BAGIAN 47

4.9K 194 1
                                    

"ADUH, gue mau ke toilet dulu. Nggak tahan lagi gue," ujar Fio dan langsung bangkit dari sofa. Lantas cewek itu segera berlari menuju toilet. Fio sudah hapal setiap sudut rumah Retta.

"Dia mau pipis atau mau BAB?" Karin bertanya kepada Retta dan Friska. Ekor matanya terus mengikuti Fio yang sedang berlari.

"Penting banget ya buat lo?" Friska menatap Karin dengan sudut bibir terangkat keatas.

***

Setelah kurang lebih sepuluh menit berada di kamar mandi, Fio keluar dengan napas lega karena tidak ada lagi rasa khawatir yang menyerangnya. Fio lantas menutup pintu toilet dan mulai berjalan menuju tempat semula.

Langlah kaki yang terasa ringan itu tiba-tiba harus berhenti secara mendadak di tikungan keluar dari area kamar mandi. Fio menatap cowok yang kini berada dihadapannya. Tatapan mereka saling bertemu selama lima detik, namun dengan cepat Fio mulai melanjutkan berjalan karena sudah sangat muak ketika melihat wajah cowok itu.

Batin Fio menjerit, ia tidak bisa menerima keadaan untuk saat ini. Paras cantik Fio terlihat sangat gelisah, ia menelan ludahnya beberapa kali. Cowok itu menarik lengan tangan Fio dan menghunuskan tatapan tajam setelah itu.

Fio tidak bisa lagi mengelak karena ia terjebak tembok. Cowok itu berdiri dihadapan Fio, kedua tangannya mengapit kepala Fio. Sontak deru napas Fio berjalan tidak normal, jantungnya berdetak cepat. Fio takut sendiri, kini sekujur tubuhnya merasa panas dingin, keringat mulai membasahi pelipisnya yang semula kering. Fio gemetar karena saking takutnya kepada sosok cowok yang kini berada sangat dekat dengannya, nyaris hampir bersentugan.

Ingin rasanya Fio menjerit minta tolong, namun entah kenapa toilet dalam keadaan sepi, tidak ada makhluk bernyawa kecuali mereka berdua. Fio masih menatap cowok itu dalam diam, Fio juga masih tidak percaya akan situasi ini.

Sangat diluar nalar dari pikiran Fio, ia bertemu dengan cowok itu setelah ingatan tentangnya hampir saja berhasil lenyap dari otak. Kini setelah melihat wajahnya, ingatan yang sempat memudar itu kembali hadir.

"Minggir, gue mau pergi." Fio mendorong dada bidang Revan.

"Tunggu, aku mau ngomong sama kamu." Revan kembali mendorong Fio ke tembok.

"Gue nggak mau ketemu sama lo lagi. Lo kenapa si ganggu gue terus, gue sama lo udah nggak ada hubungan lagi. Gue muak sama tingkah bejat lo itu!" Fio memukul dada Revan. Tetapi usaha Fio jelas tidak membuahkan hasil. Tenaga yang Fio keluarkan sangat tidak apa-apanya bagi Revan.

"Aku akan perbaiki semua Fi, pliss...sekarang kita mulai lagi dari awal. Aku janji nggak bakal berbuat nekat lagi sama kamu, aku akan mulai berubah. Kamu mau, kan?" ucap Revan memohon kepada Fio.

Fio menggeleng kuat, cairan kristal tiba-tiba meluncur dari kelopak matanya yang sendu. Air matanya turun deras membentuk aliran sungai dikedua pipinya.

"Cukup! Hubungan kita nggak ada apa-apa lagi. Kenapa lo balik lagi setelah gue udah bahagia dengan orang lain. Tolong, gue cuma minta sama lo supaya jangan ganggu hidup gue lagi."

Revan tidak bisa terima dengan ucapan Fio barusan. Ia tidak bisa mengakhiri ini. Memang, perlakuannya sangat egois--penting untuk dirinya saja. Revan menjatuhkan tangannya dimulut Fio, dia mencapit mulut Fio hingga nyaris berbentuk bulat.

Fio kesakitan karena cengkeraman yang Revan buat tidak main-main. Bulir cairan bening masih terus turun. Fio sesenggukan, keringat dingin sudah membanjiri leher dan keningnya. Fio menatap sorot mata Revan yang sangat menakutkan.

"Aku nggak bisa ngrelain kamu begitu aja, kamu masih tetap menjadi milik aku sampai kapanpun. Jangan pancing aku untuk berbuat nekat!"

Revan melepaskan cengkeram itu. Fio masih meringis menahan sakit. Cowok itu kemudian pergi melesat meninggalkan Fio disana. Air mata itu semakin deras mengalir, Fio lemas dan langsung terduduk dilantai. Tangisan pilu itu belum kunjung membuyar.

***

Sudah dua hari semenjak Fio bertemu Revan di pesta ulang tahun Retta dan Karin, cewek itu lebih banyak diam. Revan satu sekolah dengan Rani dan bertempat dalam satu kelas yang sama, oleh karena itu, Rani mengundang cowok itu datang ke acara pesta ulang tahunnya.

Zafi juga merasa keanehan yang seperti menyerang Fio. Kini Fio sedang berada di kantin, menemani Zafi makan. Tidak hanya cowok itu yang makan, Fio sendiri juga sama sepertinya. Fio tidak bergairah menyentuh makanan itu, sedari tadi dia memainkan nasi gorengnya dengan sendok.

"Kamu sakit?" tanya Zafi merasa khawatir dengan Fio. Cewek itu lantas menggeleng.

"Yaudah, buruan makan keburu dingin tuh."

Fio tidak menghiraukan ucapan Zafi, ia hanya diam sambil menatap nanar makanan dihadapannya. Setelah itu, mereka memutuskan untuk pergi ke kelas masing-masing.

Langkah kaki Fio terus melangkah lemas, kini Fio terlihat seperti orang yang tidak mempunyai gairah untuk hidup. Wajahnya ditekuk ke bawah.

Sett!

Tangan Fio diseret oleh seseorang, lantas cewek itu melotot ketika siapa yang tengah melakukan hal itu. Fio diseret pergi ke toilet oleh tiga cewek. Ya, siapa lagi kalau bukan geng Leni.

Fio mengelak dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan itu, namun Leni dengan sigap terus mendorong. Apalagi dengan dua anak buahnya. Kini Fio kalah jumlah.

"Lo sekarang makin nglunjak ya?" raung Leni melepaskan tangannya.

Pergelangan tangan yang masih sedikit sakit itu, lantas Fio memijitnya sedikit. Sorot matanya kini mengarah tajam kearah Leni. Ia tidak takut sama sekali.

"Udah Len, beri pelajaran aja nih bocah. Makin hari makin menjadi tuh," celetuk Vina disamping Leni.

"Emang gue punya salah apa sama kalian?"

Leni makin genjar ingin meladeni Fio. Sifat Fio yang sedikit pembangkang mampu membangkitkan emosi Leni.

"Lo tanya salah lo apa sama kita? Ngaca woy! Nyadar diri lo! Perlu gue ingatkan ke elo, jadi cewek jangan ganjen deh. Lo pakai apaan kenapa Zafi mau sama lo? Lo pakai pelet, ya?"

Sorot mata tajam Fio dapat menghunus tatapan yang Leni paparkan. Fio malas untuk menjawab ucapan Leni karena dia tahu sendiri kalau Leni pasti akan membalas ucapannya lagi. Jadi, percuma saja kalau Fio melakukan hal seperti itu.

"Kenapa lo diem? Ngerasa sama ucapan gue barusan? Iyalah ngerasa, mana mau dia ngaku, HAHAHA!"

Sekarang Fio merasa direndahkan oleh mereka. Terutama Leni, ucapan yang keluar dari bibir merah itu sangat memohok siapa saja yang mendengarnya. Hanya mereka satu tingkat lebih tinggi dari pada Fio, geng Leni itu selalu menindas adik kelas. Catatan kejelekan mereka sudah tidak asing lagi ditelinga.

Banyak yang melapor atas tindakan yang mereka lakukan. Tidak jarang, dalam satu minggu, pasti Leni CS keluar-masuk ruangan BK. Sudah banyak guru BK yang mencatat kejelekan cewek-cewek berandal itu. Mungkin bila ditumpuk, hampir menyerupai gundukan tanah yang menjulang tinggi.

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang