BERADA dipelukan hangat membuat Zafi ingin terus berada pada posisi seperti ini. Gejolak rasa nyaman terus menghantui dirinya. Zafi terus bercerita kepada Ela, tidak selang lama setelah itu dia melepaskan pelukannya.
Ela sendiri merasa belum bisa menghilangkan rasa canggung yang masih menempel diraganya. Ia merasa seperti mati rasa. Cewek itu kembali menatap Zafi dengan tatapan haru dan tidak tega.
"Kadang hidup nggak sesuai yang kita duga, ya?" gumam Ela, matanya yang sayu menatap lurus ke depan.
Zafi yang semula merunduk dan menatap ke bawah langsung menoleh kesamping ketika mendapati lontaran perkataan seperti itu dari Ela setelah hening beberapa detik yang lalu.
Cewek itu kemudian tersenyum kearah Zafi, dia tahu bahwa tanda tanya besar pasti sudah mengelilingi pikiran cowok itu.
"Iya, kadang kita sudah merencanakan suatu hal dan berharap terjadi sesuai apa yang kita rencanakan nantinya," lanjut Ela sebelum Zafi bertanya lebih lanjut.
"Gue sekarang tahu maksud lo La, makasih. Memang lo satu-satunya sahabat gue yang selalu ngerti dan sanggup mendengar isi hati gue," ucapnya dengan suara melemah.
Ela hanya bisa mengangguk dan tersenyum kepada Zafi, sesekali ia menyemangatinya.
"La," panggil Zafi lagi.
"Hmm..," balas Ela singkat dengan gumaman.
"Lo tahu perbedaan teman dengan sahabat menurut versi gue?" tanya Zafi yang membuat kerutan didahi Ela. Mungkin cewek itu tengah dalam pikiran bingung.
"Apanya yang beda, teman sama sahabat kan sama-sama memiliki satu arti," protes Ela.
Zafi menggeleng, "nggak, itu menurut versi lo dan orang lain. Tapi kalau menurut versi gue beda lagi El," lanjutnya.
"Memangnya apa coba?"
"Sahabat sama teman emang sama-sama orang yang bikin kita berpikir akan tingkahnya. Kalau mereka baik, kita juga merasa senang. Namun, kalau mereka suka jahat, kita juga bisa mempunyai perasaan tidak suka dengannya."
"Jadi?" Ela masih fokus ke satu titik. Manik mata Zafi.
"Menurut gue, teman itu teman. Sahabat itu sahabat, tidak bisa diubah maupun dirombak," tukas Zafi lagi.
"Terus, apa lagi?" Ela masih menyelimuti rasa ingin tahu yang tinggi. Jujur, ia masih belum menangkap maksud Zafi.
"Gini deh, lo itu gue anggap sebagai sahabat gue."
"Sahabat?" Ela mengerutkan kening. "Kenapa nggak teman aja?"
Zafi tersenyum, "Karena sahabat itu selalu ada jika kita butuhkan, sama aja halnya dengan lo yang selalu ada setiap gue punya masalah dan selalu berusaha mencari jalan keluar apapun masalahnya itu."
"Kalau teman?"
"Teman itu beda jauh dengan sahabat La, dia memang ada disamping kita. Tapi, tidak selalu. Kalau ada masalah pun mereka cuma ngasih saran bahkan kadang tidak terlalu memperdulikannya dan bersikap bodoh amat sama masalah kita." Setelah itu Zafi berhenti bicara.
Pendapat yang bagus menurut Ela. Perbedaan teman dan sahabat? Menarik untuk diutarakan dengan sesuatu. Ela mengulum senyum kecil. Entah itu dari sebuah artikel yang Zafi baca atau memang real dari pikiran Zafi sendiri. Ela tidak tahu itu. Entahlah, intinya ia sangat suka.
"Lo sekarang paham maksud gue, kan?" tanya Zafi.
Ela mengangguk mengerti. Entah kenapa rasa kantuk belum menyerang Zafi dan Ela. Mereka terus mengobrol dimalam yang sunyi. Mereka duduk bersila saling berhadapan tepatnya diatas kasur kamar Ela.
"Zaf, lo nggak pulang?"
"Gue belum ngantuk," jawabnya singkat.
"Gue buatin minum mau? Lo maunya apa, susu atau teh? Atau mungkin air putih?"
Zafi tersenyum, "lo nganggep gue kayak tamu aja. Nggak usah repot-repot. Lagian kalau gue haus juga gue bisa ambil sendiri," ungkapnya.
Mungkin sudah menjadi kebiasaan yang tidak perlu diragukan lagi. Zafi tidak malu atau takut ketika berada di rumah Ela. Cowok itu selalu berlaku seperti sedang dirumahnya sendiri. Novi, Mama Ela juga tidak menghiraukannya karena sudah tahu seperti bagaimana akrabnya dengan keluarga Zafi.
Hal seperti itu juga tidak terjadi kepada Zafi, melainkan Ela juga sama. Apabila cewek itu bermain di rumah Zafi, ia juga menganggapnya seperti dirumahnya sendiri. Dulu, Ela sering bereksperiment membuat kue dengan nyokap Zafi. Dan Zafi lah yang menjadi juri icip makanan itu. Namun kejadian manis seperti itu tidak dapat terulang lagi.
"Kalau nonton drama korea bagaimana Zaf?" tanya Ela antusias.
Zafi berpikir, "boleh." Akhirnya ia menyetujuinya. Dari dulu Ela sudah hobi menonton drakor dilayar laptopnya. Sebelumnya Zafi tidak suka, namun ia pernah iseng ikut nonton bersama Ela dan membuat ia penasaran dengan konflik di film itu. Akhirnya ia keterusan sampai sekarang.
Tak jarang setiap malam minggu, Zafi dan Ela selalu habiskan waktu untuk menonton. Kadang didalam rumah Zafi maupun di kamar Ela.
"Kita mau nonton apa? Goblin? Descendast Of The Sun? The Legend Of The Blue Sea? atau 100 Days My Prince?" tanya Ela dengan cepat sampai Zafi tidak bisa memcerna ucapannya dengan maksimal.
"Lanjutin yang kemarin aja, kan masih episode dua belas," ungkap Zafi.
***
Slin bag yang masih dikalungkan dibadannya diambil, kemudian Fio merogoh kantung celana untuk mencari ponselnya. Bosan. Ekspresi yang bisa ia tunjukkan untuk saat ini. Fio membuka kunci ponsel yang masih jelas belum terbuka, beberapa pesan bermunculan dari LINE ketika ia menyalakan data seluler.
Berada ditengah-tengah kemacetan seperti ini memang membuat Fio merasa bosan, untung jaringan ponsel berjalan lancar. Fio membuka pesan dari Friska.
Friska Maudi :
Gue mau ke rumah lo nih
Gue bosen sendirian dirumah
Fi?
P
P
Dih, nggak onlineFio melihat pesan itu sudah terkirim dari satu jam yang lalu, ia tidak tahu apakah Friska tadi datang ke rumahnya atau tidak. Cewek itu hendak menelpon Friska. Namun, niatnya ia urungkan karena jam sudah menunjukkan pukul 23.10. Mungkin, Friska sudah terlelap dalam mimpi indahnya.
"Kamu tidur aja dulu kalau ngantuk," saran Alizter pada Fio. Posisi duduknya masih tetap mengarah ke depan, tetapi wajahnya beralih dan tersenyum kepada Fio.
Mendengar itu, Fio memalingkan wajahnya dari ponsel dan menatap Papanya, "mana bisa Fio tidur sambil duduk," tegasnya.
"Tapi, macet ini mungkin akan berlangsung sangat lama. Tidur aja dulu, besok kan sekolah," peringatnya lagi. Namun laki-laki itu tetap lembut dalam setiap perkataannya.
Fio seharusnya merasa senang karena mempunyai seorang ayah yang selalu bersikap baik kepadanya. Namun, cewek itu mungkin tidak terlalu jauh untuk memikirkan hal itu.
"Fio nggak ngantuk uuahh...."
Alizter terkekeh, kedua tangannya masih tetap memegang kemudi mobilnya.
"Itu kamu menguap, gih tidur udah, malam."
Jujur saja, Fio memang mengantuk. Air matanya berlinang dikelopak mata. Bukan berarti ia menangis atau kelilipan debu, melainkan air itu tanda matanya perlu istirahat. Dia mengucek matanya, lalu mengembalikan ponselnya ke dalam tas kecil yang masih mengalung di badan. Fio lupa tidak membalas pesan dari Friska, kedua matanya sudah terpejam rapat. Alizter tersenyum.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"