BAGIAN 52

5K 199 0
                                    

MATA sembam, baju sedikit kumal, rambut yang berantakan tampak menghiasi wanita yang sudah berumur kepala tiga itu. Morin terus menangis didalam kamarnya. Ruangan itu terlihat sangat berantakan. Vas bungan pecah, menyisahkan beling dimana-mana. Lembaran tisu seperti sampah yang tersebar di lantai. Pakaian yang berserakan serta lemari baju terbuka turut memberi kesan ruangan ini butuh direnovasi kembali.

Mendengar tangis istrinya yang sudah dua hari tidak berhenti, membuat Alizter terus merenung dan frustasi. Pekerjaannnya menjadi kacau, dia juga sedikit pusing memikirkan. Alizter membuka pintu kamarnya.

Suara sendu dari mulut Morin terus berdengung ditelinga Alizter. Laki-laki itu kemudian mendekat ke arah Morin yang sedang memeluk lututnya disamping tempat tidur.

Morin terus menangis tersedu, tidak menghiraukan kehadiran suaminya disamping yang sedang memandang kearahnya.

"Kalau kamu terus menangis, masalah nggak akan kelar. Percuma aja," ucap Alizter lirih.

Morin menoleh, "kamu nggak mikirin nasib Fio itu gimana? Hah!" Morin emosi.

Alizter menghela napas, "sangat jelas kalau aku sangat khawatir dengan putri kita. Tapi, kamu harus percaya kalau Fio akan baik-baik saja dimanapun dia berada." Alizter berusaha menenangkan Morin, suaranya lembut.

"Fio udah ilang sejak dua hari yang lalu, KAMU BILANG KALAU DIA SEDANG BAIK-BAIK SAJA ?!" Emosi Morin semakin tersulut.

"Sebaiknya berhenti menangis, coba bantu aku bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Kalau kamu terus menangis, bagaimana masalah kita akan kelar. Dan kalaupun kamu masih terus bersikukuh ingin menangis, Fio juga nggak akan balik," jelas Alizter. Morin termenung, mencerna baik-baik ucapan suaminya.

"Maaf," ucapnya lirih. Morin kembali menangis, kini menangis dalam pelukan hangat Alizter.

Kini sudah dua hari lamanya, Fio tidak pulang ke rumah. Hal itu membuat Alizter dan Morin sangat khawatir, takut kejadian tidak mengenakan sedang menimpanya.

Suara notifikasi pesan masuk lagi, Alizter menggeser kunci layar dengan jempol tangannya, lantas membuka pesan itu.

+628*******15
GUE NGGAK PERNAH MAIN-MAIN SAMA UCAPAN GUE. LO NGGAK USAH NYARI FIO, KARENA UDAH ADA DITANGAN GUE. SEBENTAR LAGI, NYAWA ANAK LO INI AKAN MELAYANG, HAHAHA!!

***

Berita Fio menghilang sudah membuat seluruh siswa SMA Harapan Pertiwi menjadi heboh dan gempar. Tatkalapun para guru yang juga khawatir akan keadaan salah satu muridnya. Kepala sekolah juga turun tangan, beliau sudah melapor masalah ini kepada pihak kepolisian.

Kelas X1 IPA 1, salah satu dari sekian banyak kelas yang paling merasa sedih atas kehilangan salah satu anggota kelas mereka. Semua merasa sedih, begitupun ketiga sahabat Fio yang sangat dekat. Retta, Karin, dan Friska sangat terpukul ketika mendengar kabar buruk itu.

"Udah Rett, nggak usah nangis terus. Gue juga sedih kok," ucap Karin serta berusaha menenangkan Retta yang dari tadi pagi terus menangis tidak henti. Karin juga sedih, noda air mata masih membekas di kedua pipinya yang lembut.

"Iya Rett, benar apa yang Karin ucapkan. Kita harus bantu nyari Fio, nangis mggak akan membuat masalah selesai," timpal Friska.

Diantara mereka, Retta merupakan sosok yang begitu dekat dengan Fio. Tidak heran jika cewek itu terus menangisinya.

"Gue kasihan sama Fio, lo semua nggak ngerti perasaan gue gimana!" pekik Retta sambil terus mengeluarkan air mata.

"Kita juga temen Fio Rett, gue sama Karin juga sama kayak lo. Sebaiknya kita berdoa aja agar Fio baik-baik saja. Udah, lo berhenti menangis, kita cari jalan keluarnya, ya?" ujar Friska diikuti anggukan kecil dari Karin.

Retta langsung memeluk dua temannya itu, satu tangannya merangkul Karin, sedangkan tangan yang lain mengikat leher Friska. Mereka berpelukan sesaat. Tangis haru yang menghiasi mereka patut diacungi jempol. Tingkat kesetiakawanan yang tinggi membuat kita semua selalu nyaman berada didekat orang itu.

***

"Lo tahu Fio ada dimana Zaf?" Alka menggeser kursi agar lebih dekat dengan Zafi.

"Mana gue tau," jawab Zafi ketus. Kedua telinganya disumpal dengan earphone miliknya. Lantas ia memutar lagu.

Alka berdecak, "lo gimana si, pacarnya ilang malah nyantai kek gitu. Sono lo nyari, nggak pengertian banget."

Zafi tidak mendengarkan apa yang sedang Alka ucapkan karena kekencangan volume lagu yang sekarang ia putar. Zafi melotot kearah Ivan karena cowok dihadapannya itu menyerobot earphone dari telinganya.

"Lo nggak peduli kalau Fio ilang. Dan lo asik-asikan kayak gini? Idih, gila banget ya lo!" Ivan berkata sarkastik tepat dihadapan Zafi yang masih memancarkan aura tajam dari sudut matanya.

Zafi menggeser kursi ke belakang dengan bokongnya. Meja sampai ikut tersentak ke belakang. Cowok itu berlalu dan menyenggol bahu Ivan seraya membisikkan sesuatu di telingannya.

"Ini hak gue, dan lo nggak berhak ngatur-ngatur itu," ucap Zafi dan lekas berlalu meninggalkan kelas.

Ivan sempat tidak percaya akan penuturan yang Zafi katakan barusan. Sungguh diluar dugaannya. Hal yang sudah ditakutinya tiba-tiba datang menghampiri pikiran Ivan.

***

Waktunya seluruh murid SMA Harapan Pertiwi untuk pulang ke rumah masing-masing lantaran bunyi bel sudah berdengung memenuhi koridor sekolah.

Motor Sport berwarna merah itu melaju sangat pesat membelah kepadatan kota Jakarta. Kurang dari lima belas menit Ivan sudah sampai di depan rumah bercat serba cream.

Ivan melepaskan helm dan lekas turun dari motor. Melihat ayahnya yang sedang berjalan terburu-buru dari arah pintu menuju mobilnya membuat Ivan ingin tahu. Cowok itu berlari menghampiri kendaraan beroda empat itu sebelum melesat pergi.

"Pa!" Gerald menoleh dan menatap Ivan beberapa saat.

"Kebetulan kamu udah pulang, buruan ikut Papa. Udah nggak ada waktu lagi," ucap Gerald terburu-buru. Ivan tidak mengerti maksud Papanya itu.

Tanpa bertanya lagi, Ivan langsung memegang knop pintu mobil dan lantas membukanya. Mobil sudah melaju cepat setelah Ivan baru saja mendaratkan bokongnya di bangku mobil. Gerald menancapkan gas sangat cepat, tidak seperti biasanya. Ivan sempat bingung dalam situasi ini.

"Pa, kita mau kemana? Kok kayak buru-buru gitu nyetirnya?" Ivan memberanikan diri untuk bertanya.

"Kita mau menemui teman Papa, anaknya sudah hilang dua hari yang lalu tanpa ada jejak sedikitpun."

"Ivan suka kalau Papa ngajak Ivan untuk ikut. Aku akan bantu nyari Fio," pekik Ivan mulai serius membantu. Jujur, Ivan masih berharap bahwa Fio mau menerima cintanya. Jawaban Fio waktu itu sungguh diluar dugaan Ivan.

Dua orang laki-laki itu turun dari mobil setelah mobil telah terpakir dirumah Alizter. Gerald berlari menemui Alizter yang sudah berdiri di depan pintu dengan Morin. Ivan turut menyeimbangi kakinya dengan Gerald.

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang