PINTU yang semula tertutup sangat rapat kemudian terbuka lebar, Fio masuk ke dalam rumahnya dan lantas cewek itu menutup pintunya kembali.
Alizter dan Morin yang duduk di sofa ruang tamu langsung terperanjak akan kehadiran Fio. Mereka langsung menghampiri anaknya yang masih berdiri didepan pintu dengan tampang wajah kebingungan melihat kedua orang tuanya yang menampakkan raut wajah gelisah.
Morin langsung memeluk Fio dan tangan halusnya mengusap dan mengacak rambut Fio. Setelah itu, kening yang masih sedikit berkeringat lantas dicium oleh Morin. Ah, Fio masih kebingungan. Ada perihal apa sebenarnya ini, tidak biasanya juga mereka memperlakukan seperti ini kepada Fio. Berlebihan.
"Kamu tadi kemana aja? Kok baru pulang jam segini, Papa telpon kok nggak nyambung," tanya Alizter. Suaranya yang berat, jelas menciptakan rasa kekhawatiran.
Fio menghela napas gusar. Cewek itu mengira ada hal penting yang harus dirinya tahu, rupanya Alizter dan Morin hanya mengkhawatirkan keadaan anaknya saja. Seharusnya Fio beruntung karena masih diperlakukan seperti itu. Sedangkan diluar sana, masih banyak anak yang kurang mendapatkan perhatian lebih dan kasih sayang dari orang tuanya. Terlebih lagi juga banyak yang hanya mendapatkan siksaan dari mereka.
Sesibuk-sibuknya Alizter bekerja untuk menafkahi keluarga. Laki-laki itu tak jarang memperhatikan aktivitas Fio. Alizter tidak mau anak semata wayangnya bermalas-malasan di rumah. Namun, cewek itu kadang juga merasa terpenjara akan tindakan Alizter yang menurutnya terlalu berlebihan. Tetapi, Alizter memperlakukan Fio seperti itu juga mempunyai alasan tersendiri. Semua orang tua pasti ingin anaknya jauh lebih baik daripada dirinya, bukan?
"Aku tadi ikut teman main golf dulu Pa, maaf nggak sempat ngabarin Papa. Hehehe," kelakar Fio.
"Lain kali jangan ulangi lagi. Kasihan Papa sama Mama yang khawatir soal kamu. Takutnya terjadi hal yang tidak mengenakkan," ujar Morin menimpali.
Fio mengangguk paham. Dia harus nurut sama omongan mereka. Ya, hal itu memang sudah menjadi kewajiban seorang anak kepada orang tuanya. Morin dan Alizter sangat sayang kepada anaknya, Fio. Cewek itu juga merasakan hal sama, kadang terbesit pikiran bagaimana nantinya jika mereka telah tiada dan meninggalkan Fio sendirian. Pasti Fio akan kalang kabut.
"Tadi kamu pulang naik apa? Dianterin Friska?" tanya Morin setelah itu.
Fio menggeleng kepalanya cepat. "Nggak, tadi Fio dianterin teman," jawabnya jujur.
"Cowok?" tanya Alizter cepat.
Fio langsung menoleh dan menatap kearah Papanya. "I-iya Pa."
"Pacar kamu?" tanya Alizter lagi.
***
Zafi masih bersikukuh pada pendiriannya, yaitu berdiri walaupun sedari tadi Aksa mereang untuk menyuruhnya duduk. Yang Zafi pikirkan adalah seandainya sekarang dia duduk disofa dengan Aksa, pasti Zafi akan semakin lama disini dan Papanya juga pasti akan mencegahnya untuk bangkit dari sana. Itu yang Zafi tidak suka.
"Zafi capek Pa, mau mandi terus tidur," rengek cowok itu.
"Tunggu disini sebentar saja, temenin Papa ngobrol sama tante Maya yang sebentar lagi akan menjadi Mama kamu," ucap laki-laki paruh baya itu. Lantas bola matanya langsung menatap Maya yang tersenyum kearahnya.
Senyum miring terbentuk diujung bibir Zafi. "Emang Zafi dikira obat nyamuk apa. Ngobrol berdua aja sana, mesra-mesraan juga boleh. Nggak ada yang nglarang juga. Udah ah, males Zafi disini terus, Zafi mau naik!" tegasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"