BAGIAN 45

5K 234 1
                                    

"MENURUT kamu bagusan ini atau yang ini?"

Fio menyodorkan dua VCD sekaligus kepada Zafi untuk meminta pendapat darinya.

"Ini bagus, tapi aku lebih suka yang satunya." Zafi menyodorkan kembali benda itu kepada Fio.

"Kenapa lebih suka yang ini?" Fio memandangi VCD yang ditunjuk Zafi barusan, lalu ia kembali menatap wajah Zafi.

"Aku udah nonton dua-duanya. Tapi lebih bagus yang itu si, kalau kamu minta pendapat aku. Terserah kamu aja mau pilih yang mana."

Fio terkekeh mendengar itu, "dasar funboy," ejek Fio.

"Funboy gini kamu juga demen, kan?" Zafi menaikkan satu alis tebalnya yang berada disebelah kiri.

Dada lebar Zafi didorong Fio ke belakang, "ih apaan si?" Zafi hanya bisa terkekeh kecil. Fio salah tingkah. Salahkan jika Fio merasa baper untuk sekarang?

***

Zafi memasukkan motornya di garasi yang sudah tersedia dihalaman rumahnya. Lantas ia mulai masuk membuka pintu depan rumah. Mobil Aksa ada dihalaman rumah, itu artinya Papanya sudah pulang. Zafi berharap tidak ada Maya didalam rumah, hal itu akan membuat mood dirinya akan hancur seketika.

Memikirkan perempuan itu saja rasanya Zafi sudah ingin muntah, Zafi menutup pintu kembali dan berjalan ke dapur untuk mengambil minuman bersoda dari dalam kulkas.

"Bi, Papa mana? Papa udah pulang kan?" tanya Zafi kepada Bi Kasih--pembantu rumahnya.

"Iya Den, Tuan udah pulang. Tadi Bibi habis buatin teh anget," jelas Bi Kasih. "Oh iya Den, katanya Aden disuruh untuk nemui Tuan di kamar, itu pesan yang Tuan titipkan ke Bibi," lanjut perempuan paruh baya itu yang rambutnya sudah mulai memutih.

Mendengar ucapan Bi Kasih membuat kerutan didahi Zafi mulai terlihat. "Emang ada apa Bi?"

"Bibi nggak tahu atuh Den, pamali kalau Bibi banyak tanya sama Tuan," ujarnya lagi.

"Makasih ya Bi!" Zafi langsung berjalan menuju lantai dua. Air soda yang tadi diambil kini dibiarkan begitu saja diatas meja dapur. Zafi tidak meneguk sedikutpun.

Kini Zafi sudah berada didepan pintu kamar Aksa. Zafi bertanya-tanya kepada benaknya, kenapa Aksa menyuruh dirinya untuk menemui di kamar. Pikiran Zafi sudah melayang membayangkan hal yang seharusnya tidak ada diotaknya. Perlahan ia mulai mengetuk pintu pelan sebanyak tiga kali.

Tidak lebih dari tiga menit, pintu yang semula tertutup dengan rapat kini sudah terbuka lebar dan menampilkan sosok Papanya dari dalam. Laki-laki itu tersenyum kearah anaknya. Zafi tidak membalas senyuman itu, ia hanya menatap dengan wajah datar.

"Ada perlu apa Papa ingin bertemu Zafi?" Zafi langsung menyuguhkan pertanyaan. Zafi tidak mau berlama-lama disini karena dia masih sedikit tidak suka kepada Laki-laki itu.

"Masuk dulu, ini penting!" Aksa memegang bahu Zafi agar segera masuk ke dalam kamarnya. Namun, dengan gerak cepat Zafi menangkis tangan besar itu.

"Kenapa di dalam kalau disini juga bisa? Lagian Zafi juga nggak ada waktu lama, mau ngomong soal apa? Zafi capek mau tidur!"

Aksa mendengus. "Ini menyangkut soal Maya," ucapnya lirih.

Sebelumnya pikiran Zafi sempat tertuju pada hal itu kenapa Papanya ingin bertemu. Namun, Zafi sudah menghilangkan pikiran itu dari dalam otaknya. Dan sekarang, dugaan awalnya memang benar terbukti, Aksa akan membahas soal Maya lagi. Cukup! Zafi muak mendengar itu semua, lagi dan lagi pasti perihal itu yang dibicarakan. Seperti tidak ada pembicaraan lain yang lebih penting.

"Zafi capek Pa, iya Zafi udah tahu kalau Papa mau nikah lagi sama perempuan itu. Zafi udah ijinin Papa, jadi Zafi mohon jangan bahas perempuan itu lagi."

"Kamu denger dulu kalau Papa mau ngomong."

"Mau ngomong apa lagi? Zafi udah bilang, kalau Zafi tidak mau Mama tiri, terserah kalau Papa mau nikah sama perempuan itu. Zafi rela, tapi asal Papa tahu, sampai kapanpun Zafi tidak akan anggep dia sebagai Mama Zafi."

"Zafi juga udah tahu kalau Papa sama dia bakal nikah kurang lebih dua minggu lagi. Zafi masih ingat Pa!" Emosi Zafi memuncak.

Seluruh amarah Zafi ia lontarkan begitu saja, Aksa juga takut mendengar anaknya ketika sedang emosi seperti ini. Mungkin Zafi mempunyai keturunan dari Aksa yang memang dulu saat seusia Zafi juga sering emosi. Bi Kasih sempat mendengar keributan dari dapur, perempuan tua itu sempat mendongak keatas melihat cekcok antara majikan dengan anaknya.

Bi kasih tidak mau ikut campur, tugasnya dirumah ini hanyalah sekadar masak dan bersih-bersih rumah.

"Papa nggak jadi nikah sama Maya, Papa turutin apa kemauan kamu," tutur Aksa dengan sendu sembari memegang bahu Zafi. Cowok itu lantas menatap wajah Aksa--bingung.

Zafi menurunkan kedua tangan Aksa dari bahunya sedikit pelan, tidak sekasar sebelumnya. "Nggak usah nurutin apa mau Zafi Pa, kalau itu tidak sejalan dengan hati Papa." Zafi menyentuh bagian dada Aksa.

"Kalau hati Papa berkata lain, jangan turutin apa mau Zafi. Hal itu hanya bisa menyebabkan Papa tambah sakit hati," ujar Zafi. Matanya lurus terpaku pada mata Aksa.

Laki-laki itu menggelengkan kepala, "nggak, itu mau Papa sendiri. Bukan sekadar mau kamu aja. Papa memutuskan hal ini juga bukan karena kamu saja."

Zafi semakin bingung apa yang diucapkan Aksa, dia sekarang gencar ingin mendengar penjelasan Papanya lagi.

"M--maksud Papa, apa? Zafi nggak ngerti apa yang Papa maksudkan. Kalau gitu langsung ke intinya aja, jangan buat Zafi terus berpikir." Zafi mulai sedikit melangkah maju.

Aksa menghembuskan napas berat. "Papa nggak jadi nikah sama Maya karena...."

"Karena apa, Pa?" Zafi menyela omongan Aksa dan kedua tangannya terangkat menggoyangkan bahu Aksa.

"Karena Papa nggak cinta lagi sama dia? Nggak mungkin itu alasan yang tepat buat Papa tunjukin ke Zafi, pasti ada alasan yang mendasar itu semua. Kenapa, Pa?" Zafi semakin gencar membujuk Papanya agar mengucapkan hal yang sebenarnya. Suaranya terdengar sangat kencang.

"Bener apa yang kamu bilang ke Papa," ucap Aksa seraya menarik tubuh Zafi ke dalam pelukan dirinya. Sudah sekian lamanya Zafi tidak mendapatkan hal seperti ini. Rasanya sangat menenangkan.

"Maafin Papa karena nggak denger omongan kamu, Maya bukanlah perempuan apa yang seperti Papa lihat. Maya merupakan perempuan seperti yang kamu lihat Zafi!" Sambil memeluk Zafi, Aksa kembali mengeluarkan suaranya. Terdengar sangat pahit ucapan itu.

"Maksud Papa?"

"Papa merasa dibodohi sama dia, papa telah ditipu sama dia. Ya, kamu memang benar kalau Maya itu perempuan matre yang banyak maunya, kemarin Papa juga lihat dia jalan sama laki-laki lain."

Mendengar itu dari bibir Papanya sendiri membuat Zafi mengepal kedua tangannya dengan kuat. Urat ditangannya sangat terlihat jelas. Zafi kembali memeluk erat tubuh Aksa. Ia juga turut sedih mendengar pengakuan itu.

"Maafin Zafi Pa," ucap Zafi sendu.

Punggung Zafi dielus oleh laki-laki itu. Zafi dapat merasakan itu dengan jelas. "Kamu nggak salah, Papa yang banyak salah kepada kamu, maafin Papa, ya?"

Zafi mengangguk dagunya pelan. "Zafi juga minta maaf sama Papa karena udah ngomong kasar. Sekali lagi Zafi minta maaf ya, Pa?"

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang