lama lagi pelajaran bapak habis," jawabku ngasal.

Kelihatannya pak Ucok mulai marah, matanya menatapku tajam. Seram, jika saja kalian melihat ini, bisa aku jamin kalian bakal takut dengan tatapannya.

"Ke depan kau!" aku berjalan gontai menuju depan kelas. Beberapa temanku menatap kasihan dan mengejek.

"Keluar kau dari kelasku, kau cuma menyemak aja," usirnya, toh aku memang pengin keluar kelas kok.

Aku berjalan, sebelum benar-benar sampai di pintu aku memberhentikan langkahku. Salah satu temanku mengangkat tangan.

"Pak saya mau keluar juga," ujar orang yang mengangkat tangan tadi.

"Yaudah sana kau, nggak usah masuk lagi," usirnya ke orang tersebut. Aku tidak heran sih kalau dia ingin keluar. Kerjaannya setiap hari cuma bolos dan sejarah membosankan.

"Pak saya juga," aku terkejut melihat Aina mengangkat tangan juga. Tidak lama beberapa temanku mengikut. Hingga akhirnya semua mengangkat tangan. Dengan santai mereka keluar pintu, aku melihat mereka terkejut.

Bahkan, Maura juga keluar, seorang murid cerdas sekalipun merasa bosan dengan pelajaran sejarah. Aku dapat melihat Pak Ucok menatap kami geram, aku hanya mengendikan bahu acuh.

Alhasil, kami berakhir di ruang BK. Untuk kedua kali dalam sehari aku masuk ruang BK. Bu Miska menatap kami jengah. Pak Ucok masuk ruang BK dengan raut marah dan tatapan mata yang tajam.

"Kau kasih mereka-mereka ini hukuman biar kapok," suruh Pak Ucok.

"Iya, saya akan menghukum mereka," jawab Bu Miska. Pak Ucok keluar dari ruang mematikan ini.

"Ibu sudah capek menghadapi masalah ini terus." Bu Miska memijit pelipisnya. Bisa kutebak kalau Bu Miska sudah bosan menghadapi murid yang bermasalah pada pelajaran sejarah, terkhusus pelajaran pak Ucok.

"Sebagai hukuman, selama seminggu kalian harus membersihkan musala dan halaman sekolah," titah Bu Miska.

Aku menatap satu persatu temanku, tidak ada tatapan menolak yang terpancar di mata mereka. Terlihat biasa saja. Kalau begitu tidak apa-apa harus dihukum. Toh, hukumannya dikerjain sama-sama.

Aku ingat sesuatu, di antara semua murid tidak ada Reynand. Kenapa lama sekali dia di ruang kepala sekolah? Apa yang sedang mereka bahas? Kenapa aku jadi penasaran gini?

Alhamdulillah setelah sekian lama bertapa aku akhirnya bisa update. Gimana menurut kalian? Komen sebanyak mungkin supaya aku semangat updatenya.

Selamat membaca❣

Keynand [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang