BAGIAN 18

6.8K 303 0
                                    

SATU notifikasi pesan muncul dilayar ponsel Fio, cewek itu sedang menikmati wi-fi sekolah, kesempatan seperti ini tidak ia buang secara cuma-cuma.

Kedua matanya dikucek beberapa kali sambil melotot hebat ke arah sederet tulisan dari bidang kolom pesan di Instagram. Rasa senang sekaligus heran langsung menghantam cewek itu . Fio langsung pergi ke tempat dimana Zafi sedang menunggunya.

"Gue ke belakang dulu," ucapnya cepat kepada Retta, Friska, dan Karin.

Langkah kakinya berhenti ketika Retta memanggilnya, Fio langsung membalikan badan menghadap ke Retta, "lo mau ditemenin nggak?" tanyanya.

"Nggak," teriak Fio sambil tersenyum. Hal seperti ini hanya menumbuhkan rasa curiga dan penasaran akan gerak geriknya. Retta kembali berbincang kepada mereka berdua--Karin dan Friska.

***

Kedua tangannya tenggelam dalam saku celana, Zafimasih berdiri ditempat semula dan tatapan wajahnya memandangi gedung pencakar langit. Kendaraan di jalan itu terlihat seperti sebuah mainan yang tersusun rapi.

Baru kali ini Fio merasakan getaran didalam tubuhnya, sebelumnya rasa ini belum sempat menghantamnya, namun entah kenapa ketika Zafi memintanya untuk bertemu, seakan hal itu merupakan peristiwa yang belum kepikir oleh Fio dari sana.

Fio melangkah maju mendekati cowok itu, ia harus tahu kenapa Zafi menyuruh untuk menemui dirinya. Sementara itu, Fio semakin dililit rasa tidak nyaman. Tidak pernah kelewat satu haripun Fio pasti akan merecoki Zafi, namun sekarang berbeda, dimenit dan detik ini seakan waktu membalik keadaan.

Zafi membalikkan badannya karena mendengar gerak langkah kaki yang mendekat, Fio berhenti bagai telah dipaku ditempat. Zafi mendekat ke arah Fio dan menatapnya dengan sorot mata seperti singa yang melihat mangsanya. Cewek itu menelan ludah, tampang wajah yang menurutnya lucu karena sering mengeluarkan kata-kata pedas, kini berubah total dari sebelumnya.

Fio mencoba berbicara, "lo ngajak ketemuan gue kesini mau nembak gue ya?" tanyanya iseng. Dia ingin menghilangkan kecangungan yang sedang berlangsung.

"Kapanpun dan dimanapun gue bakal nerima lo kok," lanjutnya dengan percaya diri.

Ekspresi yang ditunjukkan Zafi tidak berubah, hal itu hanya membuat perasaan Fio sendiri merasa jauh lebih buruk dari sebelumnya. Biasanya Zafi akan langsung marah ketika Fio mengucapkan kata itu.

"Gue mau tanya sama lo."

Fio menggigit bibir mungilnya, kedua tangannya meremas-remas rok. Sesekali dia mengalihkan pandangannya ke samping. Hanya karena tatapan Zafi yang menurut Fio mengerikan, cewek itu tidak berani menatapnya.

"Iya, mau tanya apa emangnya?" Fio berusaha bersikap senormal mungkin.

"Nggak jadi, lain kali aja, kayaknya lo ketakutan gitu," gumam Zafi.

"Siapa yang takut, gue udah biasa kali kena marah sama lo," raung Fio, keberaniannya sudah terisi penuh ketika Zafi melontarkan kata seperti itu.

"Nggak, lo kayaknya takut sama gue,"  ucap Zafi kemudian.

"Terus, gue rugi tenaga dong. Udah capek-capek jalan kesini taunya lo nggak jadi ngomong. Gimana si!" gerutu Fio.

"Yaudah, sekarang mau lo apa? Biar gue turutin supaya lo tenang."

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang