FLASHBACK
Terdengar dari arah pintu suara ketukan lirih sebanyak tiga kali. Fio berusaha tidak menghiraukan. Bukan karena tidak mau menemui siapa orang yang mengetuk pintu itu, tetapi Fio hanya malas untuk bangkit dari kasur.
Suara itu semakin menusuk gendang telinga. Merasa kesal, Fio mulai bangkit, mulutnya terus menggerutu karena waktu tidurnya sudah diganggu.
Ceklek!
Pintu terbuka sedikit lebar dan menampilkan Laki-laki Jakun bertubuh tinggi. Dia tersenyum kearah Fio.
"Ada perlu apa, Pa? Tumben, kesini?" Fio yang menyadari bahwa Alizter memang sangat jarang pergi ke kamarnya lantas terheran.
"Ada hal penting yang akan Papa omongin ke kamu, sanggup mendengarkan? Mungkin, ini tidak membutuhkan waktu sedikit," ujar Alizter.
Fio menggaruk tengkuknya. "Nggak besok aja, Pa?" Suara Fio terdengar malas. Ya, dia juga malas mendengar Papanya bicara. Apalagi setelah mendengar bahwa tidak membutuhkan waktu sedikit untuk bercerita. Itu saja, membuat Fio semakin malas.
"Mungkin bagi Papa, ini adalah waktu yang tepat. Udah lama Papa ingin omongin sama kamu soal ini," ucap Alizter berusaha meyakinkan anaknya. Dahi Fio semakin berkerut karena dia juga penasaran.
"Yaudah, masuk Pa." Fio membuka pintu lebih lebar lagi. Alizter masuk ke dalam dan memperhatikan isi kamar anaknya seketika. Kemudian, dia mengambil duduk di kasur empuk milik Fio.
"Sebelumnya Papa mau tanya dulu sama kamu, cowok yang tadi kesini bener dekat dengan kamu?"
Bola mata Fio menatap sinis. "Kenapa tiba-tiba jadi nanya begituan Pa?"
"Jawab, dulu. Papa cuma mau tau aja."
"I--ya Pa. Fio lumayan deket sama dia," ujar Fio sedikit malu.
Setelah jeda beberapa detik, akhirnya Alizter kembali berucap, "Papa mau, kamu jauhin dia. Bisa?"
Permintaan konyol apalagi ini. Itu bahkan tidak masuk akal. Fio tertawa kecil mendengar permintaan itu dari Papanya.
"Papa kayak nggak ada bahasan yang lebih penting dari hal ini deh," pekik Fio tertawa kembali.
"Ini penting, kamu bisa kan, nggak usah deket-deket sama dia lagi. Hanya itu mau Papa."
Hening kembali terjadi sesaat. Namun, lima detik kemudia Fio kembali mengeluarkan suaranya, "Papa kenapa? Kenapa Fio nggak boleh dekat dengan Zafi? Pasti ada alasannya, kan? Nggak mungkin juga Papa nyuruh Fio melakukan hal itu tanpa alasan."
Alizter sedikit mendekat kearah putri kesayangannya. Ia megelus puncak kepala Fio dengan lembut. "Itu juga untuk kebaikan kamu, sayang!"
"Fio butuh penjelasan Pa. Apa maksud Papa melakuan hal ini? Aku bingung apa yang Papa bicarakan dari tadi," raung Fio sedikit tegas.
Alizter mengambil ponsel dari dalam sakunya, kemudian ia membuka pesan dan menyodorkan benda pipih itu kepada Fio. Cewek itu lantas membaca pesan yang ditulis dengan huruf balok.
Dada Fio seketika sesak, oksigen yang berada disekelilingnya seperti hilang dari sana. Jantungnya berdegup kencang. Fio mulai merasa takut. Suhu tubuhnya mendadak menjadi dingin. Fio lantas langsung menatap Alizter. Bibirnya masih bergetar.
"Ini maksudnya apa, Pa?"
Alizter tidak menjawab pertanyaan Fio. Hanya sorot mata yang mampu menjawab semuanya. Laki-laki itu kemudian menatap anaknya dengan lekat.
"Papa nggak tahu siapa orang yang ngirim pesan itu. Tetapi, feeling Papa mengarah pada ayah dari temen kamu tadi."
"Papa takut kalau itu modus untuk melukai kamu nantinya. Jadi, mulai sekarang kamu tidak usah dekat dengan dia lagi. Kamu cuma harus waspada, ini demi keselamatan kamu juga," lanjut Alizter menjelaskan.
Fio kembali merasa sesak. Seandainya Alizter tahu bahwa Zafi merupakan orang terpenting di hidup Fio. Mungkin, Alizter tidak bakal asal bicara seperti itu. Fio tidak bisa melupakan Zafi begitu saja. Kenapa takdir memberi sejuta kutukan yang pedih. Ini tidak adil. Rasa bahagia memang sangat berarti, namun itu hanya terjadi beberapa saat dan setelah itu melebur begitu saja. Rasa pedih mulai muncul dan bakal bertahan lama.
"Kenapa Papa ngomong gitu? Emang apa buktinya kalau Zafi terlibat dalam hal ini?" Fio memberanikan untuk bertanya. Lagi.
"Aksa. Itulah nama ayah dia. Papa sempat bertanya. Aksa itu terbilang tidak baik sama Papa sewaktu SMA dulu. Sebab itulah, Papa takut Aksa masih menyimpan dendam."
"Kini hanya keadaan kamu yang Papa khawatirkan. Kamu bisa menjalani apa mau Papa itu?"
Fio mengangguk samar. Walau nyatanya ia sangat berat melakukan hal itu. Setelah Alizter keluar dari kamarnya, Fio langsung merebahkan badannya dikasur. Bantal diletakkan diatas mukanya, tangis sendu mulai keluar. Menangis, hanya itu yang bisa Fio lakukan untuk situasi saat ini. Menangis akan membuatnya lebih baik.
Meninggalkan Zafi bukanlah jalan yang tepat, Fio menyayanginya. Fio yakin, Zafi tidak setega itu kepada dirinya.
Flasback end.
***
Fio kini terlihat seperti anak panda. Sekitar area matanya sedikit menghitam, matanya sembam. Fio kurang tidur, karena waktu tidur tadi malam hanya untuk mencurahkan air matanya. Sesak didadanya masih membekas, mengingat penuturan Papanya membuat Fio semakin ingin menangis.
Karin yang melihat Fio duduk dibangku lantas menyuguhkan pertanyaan karena sahabatnya itu terlihat pucat. "Fi, lo kenapa?"
Cewek itu tidak menghiraukan pertanyaan Karin. Wajahnya ditekuk, menatap kearah bawah.
Karin tersenyum kecil, "gue tahu lo pasti ada masalah. Kalau lo nggak mau cerita juga nggak Papa kok. Tapi, kalau lo butuh sesuatu, lo tinggal bilang aja ya?"
Fio masih bergeming. Lidahnya sangat kelu walau untuk mengucapkan satu kata saja. "Gue tahu lo lagi pingin sendiri. Kalau gitu gue mau ngomong Retta sama Friska supaya nggak ganggu lo untuk sekarang, oke?" Karin kembali berseru dan lantas pergi meninggalkan bangku Fio. Cewek itu masih dalam diam.
Karin membalikkan badannya setelah dua langkah beranjak dari bangku Fio. Karin pikir, Fio akan mencegahnya untuk pergi. Namun, nyatanya tetap sama, dia masih diam bergeming. Karin hanya bisa mengulum senyum kecut. Karin memang ingin tahu masalah Fio itu, ingin sekali mengulurkan tangan untuk membantu. Ingin berusaha menjadi sahabat yang baik. Nyatanya, Fio enggan bercerita.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"