BAGIAN 10

9.3K 489 2
                                    

"GUE nggak mau pulang sekarang," pekik Fio sambil menepuk pundak Zafi. Cewek itu terus merengek.

Zafi sedikit melengos ke arah belakang, "kenapa?"

"Gue nggak mau ikut Papa, bawa gue  kemana aja yang penting lo jangan bawa gue ke rumah." Fio menggelayuti lengan tangan Zafi yang masih menyetir motornya, akibat ulah cewek itu membuat motor yang kini ditumpanginya sedikit oleng.

"Nggak! gue nggak akan nyulik lo," raung Zafi, sangat tidak setuju dengan permintaan cewek itu yang menurutnya terdengar sangat konyol sekali.

"Pokoknya gue nggak mau pulang. Pliss ... turutin kemauan gue kali ini aja dong," rengek Fio kepada Zafi.

"Emang selama ini gue nggak nurutin kemauan lo apa?" cibir Zafi. Zafi merasa sudah pusing meladeni Fio.

Fio menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal, "ya enggak, maksud gue bukan gitu," gumamnya lagi.

"Gue anterin lo sampai rumah, gue juga ada urusan sama bokap gue." Zafi mengatakan sejelas mungkin, agar Fio benar-benar paham dengan apa yang dirinya katakan ini.

Wajah yang semula tersenyum  sumringah berubah menjadi kusut dan cemberut, Fio tidak ingin pulang sekarang. Alasannya cuma satu, ia tidak mau ikut dengan Alizter untuk menemui rekan kerjanya. Fio berpikir mungkin akan sangat bosan disana apalagi ditambah kedatangan seorang cowok anak dari rekan kerja Alizter. Fio tidak suka itu, ia lebih memilih kabur saja.

"Emang lo ada urusan apa?" tanya Fio penasaran.

"Nggak tahu, gue cuma diajak pergi nanti malam sama bokap," ucap Zafi ketus.

"Ya udah nggak pa-pa deh," ucap Fio lesu, "eh betewe followers gue naik karena lo, kan?"

"Hmm."

***

Suara motor yang semula berderu kencang perlahan memudar karena gas dilonggarkan oleh Riko. Cowok itu seperti biasa mengantarkan pacarnya pulang. Tentu saja Retta sangat betah bersama Riko karena sifatnya yang sangat perhatian.

"Thank you so much dear," ucap Retta manis.

Riko mengangguk senang, "ya udah, aku pulang dulu, see you next time." Riko melambaikan tangannya sebelum melesat pergi.

Retta masih menyimpan senyum malu-malu, hari-hari yang dilaluinya berasa sangat mulus tanpa bercak noda sedikitpun, didalam perutnya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan. Retta suka keadaan seperti ini, gejolak rasa nyaman yang tak tertandingi.

seperti menjadi rutinitas sepulang sekolah, Retta menggusurkan badannya di sofa ruang tamu sambil menonton sinetron. Seragam sekolahmya masih melekat dibadan, sepatu juga masih berada dikakinya.

"Sini remotnya, sono lo mandi," Rani menyerobot benda itu dari genggaman tangan Retta. Cewek itu melotot kearah kembarannya.

"Balikin nggak?" Masih dalam tatapan yang sangar, Retta berusaha mengambil remot TV itu dari genggaman tangan Rani.

Rani langsung menepis tangan Retta dan berusaha semaksimal mungkin agar Retta tidak mengambilnya. Cewek berwajah kembar identik itu--setiap harinya selalu berkelahi, walaulun pasti tidak lama setelah itu akan baikan lagi. Oleh karena itu, Rossa menyekolahkan kedua putri kesayangannya di sekolah yang berbeda.

Retta dan Rani sempat tidak setuju, namun Papanya juga setuju dengan pendapan Rossa. Apabila Papanya sudah bertindak, otomatis Retta dan Rani langsung menuruti kemauannya walaupun sangat berat hati.

"Lo mandi dulu gih, gue mau nonton drakor," seru Rani sudah mengganti channel TV.

Retta nurut saja, berdebat hanya akan membuang-buang tenaga, apalagi semua tenaganya memang sudah terkuras menjalani aktivitasnya disekolah. Retta pergi ke kamar mandi, wajahnya sangat kusut dan bau badannya juga sudah menyeruak. Mungkin saja, Rani menyuruhnya mandi karena tidak tahan dengan itu.

Rani pulang sekolah lebih awal yaitu sekitar pukul setengah dua siang, namun pihak sekolah menyuruhnya untuk berangkat selama enam hari dalam satu minggu. Berbeda dengan sistem sekolah Retta, SMA Harapan Pertiwi yang hanya masuk selama lima hari dalam satu minggu, tetapi waktu pulang lebih lama yaitu sekitar pukul empat sore. Tentu saja ketika hati sabtu tiba Retta sangat bersorak ria karena tidak ada yang mengganggunya dirumah.

Walaupun mereka sering berantem hanya karena masalah kecil dan sepele. Tetapi, dalam lubuk hati terdalam diantara Retta dan Rani, masih menyimpan sebutir kasih sayang. Kedua cewek itu sangat saling melengkapi.

***

Fio sudah berpakaian rapi, ia mengenakan pakaian yang menurut dirinya paling cocok untuk malam ini. Namun hatinya juga berkata, walaupun mempunyai banyak model baju yang berbeda, namun tetap saja sepertinya tidak ada yang pas untuk dikenakan.

Fio hanya bisa menggigit jari sambil mondar-mandir didalam kamarnya. Perasaannya dipenuhi kebingungan yang bergejolak. Fio tidak suka acara seperti ini.

Sebelum dipanggil untuk turun, Fio menyempatkan dirinya untuk berbaring sebentar, menatap langit-langit kamarnya yang kosong. Pikirannya menerka-nerka apa yang akan dilakukannya disana dan ia juga berpikir seperti apa wajah cowok yang dimaksud oleh Alizter.

Fio takut apabila sebenernya acara ini membahas tentang perjodohan anak mereka. Entah kenapa cewek itu sudah berpikiran jauh kesana, Fio hanya menebak saja. Namun semakin lama dipikirkan juga semakin membuat kepalanya pusing.

Pantulan Fio di kaca lemari yang berada didekat kamar tidurnya sangat elegan dan menarik apabila dipandang. Apalagi wajah cantiknya yang turut memberi nilai tambahan pada penampilannya itu. Fio buru-buru membuka pintu kamarnya untuk keluar karena Morin sudah berseru memanggil namanya.

Hentakan suara sepatu dianak tangga membuat Alizter dan Morin memandangi anak semata wayang mereka yang sedang melangkahkan kakinya turun. Morin berdecak kagum. Fio teelihat bak Cinderella yang mengenakan sepatu kaca.

"Putri Mama sangat cantik malam ini, iya nggak Pa?" Morin memandangi suaminya yang sedang menyeruput kopi panas. Alizter mengangguk setuju.

Cemberut, itulah raut wajah Fio saat ini. Wajahnya ditekuk kebawah. Ia sama sekali tidak setuju dengan acara ini. Andai waktu itu Fio memilih untuk tidak dikasih uang jajan selama satu minggu, pasti ia tidak akan ikut keacara Alizter sekarang. Namun sudahlah, menyesal tidak ada gunanya. Yang hanya, hatinya malah semakin terluka.

"Pa?" panggil Fio. Alizter menoleh.

"Hmm.." jawabnya singkat.

"Fio ada banyak PR yang harus dikerjakan, Fio nggak jadi ikut aja deh," ucap cewek itu asal. Padahal besok sama sekali tidak ada PR, tentu saja cara ini hanya akal-akalan Fio semata untuk merayu Alizter.

Alizter menyunggingkan senyum, "sebentar aja, nggak lama kok."

Fio tidak mau berdebat lebih lama lagi, ia memilih untuk diam. Fio tidak ada cara lain lagi, yang dilakukannya sekarang hanya bisa pasrah dan menjalaninya saja.

"Nurut aja sama Papa kamu, lagian kamu juga sudah dandan cantik. Sayang sekali kalau kamu membatalkannya." Morin berusaha menenangkan Fio.

Cewek itu mengangguk dan masih berusaha menyunggingkan senyum, walaupun sebenarnya sangat enggan. Ini semua hanya semata-mata untuk membuat Morin senang.

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang