BEL pulang sekolah sudah berdering beberapa menit yang lalu. Zafi sudah menunggu seseorang di parkiran. Cowok itu bersender di body motornya yang terlihat cukup besar. Ini sudah lebih dari lima menit, namun Fio tidak tepat waktu untuk menemui Zafi. Zafi berdecak sebal lantaran Fio tidak kunjung datang.
Fio berlari sekuat tenaga, tepat setelah sampai diparkiran dan menemui Zafi, dia mengatur napasnya agar kembali berjalan normal.
"Dari mana aja? Lo tau kalau gue nggak suka nunggu?" Zafi meninggikan suaranya, Fio menatap wajah cowok itu dengan tatapan sinis.
"Maaf, gue tadi pergi ke ruang guru dulu. Yaudah buruan pulang!" Fio mulai maju mendekati motor Zafi.
"Ikut gue!" Zafi menarik lengan tangan Fio. Sudah terlalu sering Fio mendapatkan perilaku seperti ini dari Zafi. Apalagi Zafi menyeret tanpa perasaan sedikitpun.
Fio tidak lagi berucap, dia hanya mengikuti langkah Zafi dari belakang.
"Kenapa malah ke kantin? Gue mau pulang." Fio hendak melangkah keluar dari kawasan kantin. Tetapi, Zafi kembali menariknya.
"Lo temenin gue makan. Gue lapar, dari tadi siang belum ngisi perut." Penjelasan Zafi barusan hanya menimbulkan beberapa kerutan didahi Fio.
"Kenapa nggak tadi siang? Lagian kalau sekarang pulang, lo juga bisa makan dirumah, hemat uang juga." Fio memberikan saran.
"Cerewet lo! Tinggal nemenin aja repot bener, lo sekarang harus nurut sama gue!" cetus Zafi.
"Kenapa gue harus nurut sama lo?" ucap Fio menengadah wajahnya menatap ke depan.
Embusan napas panjang keluar dari mulut Zafi, cowok itu mulai melangkahkan kaki mendekat kearah Fio. Wajahnya yang terlihat tampan dan maskulin itu sangat dekat dengan telinga Fio. Seperti hendak membisikkan sesuatu disana. Jantung Fio berdegup kencang.
"Karena sekarang, lo sudah resmi jadi pacar gue." Zafi berucap dengan suara lirih, nyaris tidak terdengar.
Setelah itu, Zafi agak menjauh dari badan Fio yang masih terkujur kaku dihadapannya. Cewek itu sedikit kaget akan tuturan yang Zafi ucapkan. Zafi tersenyum, sudut bibir kirinya terangkat keatas. Dia membalikkan badannya dan mulai menjauh masuk ke dalam kantin yang lenggang--sangat sepi.
***
Semenjak Zafi berucap sepenggal kata yang membuat ketegaran Fio goyah, cewek itu lebih banyak diam saat perjalanan pulang berlangsung. Sekarang Fio terlalu takut untuk mengeluarkan suara. Sudah dua hari ini Fio sudah menjalani hubungan dengan Zafi. Tetapi, rasanya seperti tidak nyata bahkan seperti hayalan semata.
Sifat memang tidak bisa dihilangkan dengan mudah dari diri seseorang. Nyatanya, sifat Zafi yang seperti itu masih melekat disana, walaupun kini statusnya sudah berpacaran. Perlu Fio akui, Zafi bukanlah cowok yang romantis seperti khalayak cowok- cowok lainnya yang selalu mengeluarkan sekadar gombalan yang dapat menyenangkan hati kekasihnya. Boro-boro seperti itu, Fio malah sering mendapatkan gertakan darinya.
Zafi juga bukan cowok humoris, malah dia terbilang sadis akan ucapannya. Ngomong-ngomong soal itu, Fio masih penasaran kenapa Zafi meminta Fio untuk menjadi pacarnya.
Berbagai suara kendaraan bersatu dan berkumpul digendang telinga Fio--sangat berisik. Apalagi kini dia tidak memakai helm. Rambut panjang nan bergelombang itu menari-nari terbawa angin.
"Kenapa lo diem?" Zafi memecah keheningan yang terjadi cukup lama diantara dirinya dan Fio.
"Nggak pa-pa," lirih Fio, matanya masih fokus menatap pemandangan kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"