BAGIAN 06

10.6K 562 1
                                    

TERBUKTI ampuh. Setelah mandi, badan Zafi terasa lebih sejuk dan kepalanya terasa lebih ringan. Kemudian ia merebahkan badannya begitu saja diatas kasur.

Zafi menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih nyaris tidak ada bercak noda. Kesunyian sungguh menemani malam ini hingga napasnya sendiri terdengar sangat keras. Pikiran Zafi terbesit lagi tentang Fio, mungkin cewek itu sedang tersenyum puas akan tindakan yang dilakukan pada Zafi, sedangkan Zafi sangat tertekan akan hal itu.

Zafi kembali mengingat syarat terakhir yang Fio lontarkan itu, membuat jantungnya semakin berpacu tidak stabil.

"Dan ini syarat yang paling penting, dan lo wajib lakukan hal ini,"

"Apa?"

"Lo posting foto gue di akun instagram lo dengan caption 'pacar gue yang paling cantik'," cengir Fio tak berdosa.

"Gila lo, yang bener aja gue harus nurutin mau lo yang satu ini."

Dasar tidak adil! Zafi mengangkat badannya dan memilih untuk duduk, ia mengambil sebuah laptop yang letaknya tidak jauh dari sana. Mungkin nonton film akan membuat stressnya sedikit hilang.

Dasar gila!! Baru kali ini Zafi patuh kepada seorang cewek. Sial, bagaimana bisa cowok itu begitu patuh pada syarat receh seperti ini. Mungkin saja Fio hanya mau mengerjai dirinya.

***

Alizter pulang dari kantornya mungkin sedikit lebih awal dari biasanya. Fio juga turut heran akan hal ini, sungguh sangat jarang terjadi. Untung Morin sudah memasak hidangan untuk malam ini.

Alizter langsung menghampiri istrinya yang masih menata sajian makanan. Morin mengerjap, ia sangat kaget lantaran sebuah pelukan hangat dari arah belakang berhasil memberhentikan dirinya dari kegiatan yang dilakukan saat ini.

"Eh...kamu mau makan sekarang mas?" tanya Morin lembut sedikit menghadap ke belakang. Tangan kanannya mengusap pipi suaminya itu.

"Iya, aku mau ditemenin sama perempuan bawel yang satu ini," ucapnya lirih sambil menjawil pipi Morin.

Morin tercengang, wajahnya merah padam. Lekukan senyum terbit disana. Ia melepaskan pelukan Alizter dalam dekapannya dan langsung menatap wajah suaminya itu.

"Ih kamu biasa selalu begini," gumam Morin ikut mencubit pipi Alizter lebih keras.

Fio turun dari kamarnya dan menuju dapur, cacing di dalam perutnya sudah meronta ingin dimasuki asupan makanan. Mata Fio mendelik kearah orang tuanya yang sedang tertawa kecil dan terlihat sangat mesra dan romantis. Tentu saja Fio ikut senang melihat ini, hubungan mereka terlihat baik-baik saja. Fio harus bersyukur kali ini.

Pasangan itu langsung diam dan menatap Fio ketika mendengar deheman darinya. Mereka tersenyum kecil dan melangkah kakinya untuk duduk di meja makan dapur yang cukup luas.

"Kamu mau makan sekarang?" sergah Morin tanpa menatap Fio sedikitpun. Manik matanya fokus menatap tangannya yang dengan sergap mengambil piring dan nasi. Fio mengangguk pelan dan tersenyum.

"Fio," panggil Alizter singkat.

Merasa namanya disebut, Fio langsung menghadap kearah asal suara. "Kenapa Pa?"

Laki-laki itu tersenyum, "masih ingat tindakan kamu dua hari yang lalu?"

Fio berpikir sebentar, berusaha mencerna ucapan Alizter dengan bijak lalu ia menggeleng tidak tahu. Alizter tersenyum kilas.

"Coba diingat lagi," pekik Alizter lagi.

Fio masih menggeleng kuat, sungguh ia tidak tahu apa yang dimaksud laki-laki itu. Otaknya sedang konslet, tidak berhasil berpikir jernih untuk sekarang.

"Papa kasih Fio klu dong, Fio bingung apa yang dimaksud Papa barusan. Tindakan apa?"

Alizter menghela napas dan menatap putrinya kembali, "Papa kasih kamu sedikit klu yaitu tepat jam sebelas malam kemarin."

Astaga! Fio menepuk jidatnya. Fio tersenyum ke arah Alizter. Begitupun Laki-laki itu. Mungkin otak Fio sedang diperbaiki di gudang pencucian, jadi tidak bisa mengingat sesuatu dalam jangka waktu yang lumayan dekat.

Morin yang melihat ini didepan matanya hanya menatap suami dan anaknya dengan tatapan kebingungan. Ada apa sebenarnya? Entah, Morin belum tahu tentang itu.

"Jahat nih kalian berdua, mulai rahasia-rahasiaan nih sama mama." Morin menunjukkan mimik wajah cemberut, perempuan itu melipat kedua tangannya.

Morin terlihat seperti anak kecil yang tidak jadi dibelikan mainan oleh ayahnya. Ya, begitulah ekspresi yang Morin tunjukkan untuk kali ini.

Alizter menatap istrinya dan tersenyum kecil, "nanti aku kasih tahu, jangan ngambek ah," ucap Alizter menenangkan. Kemudian tangannya terjulur mengacak rambut istrinya.

Walaupun umurnya tidak muda lagi seperti dulu, tetapi tingkah laku pasangan suami istri itu masih layaknya siswa SMA, sungguh harmonis melihatnya. Fio bahkan iri ketika menatap mereka.

"Jangan berat-berat dong Pa hukumannya, plis..." pekik Fio merayu.

Alizter mengacak rambut Fio, "nggak sayang, hukuman kamu sesuai dengan tingkat perbuatan yang kamu sendiri lakukan," ujarnya lembut.

"Terus?" Fio masih tidak memalingkan wajahnya sedikitpun dari Papanya.

"Maafkan papa kalau dulu pernah hukum kamu dengan berat." Alizter tersenyum.

Fio mengangguk samar, "iya nggak pa-pa, soalnya Fio juga yang salah, hehehe, "ujarnya, "terus hukuman Fio kali ini apa, Pa?" tanya Fio sedikit ragu.

Didalam lubuk hatinya terdalam, Fio sudah membacakan mantra agar Alizter tidak memberi hukuman yang berat. Semoga saja itu, Morin hanya bisa berharap lebih.

"Kamu maunya dihukum apa?"

Fio tampak sedang berpikir, "emm... terserah Papa deh, tapi jangan seperti hukuman yang kemarin ya, hehe."

"Hukuman apa si? Kamu melakukan kesalahan apa, Fio? Mama kok nggak tahu?" Morin dari tadi hanya bisa diam dengan pikiran yang terus melayang--keheranan.

"Fio nabrak orang ma," jawab Fio asal.

"FIIIOOO!!!"

"Nggak ma, Fio becanda kok, hehehe," ucap Fio sedikit menahan tawa melihat paras cantik mamanya yang panik, "masa iya Fio seceroboh itu." Fio kembali menatap Alizter.

"Gini aja, kamu besok malam ikut kumpul sama rekan kerja Papa. Katanya Om Gerald juga akan bawa anaknya," jelas Alizter, "kamu nanti temenin dia ngobrol," lanjut laki-laki itu yang masih mengenakan jas berwarnah abu-abu. Masih terlihat sangat rapi.

Fio mendelikkan matanya, "t--tapi Fio malu Pa, lagian Fio juga belum pernah ketemu sama om Gerald, apalagi anaknya." Fio menunjukkan ekspresi wajah cemberut. Semburat warna merah menghiasi pipinya yang lembut.

Alizter terkekeh, "tadi katanya terserah Papa. Nggak pa-pa, om Gerald baik kok. Anak laki-lakinya juga baik," pinta Alizter.

Mulut Fio terbuka lebar, ia menganga kaku, "what?? Cowok? Yang bener aja. Jangan-jangan Papa mau jodohin Fio sama dia ya?" raung Fio.

"Papa nggak kayak gitu, kamu kan masih sekolah. Kuliah juga belum, mau kan?"

Fio pasrah saja, ia tidak mau perdebatan ini terus belanjut. Apalagi menghadapi Alizter, rasanya Fio tidak berani untuk menolak itu. Dengan berat hati, Fio mengangguk kecil. Dan tentu saja Papanya itu sangat senang, Fio kembali ke dalam kamarnya setelah makan malam itu selesai.

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang