KEDUA pipi Karin membubuhkan semburat warna merah. Tampang wajahnya cemberut, cewek itu sudah terlihat sedang misuh-misuh sendiri. Amarahnya runtuh dari benteng pertahan yang telah ia buat.
Cewek itu mendekat kearah ketiga sahabatnya yang sedang saling bercanda ria. Kedua tangannya ia lipat.
"Lo kenapa? Sini gabung. Asik banget dengar cerita Retta," pekik Friska.
"Bueeh.. sedang nggak baik nih kayaknya," celetuk Retta pula.
Fio berdecak, "lo jangan ngomong tentang boncabe lagi, gue muak dan mau muntah ketika lo lebay seperti itu."
Karin menyoyor kepala mereka satu persatu. Hingga rambut yang semula tertata rapi kini sangat amburadul dan terlihat semrawut.
"Lo minggir sana, gue mau duduk," perintah Karin kepada Fio.
Fio menatap Karin sinis, "kenapa harus gue? Lo ambil kursi lagi kan bisa, suka gaje nih bocah," ejek Fio. Tangannya memainkan pulpen yang dipegang.
"Lo nggak mau?!" ucap Karin yang terdengar bukan seperti pertanyaan melainkan menjurus ke gertakan.
"Ya enggak lah, masa lo nyuruh gue pindah seenak jidat. Lagian ini kan bangku gue." Fio bersikukuh pada pendiriannya. Retta dan Friska membela Fio karena yang Fio katakan memang benar dan masuk akal. Karin tidak punya hak untuk mengusir dari area kekuasaannya.
Karin memutar bola matanya malas, jari tangannya memainkan rambutnya sendiri. "Yaudah kalau lo nggak mau, gue tinggal bilang sama kak Zafi kalau lo nggak mau ketemu sama dia."
"Gaje lo," timpal Retta.
"Itu kak Zafi nungguin lo di depan kelas, bego! dia mau ketemu sama lo, gih buruan samperin. Males gue ngomong sama dia. Yang ada gue kena semprot lagi." Karin menggerutu.
Fio sedikit mendongak memandangi pintu kelasnya yang terbuka lebar. "Mana? Nggak ada. Ngaco lo! Gue tahu kalau ini pasti taktik lo supaya gue bisa minggat dari tempat duduk ini," gerutu Fio.
"Yaudah gue mau ngomong sama kak Zafi kalau lo memang nggak mau ketemu. Gitu aja kok repot!" dengus Karin.
"Gih Fi! Buruan lo samperin dia. Nanti ngamuk lagi, kita nggak mau kena omongannya lagi. Pedes banget!! Gue udah trauma sumpah," ucap Friska dan mengacungkan jari tengah dan telunjuk membentuk huruf 'V'.
"Lo percaya sama nih anak?" Fio menunjuk Karin.
Retta mengangguk. "Coba aja lo keluar dulu. Kalau kak Zafi nggak ada diluar, gue bakal jambak rambut nih bocah," timpalnya.
"Okee!"
"Idih, gue dianggep temen bukan sih sama kalian semua. Jahat! Nggak pada percaya sama gue amat," desis Karin.
"Emang lo dimarahin apa tadi?" tanya Retta kepada Karin setelahnya. Dia juga ingin tahu.
"Panjang deh. Nanti gue ceritain, untung gue bisa nglawan omongan pedasnya." Karin menyombongkan diri.
"Emang sepedas apa omongan yang keluar dari mulutnya?"
Karin menatap manik mata Retta dan Friska secara bergantian. "Lebih pedes daripada boncabe level tiga puluh," pekiknya keras.
***
Berkas-berkas yang berantakan disusun kembali sesuai ukuran dan warna. Alizter meletakkan semua benda itu didalam lemari ruang kerja kantornya. Tepat setelah itu, suara ketukan pintu terdengar, Alizter menoleh memandangi pintu itu.
"Masuk!" perintahnya dengan suara keras.
Seorang perempuan muncul dari balik pintu yang dicat berwarna cokelat agak kemerahan. Alizter tersenyum kepada Klien kerjanya. Lantas laki-laki itu menyuruhnya duduk.
"Ada perlu apa, Lin?" tanya Alizter to the point akan kedatangan Linda.
Linda tersenyum tipis. "Ada berkas yang harus ditandatangani pak," ucapnya sopan seraya menyerahkan berkas tersebut kepada Alizter.
Alizter mengambil pulpen yang berada diatas mejanya, lantas ia membuka tutup pulpen tersebut untuk menandatangani surat ini. Laki laki itu sempat membacanya sekilas.
Suara notifikasi dari ponselnya berbunyi, Alizter mengalihkan pandangan menatap layar ponselnya. Ia membuka pesan dan langsung membaca pesan itu.
+628*******15
KENAPA PESAN DARI GUE TADI MALAM LO NGGAK BALES? TAKUT? GUE LIHAT KELUARGA YANG LO BANGUN SANGAT HARMONIS SEKALI. GUE JADI INGIN MERUSAK SEKALIGUS MENGHANCURKANNYA, JAGA ANAK LO! KARENA SEBENTAR LAGI NYAWA DIA TERANCAM.Pesan itu ditulis dari nomor yang sama seperti tadi malam. Alizter semakin ingin tahu siapa dia sebebarnya. Otaknya berpikir kritis, yang dia pikirkan hanya keadaan Fio. Laki-laki itu juga belum memberi tahu anaknya tentang pesan misterius ini. Sepertinya Alizter tidak mempunyai musuh didalam hidupnya, namun siapa gerangan orang yang tega melakukan hal sekejam ini.
"Ini sudah," ucap Alizter seraya menyerahkan berkas itu kepada Linda.
Linda tersenyum dan mengangguk. Dia mulai beranjak meningkan ruang kerja Alizter.
Alizter mengetik pesan.
Alizter:
Kamu siapa? Jangan ganggu dia
Alizter menunggu sampai pesan itu terbaca oleh penerima. Selang tiga menit kemudian, satu pesan lagi muncul.
+628*******15
LO NGGAK TAHU GUE? LO PERLU INGET LAGI, GUE DULU SERING KETEMU SAMA LO. GUE PIKIR LO NGGAK LUPA SIAPA GUE!Alizter membaca pesan itu lagi, pikirannya kalut. Pesan itu mengatakan bahwa Alizter sering ketemu sama dia. Namun siapa? Identitas yang diberikan sangat tidak membantu Alizter sama sekali. Apa mungkin Dio? Sahabatnya itu lagi. Ah, Alizter tidak boleh su'udzon. Lagipula Dio sekarang sedang berada di Kalimantan. Dia disana sangat sukses dengan pekerjaan yang sekarang dipegangnya.
***
Fio terkejut lantaran Zafi tiba-tiba berdiri dihadapannya. Fio menghela napas lega, jantungnya tadi hampir copot karena ulah cowok itu. Fio mengelus dada.
"Ada apa emangnya nyari gue kesini?" tanya Fio langsung pada tujuan utama cowok itu.
"Emang ada larangan kalau gue nggak boleh kesini? Lagipula ini juga bukan kelas lo aja kali," celetuk Zafi.
"Nggak usah mulai nyebelin! Lo mau apa kesini? Buruan, gue mau masuk lagi," pekik Fio lagi.
"Emang didalam, lo sedang ngapain si? Nggak usah buru-buru lagian gue juga udah nyuruh guru lo itu supaya nggak masuk ke kelas ini," ujar Zafi.
"Ha? Serius lo kak?"
Zafi berdiri tegap, dia mendekat kearah Fio. "Kak? Coba lo ulangi sekali lagi? Gue pingin denger lagi. Gue nggak salah denger kan, yang barusan lo omongin?" gumam Zafi. Telinganya sengaja didekatkan kearah mulut Fio.
"Nggak! Lo salah denger," ulas Fio cepat.
Zafi terkekeh kecil, "nih buat lo." Dia menyodorkan amplop dan sebatang cokelat.
Fio mengerjap lantas kebingungan. Sungguh ini bukan Zafi yang dikenalnya? Zafi yang terkenal banyak omong dan bermulut pedas tiba-tiba datang dan memberi Fio sesuatu yang dia suka. What? Ini bukan mimpi, kan? Fio mencubit pipinya sendiri dan tentu saja rasa sakit tercipta.
Sungguh aneh rasanya, ia takut Zafi hanya mempermainkannya. Jangan-jangan cowok itu memberikan racun yang telah ditambahkan didalam cokelat. Tidak, Fio tidak boleh begitu. Ia harus optimis untuk saat ini. Fio menerima amplop dan cokelat pemberian Zafi dan lantas tersenyum.
"Makasih," ucapnya canggung. Sorot matanya tidak menatap Zafi sama sekali. Walaupun begitu, Zafi sudah sangat senang ketika Fio tidak menolak pemberiannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"