"BURUAN! Gudang bekas pabrik gula," titah Alizter langsung berlari menuju mobilnya diikuti Gerald dari belakang. Ivan lantas ikut masuk ke dalam mobil tepat setelah kembali. Melihat tingkah panik dan serius dari sorot Alizter membuat Ivan diruntuki rasa penasaran.
Tancapan gas semakin kencang, dengan kecepatan kelewat tinggi, mobil itu menyerobot pengguna jalan lain. Gerald dan Ivan merasa takut sendiri, takut apabila kecelakan terjadi secara tiba-tiba. Itu waktu yang sangat tidak tepat apabila benar-benar terjadi.
"Hati-hati Al, emang ada apaan?" tanya Gerald. Ini kesempatan Ivan untuk mengetahuinya.
"Aksa nggak bohong. Dia bukan pelakunya." Alizter berucap tanpa menatap Gerald sedikitpun. Sorot matanya yang tajam masih memandangi jalanan.
"Terus Aksa gimana?" tanya Gerald lagi. Bagaimanapun, dia juga merasa bersalah kepada Aksa.
"Tenang aja, urusan dia belakangan. Kita harus fokus ke Fio saja untuk kali ini."
Gerald lantas menyetujui dengan anggukan kepala. Setelah sampai ditempat yang dituju, Alizter langsung memasuki bangunan yang terlihat sangat kumuh. Tembok yang retak dan berlumut, lantai kotor, serta banyak sekali sarang laba-laba membuat tempat ini terlihat begitu mencengkam dan menakutkan.
"KELUAR LO, BRENGSEK!" suara berat Alizter menggema memenuhi setiap sudut ruangan ini.
"SINI LO! GUE UDAH DATANG, BERANINYA CUMA DI BELAKANG. DASAR PENGECUT!!" lanjut Alizter, lalu dia menendang kursi kayu yang sudah usang dan reot ke depan yang menimbulkan suara nyaring.
Tempat ini sedikit gelap, cahaya matahari sampai tidak bisa menerobos masuk kedalam. Langkah kaki terdenger mendekat, pencahayaan yang minim membuat Alizter menyipitkan matanya, Gerald dan Ivan juga sama melakukan hal seperti itu.
"Gue disini!" seseorang menyahut dari arah depan.
Yang kini dilihat Alizter adalah seseorang yang sedang berdiri. Fio berada dirangkulannya, mulutnya dibekap. Fio terlihat sedang meronta untuk melepaskan diri. Cewek itu melihat ayahnya bersama Gerald dan Ivan--cowok yang pernah menyatakan perasaannya dulu. Mata Fio berkaca-kaca, dari sorot matanya, Fio memang sudah terlihat meminta bantuan.
"Datang juga lo kesini!" suara itu kembali masuk ke gendang telinga Alizter. Pernyataan itu terdengar dengan nada meremehkan sehingga Alizter naik pitam.
Gerald memilih untuk diam tidak mencampuri urusan Alizter, bukan berarti dia tidak mau membantu. Tugasnya disini hanyalah untuk menemani Alizter berjaga-berjaga.
Alizter masih belum tahu siapa orang yang berani menculik anaknya, karena laki-laki dihadapannya itu memakai topi yang hampir nyaris menutup seluruh bagian wajahnya, namun dari suara yang diucapkan sangat terdengar familier ditelinga Alizter.
"Gue udah dateng, sekarang lo tunjukin identitas lo dan bawa anak gue kesini."
Dia sedikit tertawa sinis, "bukannya udah jelas kalau gue udah kasih petunjuk siapa gue sebenarnya?"
"Gue emang kenal dengan suara lo itu, tapi gue emang lupa siapa lo." Alizter kembali menyahut. Nada suaranya naik satu oktaf.
"Sekarang udah lihat gue ini siapa?" Laki-laki itu membuka topinya yang berwarna hitam dari puncak kepala, bukan topinya saja yang berwarna hitam, namun seluruh aksesoris yang ia kenakan juga memiliki warna senada.
Seketika Alizter membulatkan matanya dan menatap laki-laki itu beberapa detik. Namun, setelahnya ia tersenyum meremehkan. Seakan orang itu bukanlah tandingan yang tepat untuk dirinya.
"Revan?" Ivan menautkan alisnya. Ivan terbilang masih baru mengenal Revan. Saat ulang tahun Retta dan Rani, Ivan pernah berkenalan dengan Revan di acara itu.
Sudut bibir Alizter sedikit naik keatas, "Kenapa gue selama ini mau dikibulin sama bocah ingusan. Saya kira, kamu kayaknya dulu punya etika yang santun, tapi kenapa mendadak berubah jadi gini?"
Dulu, Alizter sudah tahu jika Revan adalah cowok yang Fio selalu ceritakan kepadanya. Fio selalu mengagumi dan memuji Revan didepan Alizter. Hingga pada suatu ketika, Laki-laki itu menyuruh Fio untuk memperkenalkan Revan kepadanya. Sikap Revan yang baik dan berbicara selalu sopan membuat Alizter juga tersihir akan tingkah lakunya. Namun, sekarang apa yang dilihatnya sangat berbanding terbalik.
"Gue lakuin hal ini karena ulah anak lo sendiri!" Nada suara Revan berkali-kali lipat lebih tinggi dari sebelumnya.
"Sekarang jelaskan kepada saya, apa mau kamu sekarang?" Alizter berusaha bersikap lebih luluh karena mengetahui lawannya hanya remaja yang masih memiliki tingkat emosi yang cenderung lebih sensitif.
"Gue nggak mau apa-apa dari lo. Gue terlanjur sakit hati," ucapnya sarkastik.
Alizter sekarang tahu inti permasalahannya itu apa. Memang, seseorang bisa melakukan apa saja ketika dibutakan oleh yang namanya cinta.
"Kalau kamu nggak mau apa-apa, terus kenapa Fio ada didekapan kamu?" Tatapan Alizter kembali kerah anaknya, Fio.
Revan tersenyum sipit, satu tangannya bergerak merogoh saku celana dan mengambil sebuah benda tajam. "Emang gue nggak mau apa-apa, gue nggak mau uang ataupun berharap nih cewek nerima cinta gue kembali, gue hanya butuh NYAWA-nya!" Ucapnya lantang. Sebuah pisau langsung melayang tepat didepan leher Fio--nyaris bersentuhan.
Jantung Fio semakin tergoncang hebat, dia ketakutan. Napasnya terengah-engah, takut Revan memang benar mau melukainya. Isakan pilu masih keluar dari bibirnya yang mungil.
"BERHENTI!!" Suara lain tedengar dari arah pintu. Seluruh pasang mata langsung memandang kearah laki-laki yang baru saja datang.
"Itu pak orangnya!" Ucapnya lagi sambil menunjuk Revan. Pisau yang berada digenggaman tangan Revan seketika terjatuh ke lantai. Cowok itu kini yang merasa ketakutan.
Fio langsung tergeletak dilantai, lututnya seakan lemas tak bertenaga. Alizter, Gerald, dan Ivan langsung menghampiri Fio. Pelukan hangat dapat Fio rasakan ketika Alizter menempelkan badannya dengan Fio. Fio semakin erat memeluk Papanya.
"Saya nggak bersalah pak!" Revan masih saja mengelak, jelas-jelas ia sudah bersalah dan tertangkap basah. Dua polisi itu membawanya pergi dari bangunan tua ini dan membujuk Revan dengan paksa agar segera masuk kedalam mobil. Sebelum pergi, salah satu polisi berterima kasih kepada Aksa karena telah menghubungi atas kasus penculikan ini.
"Kamu nggak pa-pa?" Alizter mengangkat wajah Fio agar menatap kearahnya. Cewek itu hanya bisa mengangguk. Bulir cairan bening masih saja menggenangi pipinya yang mulus.
Alizter melepaskan pelukan dari anaknya, dia langsung berdiri dan memandangi Aksa dengan tatapan nanar. Aksa tersenyum tipis kepada Alizter. Alizter langsung memeluk Aksa cepat, tidak lupa ia juga meminta maaf akan kesalahan yang dibuatnya tadi. Ya, seharusnya Alizter berpikir lebih panjang terlebih dahulu supaya tidak gegabah seperti yang dilakukannya tadi.
Sudahlah ini bukan bualan, ucapan Aksa satu tahun yang lalu memang benar-benar tulus. Ia sudah berubah, berubah menjadi laki-laki yang lebih baik. Alizter sangat berterima kasih kepada Aksa. Gerald juga melakukan hal yang sama seperti sahabatnya itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"