BAGIAN 43

5.3K 254 6
                                    

BUNYI suara motor kendaraan terdengar, Fio dengan cepat menghabiskan roti tawarnya dan setelah itu meneguk segelas susu yang sudah disiapkan Morin. Fio tahu, itu pasti motor Zafi--tidak salah lagi. Fio kembali mengunyah rotinya dengan buru-buru.

"Kalau makan, nggak usah buru-buru, nanti keselek lho," peringat Morin pada Fio.

Fio tidak menggubris ucapan Mamanya, sekarang ia fokus untuk menggendong tasnya. Morin menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya.

"Baru jam segini, lagian masih ada waktu untuk sampai disekolah," ucap Alizter kemudian.

"Fio hari ini ada jadwal piket Pa," jawab Fio asal. Kini ia mulai menggeser kursi ke belakang dan mulai berjalan mendekati kedua orang tuanya hendak menyalami mereka.

Alizter ikut bangkit dari duduknya. "Tunggu Papa sebentar, jas Papa ada di kamar," ujar Alizter kepada Fio.

"Eh nggak usah Pa, Fio berangkat sama temen. Dia diluar udah nunggu Fio soalnya."

Serentak Alizter dan Morin saling pandang ketika mendengar tuturan dari Fio. Morin mengendikkan bahu, perempuan itu tahu dari sorot mata suaminya kalau dia sedang bertanya dengan tatapan mata.

"Dia siapa? Friska atau Retta?" tanya Morin.

"Bukan."

"Terus?" Alizter juga ingin tahu tentang ini.

"Temen Pa, kakak kelas," jelas Fio. "Yaudah Fio duluan ya." Dengan gerak cepat Fio mencium punggung tangan Alizter dan Morin lalu berlari keluar dari rumahnya.

***

Fio membuka gerbang rumah dan mendapati Zafi yang bertengger di motor ninja miliknya. Jaket berwarna biru navy membaluti badan atletisnya.

"Kenapa lama? Gue udah nunggu lo lima menit disini, buang-buang waktu aja. Waktu itu uang, lo harus manfaatin itu sebaik mungkin. Jangan buang waktu lo hanya untuk kegiatan yang nggak penting."

Fio memutar bola matanya malas. Ini terlalu pagi bagi Fio untuk mendapatkan omelan dari Zafi. Tadi malam dia sangat lucu, tetapi sekarang cowok itu terlihat sangat menjengkelkan. Fio berdecak sebal, ia tidak mau melawan omongannya lagi karena ini masih terlalu pagi. Fio tidak mau tenaganya terbuang sia-sia hanya untuk marah-marah nggak jalas. Kalaupun ia melakukan hal seperti itu, Zafi juga tidak akan berhenti membalas perkataan Fio. Ini harus dibalas dengan ucapan dingin, api tidak boleh dibalas dengan api.

"Iya, maaf," ucapnya terdengar malas.

"Itu doang?"

"Terus mau lo apa?" Fio berucap sedikit meninggikan suaranya.

"Minta maaf yang ikhlas. Tadi lo ngomong begitu karena terpaksa, jangan ngira gue nggak tau itu. Lo nggak ada pengertiannya sama pacar tau, nggak?"

Fio mendadak menatap lurus kearah Zafi ketika mendengar ucapan terakhir dari cowok itu.

Idih nggak ngaca, lo sendiri aja suka marah-marah nggak jelas sama gue mulu, dasar!!

Fio menghembuskan napasnya dalam, dan mulai berucap dengan lembut agar dengan segera cabut dari rumah untuk pergi ke sekolah.

"Iya maafin aku ya Zafi, aku nggak bakal ngulangin lagi kok." Fio kini berucapan sedikit lebih halus. Fio sendiri bergidik ngeri dengan ucapannya barusan--jijik. Terdengar sangat lebay yang dibuat-buat. Zafi tersenyum miring dan menyuruh Fio untuk lekas naik ke jok belakang.

Setelah lima belas menit motor ninja itu membelah jalan raya, kini mereka telah sampai di area SMA Harapan Pertiwi. Seluruh pasang mata mengarah kepada pasangan ini, Fio sedikit malu dan canggung walaupun para siswi sudah tidak lagi menghiraukan dirinya.

Fio dengan cepat turun dari motor Zafi setelah Zafi memarkirkan motornya di parkiran sekolah. Lantas Fio berjalan dengan langkah cepat menuju kelasnya.

"Mau kemana?" Fio menghentikkan gerak kakinya dan lantas membalikkan badan seratus delapan puluh derajat mengarah ke Zafi.

"Gue buru-buru," ucapnya sedikit keras.

"Sini bentar, gue mau ngomong. Nggak lama juga, lagian sekarang lo udah diarea sekolah. So, nggak bakal terlambat juga," seloroh Zafi.

Fio mendekat kearah cowok yang memanggilnya. "Ada apa lagi?"

Zafi mendekat kearah Fio, jarak yang semakin deket membuat Fio terperenjak dan sedikit memundurkan kakinya agar jarak antara dirinya dengan Zafi sedikit longgar. Ia merasa hawa panas telah menyerang, jantungnya lagi-lagi berdegup denhan kencang. Sial! Mengapa Fio selalu canggung seperti ini.

"Gue ada permintaan sama lo, lo mau nurutin gue?" Percuma Fio melangkah kakinya mundur, sedangkan Zafi terus maju melangkah kearahnya.

Fio sedikit mendongak menatap wajah Zafi karena cowok itu memang tinggi. "Tergantung apa mau lo itu, kalau permintaan lo nggak aneh, mungkin gue bisa. Tapi kalau permintaan lo nyeleneh, sorry gue nggak bisa!"

Zafi tersenyum sipit. "Aku mau mulai sekarang nggak ada kata lo-gue diantara kita, bisa?"

Ludah yang menyangkut ditenggorokan ditelan, Fio masih menatap nanar kewajah Zafi. Bagaimanapun juga, wajah Zafi sangat enak dipandang, hidung mancung serta wajah mulusnya sangat cocok tertancap disana. Ya, dia sangat kelewat tampan. Fio akui hal itu.

"Itu nggak nyeleneh, kan? bisa?" tanya Zafi dengan pertanyaan yang belum sempat Fio jawab.

Tuh kan, Zafi memang pribadi yang tidak bisa ditebak. Tadi dirumah Fio dia marah-marah kepadanya, tetapi kini Zafi berbicara sedikit lembut kepada Fio. Fio lebih suka Zafi yang seperti ini.

Fio mengangguk pelan, kemudian Zafi tersenyum lebar kearahnya. Mungkin baru kali ini Fio mendapatkan senyum lebar seperti itu dari Zafi. Ini juga kejadian langka dan terjadi pertama kalinya, Zafi yang suka marah dan suka ngomong seenak jidat, kini berubah menjadi Zafi yang murah senyum. Fio juga harus melingkarkan tanggal ini dikalender agar tidak lupa akan momen seperti sekarang ini.

Setelah itu yang dilakukan Zafi adalah mengacak puncak rambut Fio, rambut yang berantakan karena terbawa angin ketika naik motor tadi, kini bertambah acak-acakan karena ulah Zafi. Tapi, Fio suka diperlakukan seperti itu. Kalau saja dirinya sedang berada dikamar, mungkin Fio akan meloncat-loncat girang.

"Yaudah gue--eh...aku ma...mau ke kelas dulu."

Tentu saja, Fio belum terbiasanya mengucapkan kata aku--kamu diantara dirinya dengan Zafi. Ini terkesan aneh didengar--batin Fio. Tetapi, Fio akan mencoba itu agar mulai terbiasa. Zafi tersenyum kecil dan mengangguk membiarkan Fio pergi ke kelasnya. Selama perjalanan di koridor kelas XI, Fio selalu senyum-senyum sendiri. Hari paling beruntung mungkin hari ini yang Fio dapatkan.

Entah sampai kapan hubungan ini terus berlanjut, Fio hanya bisa berdoa agar Tuhan memberikan yang terbaik untuknya. Kalaupun Zafi pergi meninggalkan dirinya, Fio juga meminta kepada Tuhan agar tidak diberikan rasa sakit yang membekas diraganya.

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang