BAGIAN 30

6.1K 252 2
                                    

PIKIRAN Fio kembali beranjak mengingat kejadian tadi di rooftop sekolah dengan Ivan. Apa yang Ivan katakan sungguh membuat Fio sendiri tidak bisa berkutik. Bingung. Satu ungkapan yang kini bergelut didalam benaknya. Cewek itu bergegas menuruni tangga dan pergi ke kantin karena ketiga sahabatnya pasti sudah menunggu disana.

Tidak sampai lima menit Fio sudah menginjakkan kakinya ditempat ramai itu, semua siswa berlomba-lomba memesan makanan dan memilih tempat duduk yang nyaman. Mata Fio berkeliaran mencari sosok yang dicari. Seharusnya Fio sudah mencari mereka dianak tangga tadi. Dari ketinggian sudah pasti akan memudahkan dirinya untuk menemukan Retta, Karin, dan Friska.

Sudahlah, kini sudah terlanjur. Tidak mungkin juga Fio memutar balik hanya untuk naik tangga dan melihat mereka dari sana. Ketiga cewek yang Fio cari akhirnya terlihat. Fio langsung mendekat kearah mereka yang duduk dan bercengkerama disebuah bangku berbentuk bundar.

"Pada ngomongin gue ya?" sontak semua kaget akan kedatangan Fio yang mendadak tanpa diketahui gerak gerik sebelumnya.

Retta menghela napas panjang, "lo apaan sih? Bikin kaget aja kerjaannya, lagian ngapain juga kita ngomongin lo. Ya nggak?" Arah pandangan Retta menatap Karin dan Friska secara bergantian. Mereka mengangguk mantap.

Fio mengambil duduk disamping Karin, "kalian belum pesen makanan?" ucapnya ketika ia sudah duduk. Ditatapnya semua teman-temamnya satu persatu.

"Belum lah, kita nungguin lo. Gue rela diamuk sama bu Idah tadi karena cuma duduk nggak pesen makanan," pekik Karin.

"Gue sama Retta juga sama kali, nggak lo doang." Friska berseru, tak mau kalah.

Karin melengos menatap Fio, ucapan Friska dan Retta tidak ia cerna dengan maksimal. Karin menganggap omongan mereka hanya angin yang berhembus sesaat dan pergi entah kemana.

"Lo ada perlu apa tadi Fi? Mau ngomong sama kak Ivan kalau cokelat yang dikasih dia hilang karena dimakan oleh kembaran gue?" sela Retta sebelum Karin memulai pembicaraan.

"Eh, prasaan lo su'udzon sama gue mulu sedari tadi." Fio mencibir.

"Becanda kali. Nggak usah masukin dalam mulut," ujar Retta sambil nyengir.

Karin melotot dan mencampol kepala Retta, "dalam hati, bego!," raungnya.

"Iya, itu maksud gue, hehehe."

Fio hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat adegan dramatis dihadapannya. Hal seperti ini selalu terjadi disaat tertentu tanpa disadari.

***

Bukannya menjalani hukuman yang diberikan Pak Santoso untuk berdiri ditengah lapangan sambil hormat kepada sang merah putih, Zafi malah pergi mencari Ivan. Cowok itu meninggalkan Alka begitu saja setelah dia meminta ditemani untuk ke kamar mandi.

Ivan tersentak ketika mendapati Zafi sudah berdiri dihadapannya. Alis kirinya terangkat keatas. Ivan menatap Zafi dengan sorot mata lekat-lekat dari ujung sepatu sampai puncak kepala Zafi yang rambutnya sedikit berantakan.

"Zafi? Lo ngapain di sini?" ucap Ivan kaku.

"Bukannya gue yang tanya ke elo, ya?"

"Gue, dari kantin. Dari tadi pagi gue belum sarapan soalnya."

Jawaban yang keluar dari mulut Ivan membuat Zafi menyerngitkan dahi. Ia baru saja tidak percaya akan omongan sahabatnya itu. Memang benar, semua orang sama. Mereka pandai membual dan berbohong.

"Kenapa lo nggak ngomong jujur aja sama gue?"

"Yuk ah ke kelas, Pak Santoso lagian pasti udah keluar." Ivan mendorong punggung Zafi maju.

Seraya berjalan menuju kedalam kelas kembali, Zafi hanya menatap lurus kedepan tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Sesekali Zafi mencuri pandang menatap Ivan yang menyunggingkan senyum kecil. Ah, Zafi sangat penasaran.

Yang Zafi tidak suka kepada Ivan yakni cowok itu sudah membohongi dirinya, Zafi tidak suka diperlakukan seperti itu. Intinya cuma satu, siapa yang sudah membodohi dirinya, tidak segan-segan dia sendiri tidak akan percaya lagi sama omongannya.

Sekali orang berbohong dan tindakan itu berhasil lolos dengan sempurna, pasti orang tersebut akan mengulanginya lagi. Zafi yakin itu dan dia juga berani bertaruh.

"Woy tunggu!" teriakan seorang cowok berhasil membuat Ivan dan Zafi menoleh kebelakang. Dia sedang berlari kearah mereka berdua, wajahnya sudah pucat pasi, deru napasnya sama sekali tidak normal. Ya, dia Alka. Cowok yang selalu memasukkan bunga mawar kedalam saku seragamnya.

Entah itu agar semua cewek tertarik atau hanya iseng saja. Wajah Alka juga lumayan bisa dibilang tampan. Namun, kedudukan bunga mawar yang selalu disaku seragam membuat para siswi semakin ilfeel. Bahkan Alka sempat dibilang norak dan alay. Apalagi yang mencibir seperti itu adik kelasnya sendiri. Namun, Alka malah tidak menghiraukannya. Mungkin urat malunya sudah putus dari dalam raganya.

"Kenapa lo tinggalin gue tadi?" ucap Alka sedikit tersenggal. Zafi hanya menatap Alka dalam diam.

"Mana gue masuk ke toilet cewek lagi. Lo sih nggak ngomong sama gue." Alka memajukan sedikit bibirnya. Menggerutu.

Zafi dan Ivan tertawa mendengar seruan itu dari Alka. "Lagian salah lo sendiri, sekolah udah tiga tahun, belum hafal juga WC cowok yang mana!" Ivan menggelengkan kepalanya.

"Gue malu tolol! Pas gue keluar dari kamar mandi. Ehh...taunya semua pada jerit nggak jelas. Gue kan kaget!" jelas Alka lagi.

"Lo kayak gitu malu? Tapi lo sendiri bawa bunga mawar setiap hari nggak malu, gitu?" tanya Zafi.

Alka melangkahkan kakinya maju menerobos Zafi dan Ivan. Bahu mereka saling bersenggolan. Alka sudah melangkahkan kaki dengan lebar kearah depan.

"Bodoh ah!" teriak Alka tanpa menatap ke belakang.

"Ngomong-ngomong, Riko mana Zaf?"

Zafi menatap Ivan, "di kelas, tadi nggak ikut gue keluar sama Alka." Zafi menjawab pelan.

***

Suara merdu yang ditunggu oleh kalangan semua murid akhirnya keluar dan menggelegar memenuhi sekolah. Dengan langkah kaki lebar semua beranjak pulang ke rumah masing-masing. Tak terkecuali dengan Zafi, cowok itu tidak berjalan menuju parkiran sekolah, namun Zafi keluar dan menghampiri kelas Fio.

Dengan jaket bomber yang melekat dibadan gagahnya, Zafi bertengger dipintu kelas Fio sambil menunggu cewek itu keluar.

Jari tangannya dengan cekatan bergerak- gerak diatas keyboard layar ponsel. Zafi memasukkan kembali ponsel itu kedalam saku celana. Kedua tangannya dilipat didepan dada. Sesekali sorot mata mendelik menatap jam tangan.

Fio keluar dari dalam kelas, sontak dia terkejut ketika mendapati Zafi yang berada didepan kelasnya. Fio mendekat kearah Zafi.

"Ngapain ke sini?" ucap Fio sedikit khawatir.

"Kenapa? Udah gue bilangin kalau ini bukan kelas lo aja."

Fio mendesah berat, lalu ia berkacak pinggang, "ya udah mau apa? Mau pulang bareng sama gue?"

"Oke." Zafi langsung menarik tangan Fio dan menyeret untuk ikut ke parkiran. Yang Fio ucapkan tadi tidak benar-benar ingin pulang bersama Zafi. Fio sendiri merasa kebingungan apa yang membuat Zafi sedikit berubah kepada. Ya, walaupun kata-kata pedas yang keluar dari mulutnya masih betah disana.

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang