BAGIAN 36

5.4K 246 1
                                    

SELAMA perjalanan pulang dari studio golf itu. Zafi hanya banyak diam--fokus kepada jalanan didepan. Ela memutuskan untuk melontarkan ucapan walau sekedar basa-basi ringan agar keadaan tidak terlalu hening diantara mereka.

Sungguh ngeri, perkataan Ela tadi membuat pikiran Zafi terus melayang dan terus larut memikirkannya. Ela seperti memberi sebuah teki-teki sulit yang harus Zafi pecahkan. Apabila salah dia bakal jatuh ke dalam jurang yang dalam. Namun, kalau dirinya berhasil, ia akan mendapat banyak kesenangan.

Zafi kembali memikirkan Fio, dia juga penasaran dengan cewek itu. Semenjak Zafi memberinya surat dan cokelat, Fio tidak banyak mengganggu dan mengoceh. Bukannya merasa senang mendapati seperti itu, tetapi hidup Zafi seakan terasa hambar dan sepi tanpa kehadirannya.

Zafi dilipiti rasa gundah yang cukup membuat dirinya stres. Apalagi kini Ivan sudah menyatakan cintanya kepada Fio. Ya, waktu itu Zafi sempat mengintipnya. Zafi juga tahu kalau besok Fio harus menjawab cinta Ivan sesuai isi hatinya.

Benar yang Ela katakan. Zafi tidak boleh menyesal nantinya, kesempatan tidak datang dua kali. Zafi sudah tidak sempat berpikir lagi, pikirannya sangat kalut. Sudah tidak ada waktu luang bagi Zafi untuk berpikir, ia hanya mempunyai waktu sampai besok. Bingung masih mengelilinya kepalanya. Bingung antara merelakan Fio bersama Ivan sahabatnya sendiri atau harus meminta Fio untuk menjadi kekasihnya.

Ah, tidak semudah itu. Zafi tidak ahli menyatakan cinta kepada seorang cewek. Apalagi sekarang Fio, cewek yang banyak ia lontarkan dengan mulut pedasnya.

Ela turun dari motor Zafi setelah sampai didepan rumahnya. Ia menatap sahabatnya itu dalam diam. Ela merasa tidak enak jika Zafi hanya diam seperti ini--sangat aneh dan janggal rasanya.

"Zaf, lo nggak pa-pa?" Ela membuyar lamuan Zafi.

"Eh...ng--nggak pa-pa kok, gue baik-baik aja," ucapnya tertatih. Ia tersenyum kecil kepada Ela.

"Lo kepikiran apa yang tadi gue ucapkan?" tanya Ela, sontak Zafi mengangguk tanpa ekspresi.

"Ini terserah lo Zaf. Ini tergantung lo sendiri. Gue sebagai sahabat lo cuma nyaranin aja. Lo pikirkan itu baik-baik. Ingat! Penyesalan pasti ada diakhir," ucap Ela seraya berjalan mundur meninggalkan Zafi.

***

Sesuai janjinya pada waktu itu, Fio disuruh Ivan menemuinya pada jam istirahar kedua di rooftop sekolah. Ia tidak mengelak, lantas mengangguk dan setuju.

Jika bisa, Fio ingin waktu sekarang diperlambat. Jika bisa, satu detik saja ingin Fio rasakan seperti satu menit lamanya. Hal itu bisa saja terjadi dengan mimpi kita. Semua mimpi bisa sangat bertentangan oleh akal sehat manusia. Mimpi tidak ada batasan sama sekali.

Fio terpaksa berbohong kepada ketiga sahabatnya. Fio tidak ingin mereka tahu, lantas ia berusaha mengelak dengan cara berpura-pura pergi ke WC. Namun, dengan jelas wajah mereka tidak sepenuhnya percaya kepada Fio. Seperti ada yang janggal. Ya, Fio sama sekali belum pernah pergi ke tempat itu sendiri. Dia selalu meminta ditemani jika ingin pergi ke WC. Tidak salah jika Karin, Friska, dan Retta menaruh rasa curiga.

Melihat gerak-gerik Ivan yang bertingkah aneh, turut membuat Zafi mengerutkan dahi. Sebenarnya dia tahu apa yang akan Ivan lakukan. Dengan langkah kaki yang lebar, Ivan terus berjalan di koridor dengan cepat. Zafi mengikutinya secara diam-diam sampai berhenti disuatu tempat.

Zafi menyembunyikan seluruh badannya di balik tembok. Disana sudah ada Fio yang berdiri terpaku menatap kedatangan Ivan. Kenapa jantung Zafi terasa berpacu sangat cepat ketika melihat kejadian yang kini ditatapnya? Mungkinkah dirinya tidak rela jika Fio menerima cinta dari Ivan?

Tanpa disadari, keadaan semakin kesini kian membuncah, selama hari-hari tanpa ditemani dengan ocehan Fio, Zafi turun melayang dalam suasana itu. Entah apa yang akan Fio katakan namun Zafi berharap jika Fio berkata sesuai dengan pikirannya.

Keringat kecil mulai terjun dari pelipisnya, tatapan tajam masih mengarah kepada dua makhluk bernyawa yang kini saling beradu tatap. Zafi ingin menghampiri mereka sekarang, ingin menyeret Fio dari situ. Tapi, apa daya, ia tidak punya berhak apa-apa walau hanya menyuruhnya untuk diduk sekalipun.

"Udah dipikirin jawabannya?" tanya Ivan tidak sabar.

Raganya sudah percaya seratus persen bahwa Fio akan menerima dirinya.

Fio menghela napasnya panjang dan mengangguk mantap, hanya ini cara satu-satunya untuk meyakinkan dirinya. Fio tidak ada pilihan lain.

"Nggak usah gugup, aku percaya sama jawaban kamu. Sekalipun kamu nolak, aku juga nggak keberatan." Ucapan Ivan berhasil membuat Fio menjadi lebih baik dari sebelumnya. Rasa gugup mulai terkikis dari dirinya.

"Aku...minta maaf sebelumnya kak. Aku belum siap menerima apa yang kak Ivan mau. Rasanya aku tidak pantes nerima ini," gumam Fio seraya menundukkan wajahnya. Fio terlalu takut menghadap ke Ivan.

Hening seketika. Fio merasa tidak enak kepada Ivan, bagaimanapun juga Ivan sudah sangat baik kepadanya. Hati Fio sama sekali tidak terhubung dengan Ivan, tidak ada rasa melebihi rasa sayang sebatas kakak kelas. Perasaan Fio tidak enak.

Ivan tersenyum. "Nggak pa-pa, kamu sepertinya bukan jodoh aku."

Geli rasanya ketika kata itu menyumpal ditelinga Fio. Ivan mengatakan bak dua pasangan yang hendak menikah. Fio menstabilkan napasnya, berusaha agar dirinya tidak terlalu gugup.

"Sekalipun kamu berubah pikiran pada suatu saat, kamu boleh manggil aku. Aku selalu ada dibelakang kamu," pekiknya lagi.

Cukup. Fio tidak ingin mendengar satu katapun lagi dari Ivan. Perkataannya selalu memohok hati Fio dan perasaan bersalah muncul lebih dalam daripada sebelumnya. Fio hanya bisa mengangguk pelan. Ivan sudah mulai menjauh dari hadapan Fio.

Kalau dipandang dari segi fisik, mungkin Ivan juaranya. Sudah terlihat dari bentuk tubuh cowok itu kalau ia rajin berolahraga. Wajahnya juga tampan. Ya, namun masih satu tingkat dibawah Zafi. Fio tidak merasa menyesal apa yang tadi dilakukan. Fio terus memandangi tubuh cowok yang mulai menjauh darinya. Ia tersenyum kecil.

Fio tahu, pasti Ivan merasa sangat sedih dan malu apa yang tadi diperbuat. Ah, sudah, Fio tidak boleh terlalu pusing memikirkannya.

Zafi sudah kembali ke dalam kelasnya sebelum Ivan melangkah mundur dari hadapan Fio. Ada setetes rasa senang yang muncul didalam hati akan jawaban Fio yang dilontarkan. Zafi tidak percaya akan yang dilakukan dirinya. Apakah dirinya benar-bebar mempunyai rasa kepada Fio? Zafi tidak bisa mendeskripsikan itu dengan jelas. Yang pasti, Zafi sangat senang ketika Fio menolak permintaan Ivan, walaupun itu sahabatnya sekalipun.

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang