HARI ini adalah jadwal Zafi untuk melakukan rutinitas hobinya. Dalam satu minggu, Zafi memainkan golf sebanyak tiga kali yaitu pada hari selasa, jum'at, dan minggu.
Roda-roda motor milik Zafi bergulir dengan cepat melewati beberapa siswa yang tengah sama seperti dirinya--mengendarai motor. Tidak sengaja, Zafi melihat Ela yang duduk termenung di halte depan sekolah. Ela celingak-celinguk menatap kearah ponsel dan jalanan secara terus menerus.
Zafi memutuskan untuk menghampiri sahabatnya itu, bagaimanapun juga, Zafi harus memastikan bahwa Ela dalam keadaan baik-baik saja. Tapi sekarang tidak, Ela terlihat kebingungan.
"La, lo kenapa?" tanya Zafi sambil membuka kaca helm yang dikenakannya. Dia sedikit berteriak agar Ela dapat mendengarkan dengan jelas.
Ela yang tidak menyadari kehadiran Zafi sebelumnya, kini ia kaget. Dadanya dielus dengan telapak tangan. Zafi muncul tiba-tiba.
"Gue lagi nunggu..." pekiknya.
"Tante Novi?" sela Zafi.
"Nggak! Mama udah nelpon tadi, katanya nggak bisa jemput."
Zafi masih mengenakan helm dan tidak ada niatan untuk membukanya. "Terus?"
Ela menghela napas panjang. "Gue nunggu angkot datang," gumamnya. Manik matanya kembali menengadah kearah jalanan didepan. Zafi mengikuti arah pandangan Ela.
"Kayaknya bakal lama sampai. Lo sama gue aja yuk!" ajak Zafi.
Ela duduk dibangku yang tersedia di halte itu. "Nggak ah, ini kan jadwal lo main golf," ujar Ela.
Memang pantas jika dibilang sahabat sejati. Ela sangat tahu betul kepribadian Zafi. Mungkin begitupun sebaliknya. Zafi terkekeh kecil kearah Ela.
"Justru itu, lo ikut gue bagaimana?"
"Males ah, masa gue nunggu lo main sampai habis. Bisa karatan nih mulut nanti karena nggak ada yang diajak ngomong."
Zafi tersenyum kecil. "Yaudah kalau nggak mau, saran gue si lo ikut gue aja. Daripada nunggu angkot yang tidak pasti. Jangan terlalu berharap jika nanti ada angkot yang lewat. Jika tidak, hati lo yang sakit! awas, nanti lo nyesel." Zafi kembali menutup kaca helmnya.
Benar juga apa yang Zafi katakan. Menunggu tanpa kepastian itu rasanya tidak enak. Apalagi jika sesuatu yang ditunggu itu belum memberika aba-aba yang pasti jika akan datang tepat pada waktunya. Ah, Ela bingung. Namun, disisi lain Ela sendiri enggan ikut dengan Zafi.
"Gue ikut lo!" Pekiknya keras seraya bangkit dari tempat duduk dan berjalan menyusul Zafi yang sudah akan mengegas motornya. Cowok itu kembali tersenyum.
"Buruan naik."
Ikut zafi ke studio golf bukan pertama kalinya Ela melakukan hal itu. Dulu Ela juga sering ikut jika ada waktu luang. Namun semakin kesini, Ela sudah jarang mengekori Zafi ke tempat itu.
Bagi dirinya, menonton orang melakukan aktivitas yang tidak disukai hanya membuang waktu dan membuat mata kita lelah. Betulkah begitu? Menurut Ela sendiri memang itu kenyataannya. Bagaimana orang akan menikmati sebuah tontonan kalau yang ditonton bukan sesuatu yang disukai.
Pasti disana Ela hanya diam. Untung baterai ponselnya masih cukup penuh. Jadi benda mati itu bisa nanti Ela mainkan.
***
Begini rasanya jika sepulang sekolah langsung bertemu dengan benda yang empuk. Sangat menyenangkan. Fio masih mengenakan sepatunya, namun badannya sudah menubruk kasur begitu saja.
Alur jalan kehidupan pada hari ini Fio kumpulkan lagi didalam otaknya. Fio kembali membayangkan sosok Ela, dia tersenyum kecil. Selalu saja begini, setiap dirinya membayangkan tentang sosok cantik kakak kelasnya itu, pasti wujud Zafi tiba-tiba muncul didalam sela-sela itu. Ini semua karena perkataan yang Ela lontarkan.
Fio kembali teringat tentang pernyataan Ivan pada waktu Fio mencarinya untuk menanyakan kenapa dia memberinya sebatang cokelat. Ya, itu semua pasti ada maksud yang tersembunyi.
Ivan menyatakan cinta kepada Fio pada saat itu. Fio tidak bisa berkutik, mulutnya menganga. Fio hanya menanggap Ivan sebagai temannya saja, tidak lebih dari itu. Tetapi, perasaan lain muncul dari dalam diri Ivan.
Besok adalah waktunya Fio untuk menjawab pertanyaan Ivan. Cowok itu sudah memberi waktu beberapa hari agar Fio bisa berpikir. Namun, sampai saat ini--detik ini juga, Fio belum menemukan jawaban yang tepat. Fio tidak memiliki perasaan apa-apa kepada Ivan, namun disisi lain Fio juga merasa kasihan kepada cowok itu. Selalu begini, Fio terlalu lemah. Ia selalu tidak bisa menolak permintaan orang lain.
Tapi ini soal hati, soal perasaan dirinya. Fio harus bisa mengendalikan. Disisi yang lain, hati Fio bertempat pada Zafi. Ya, walapun sebelumnya ia hanya iseng mengklaim bahwa Zafi harus menjadi miliknya. Namun seiring berjalan waktu yang semakin cepat, membuat diri Fio selalu ingin dekat dengan cowok itu.
Zafi tidak memberi harapan yang pasti, Zafi mungkin tidak bisa menerima cinta Fio. Fio tahu itu, karena ketika melihat Zafi yang selalu tidak suka apabila Fio berada didekatnya. Bisa dibilang, Zafi tidak bisa memberi Fio sebuah harapan untuk menaklukan hatinya.
***
Tempa ini sama sekali tidak berubah semenjak terakhir kali Ela menginjakkan kakinya disini. Hanya dinding yang terlihat baru karena habis dicat ulang. Itupun dengan warna yang sama seperti sebelumnya.
Botol berisikan air mineral Ela keluarkan dari dalam tasnya. Air itu meluncur dengan mulus masuk ke tenggorokan Ela hingga tidak tersisa setetes pun. Ya, karena sebelumnya botol itu memang berisikan air yang tinggal setengah botol. Setelah itu, Ela memasukkan kembali ke benda yang bisa menampung banyak barang itu.
"Jahat lo La, gue nggak sisain." Zafi mendengus.
"Udah habis, lo si nggak ngomong!" Ela berseru.
"Apa seorang sahabat harus minta dulu? Bukannya seorang sahabat mengerti dan peka dengan sahabatnya yang lain?"
Ela tidak bisa menghindar lagi. Ketika mendapati perkataan Zafi yang selalu membuat hatinya mencelus dan tersinggung, ia hanya bisa diam dan mengarahkan wajahnya menatap sepatunya yang sangat kotor.
"Gue becanda La, gue juga bawa sendiri. Santai aja, nggak usah bawa sampai hati," ujarnya.
Tetap saja Ela merasa tidak enak hati walapun Zafi sudah bicara seperti itu. Ini juga menjadi sekian kalinya Ela merasa disinggungkan oleh Zafi. Sudahlah, tidak usah dipikirkan berapa banyak Ela menerima semua itu.
"Hei, bro! selamat datang kembali. Gue kangen sama lo sumpah!" ucap seorang cowok yang datang dari arah depan dan seperti biasanya melakukan salam brother. Hal ini selalu yang dilakukan oleh para kaum adam.
Reza langsung menatap Ela dan tersenyum kearahnya. "Eh Ela, lo ikut juga! Udah lama kita nggak ketemu. Gue juga kangen sama lo, hehehe," cengirinya kepada Ela.
Ela memiringkan ujung bibirnya, "gue nggak! Mana bisa gue kangen sama orang kayak lo."
Reza hanya terkekeh, "eh Zaf, Letta nggak ikut lo? Yah, padahal gue ingin ketemu sama bidadari cantik," celetuknya.
Ela langsung menatap Zafi dengan kerutan didahi. Ada apa ini? Ela tidak pernah lihat Zafi dekat dengan seorang cewek dan Zafi juga tidak pernah menceritakan siapa Letta yang Reza maksud.
Oke, Ela tahu. Semua orang memiliki privasi masing-masing yang tidak boleh diumbar pada siapapun termasuk sahabat karibnya. Namun, Ela terlalu ingin tahu siapa sosok cewek yang sedang dekat dengan Zafi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"