WAKTU istirahat rasanya lebih lama dari biasanya. Fio semakin bosan berada ditempat ini. Saking heningnya tidak ada suara, deru napas Fio sendiri sampai terdengar dan menusuk gendang telinga. Suara jarum jam yang terus berputar juga turut menandakan jika kelas ini memang dalam keadaan senyap.
"Hai!"
Mendengar sapaan dari seseorang membuat Fio sedikit terkejut. Ia menghembuskan napasnya lebar. Lantas ia memandangi orang itu yang sudah duduk didepan bangkunya. Arah pandangan dua makhluk itu saling bertaut.
"Kak Ela? Ngapain kesini?" ujar Fio tidak percaya akan kedatangan Ela.
"Kenapa emangnya? Kamu nggak suka kalau aku kesini?" canda Ela.
"Eh... nggak gitu maksud aku. Kak Ela kesini mau apa? Bukannya pasti ada tujuannya, bukan?"
Ela lantas mengangguk dan tersenyum kearah Fio. "Kenapa nggak ke kantin? Tadi teman kamu asik banget kayaknya ngobrol disana."
"Aku tadi tanya kepada mereka tentang keberadaan kamu. Dan mereka menjawab kalau kamu sedang berada si kelas. So, aku langsung cabut kesini," ujar Ela lagi. Fio mengangguk paham.
"Jadi?" Alis Fio hambir menyatu.
"Kenapa kamu nggak pergi ke kantin?"
"Aku males. Lagian aku juga masih kenyang," balas Fio cepat.
"Aku tahu kalu alesan kamu nggak masuk akal. Benar kamu milih dikelas sendirian sambil celingak celinguk nggak ada teman. Dan kamu betah berlama-lama disini? Cukup aneh bukan kalau dipikirin?"
Fio dibuat tidak bisa berucap dengan Ela, kalak kelasnya itu telah mematahkan argumen yang sudah Fio buat. Alasan itu tidak mempan melawan Ela.
"Udah ah, jangan bahas itu lagi. Langsung keintinya aja. Apa yang membuat kak Ela datang ke kelas aku?"
"Aku nggak nemui kelas kamu. Aku cuma mau nemuin kamu," pekik Ela sedikit terkekeh. Fio melotot kearahnya.
"Iya-iya aku nggak becanda lagi. Cie cie...yang sekarang udah pacaran," celetuk Ela.
"Ih apaan si kak. Nggak lucu ah." Fio menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Ela hanya bisa tertawa kecil. "Bagus kalau gitu, aku sangat setuju seratus persen akan hubungan Zafi sama kamu. Aku tinggal nunggu traktiran nih" gumamnya lagi.
"Selamat, kamu udah naklukin hati temen gue yang super duper nyebelin." Ela menjawil pipi Fio. Cewek itu sedikit meringis kesakitan. Kini pipinya terlihat bersemu bewarna merah.
"Sakit tahu," desis Fio seraya memegang pipinya.
"Btw...lo nggak pa-pa?" tanya Ela. Kini keseriusan suah tertaut diwajahnya.
"Iya nggak pa-pa kok. Cuma sedikit sakit aja. Tapi bener, aku nggak pa-pa," ucap Fio. Kilasan senyum kecil ia tunjukkan.
"Bukan. Bukan itu yang gue maksud."
"Terus?"
"Lo nggak pa-pa kena hujatan dari para siswi di sekolah kita. Gila! Semua pada nyerbu status Zafi." Ela menjelaskan.
Fio menghela napasnya. "Nggak pa-pa. Biarin apa kata mereka. Aku merasa nggak buat salah kepada mereka. Kalaupun mereka tidak suka sama aku juga itu hak mereka. Aku tidak berhak nentuin itu."
Ketika ucapan bijak keluar dari bibir Fio yang tipis membuat Ela tertegun dan mengangguk. Lidah Fio mendadak kelu setelah mengingat ucapannya tadi--sangat bertolakbelakang dengan isi hatinya. Fio juga manusia, dia juga masih mempunyai rasa takut dan gelisah akan cemoohan orang lain. walaupun memang posisi dirinya sekarang tidak bersalah.
"Sepanjang perjalan ke sini yang aku tangkep hanya pembicaraan tentang kamu sama Zafi mulu," ujar Ela.
Fio mengangguk dagunya kecil. Fio tahu, sekarang pasti dirinya sudah menjadi obrolan panas yang patut dibicaran. Ini semua karena menyangkut Zafi Rafjaka--cowok terfamous di sekolah ini.
"Aku nggak yakin kalau kamu merasa oke-oke aja. Please...jujur sama aku Fi," gumam Ela seperti memohon kepada Fio.
Telapan tangannya yang halus bergerak menyentuh punggung tangan Ela. Fio menggenggam tangan cewek yang berada dihadapannya. Ia berusaha meyakinkan Ela bahwa dirinya tidak patut mendapatkan kekhawatiran darinya.
"Nggak pa-pa, aku kuat kok. Aku juga yakin besok udah kembali seperti semula." Itu hanya sebuah ucapan kebohongan yang Fio lontarkan. Semakin ia mengucapkan kata seperti itu, semakin kalut dan takut juga yang Fio rasakan.
Ela lantas mengangguk mantap. "Kalau gitu, ayo ke kantin!" ajak Ela yang sudah menarik tangan Fio agar lekas untuk bangkit.
Jantung Fio langsung meronta hebat. Tangannya sudah bergetar. Pikirannya sudah tertuju kepada yang seharusnya Fio tidak pikirkan. Satu hal yang kini Fio takuti. Ya, mendapat tatapan tajam dan bisikan dari para kaum siswi di sekolah ini.
Pasti hal itu membuat dirinya risih dan malu. Kalau semua memandangi dirinya dengan senyuman dan pujian, mungkin Fio bisa mengontrolnya. Tetapi, apabila hal seperti ini, Fio sudah ingin menyerah sebelum perang dimulai.
Fio mencoba mencari alasan lain yang cukup masuk akal untuk menghindari ajakan Ela tersebut. Fio menjadi repot sendiri. Lantas cewek itu berdecak dalam hati. Jika saja Zafi tidak mengumbar akan hubungan mereka, mungkin keadaan tidak serumit ini. Sudah, Fio tidak boleh terus menggerutu tidak jelas yang sama sekali tidak membuahkan hasil. Malah yang akan didapatkan yaitu lelah yang menjalar ditubuhnya.
Ela tersenyum. "Tenang, gue nggak maksa minta traktiran sama lo kok. Gue cuma mau ditemenin makan sama lo! Bisa kan?"
Bingung antara menolak ajakan tersebut atau tetap berada dikelas ini. Rasa tidak enak hati terus menghantui Fio. Jika dia menolak ajakan Ela, Fio merasa sangat jahat terhadapanya. Disisi lain, Fio juga takut akan mendapatkan sorotan tajam semua siswi.
Dengan berat hati, Fio mengangguk. Ia pasrah. Fio harus kuat untuk sekarang, yang kini harus dilakukan cuma satu, yaitu tidak menghiraukan tatapan mereka. Fio harus fokus untuk bersikap cuek dan bodoamat. Nyatanya, sangat susah sifat itu dipendam diraga Fio. Cewek itu tidak bisa melakukannya.
***
"Gue sekarang tahu alasannya kenapa lo nolak cinta gue Fi, ini karena Zafi, kan?"
"Gue kurang apa lagi, Fi? Gue tahu kalau hati lo sudah bertaut dengan Zafi. Namun, gue ragu kalau Zafi nanti cuma bisa melukai hati lo. Dan gue sangat takut itu terjadi kepada lo."
"Oke, sekarang gue nggak berhak untuk ngatur dan maksa lo. Ini pilihan lo sendiri. Gue harap lo nggak salah dan nggak menyesal karena udah nolak cinta gue. Gue tahu kalau gue emang bodoh Fi, gue udah tahu kalau lo suka sama Zafi dan dengan seenak jidat tiba-tiba gue datang kepada Lo dan meminta untuk menjadi pacaranya. Cukup bodoh kan, gue?
"Disatu sisi gue juga tidak bisa menyalahkan Zafi. Gue tidak bisa marah kepada dia. Zafi udah gue anggep seperti saudara gue sendiri. Gue nggak tahu kenapa Zafi tiba-tiba nembak lo. Dan anehnya lagi, kenapa itu terjadi dihari yang sama? Oke cukup, gue tidak boleh memusingkan hal itu lagi. Kalaupun lo nanti tersakiti dengan perilaku yang Zafi buat ke elo. Lo bisa lari kebelakang Fi, disana ada gue yang selalu menunggu kedatangan lo."
Ivan semakin tersulut dalam situasi ini. Cowok itu hanya bisa pasrah dan menerima keadaan sesuai faktanya. Mungkin takdir belum memberi sebuah warna pada detik ini. Tetapi, Ivan yakin bahwa lain waktu takdir juga akan berpihak lebih baik kepadanya. Mungkin lebih besar dari yang dikira.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"