FIO segera memasukkan alat tulisnya ke dalam tas ketika bel pulang sudah menggema memenuhi sekolah. Cewek itu segera mengangkat bokongnya dari kursi dan lantas berjalan keluar menuju pintu.
Langkah Fio terhenti ketika pergelangan tangannya ada yang memegang. Fio berbalik, dan mendapati Zafi berdiri di dekat pintu kelas. Fio tidak menyadari kehadirannya. Fio tidak berani menatap wajah Zafi, dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan itu. Usaha yang dilakukannya terbuang percuma karena kekuatan Zafi lebih besar darinya.
"Lepasin!" Fio masih berusaha melepaskan tangan Zafi.
"Yuk pulang, aku anterin."
"Nggak, gue mau pulang sendiri. Lepasin nggak?!"
Zafi sempat terdiam beberapa saat setelah mendengar Fio mengucapkan kata 'gue'. "Kenapa berubah jadi gini?" Zafi mulai memelankan suaranya. Tangan yang mencengkeram dipergelangan tangan Fio ia kendurkan.
Dengan gerakan cepat, Fio langsung menghindar beberapa langkah. "Gue masih sama kayak dulu, apa yang berubah dari gue? Itu cuma perasaan lo aja kali."
"Aku butuh penjelasan dari kamu, kamu marah sama aku karena tidak ijin sama kamu dulu sebelum pulang pada malam itu, waktu kamu kenalin aku dengan orang tua kamu?"
"Nggak! Udah, gue mau pulang," ketus cewek itu.
Zafi kembali mengeluarkan suara, "kenapa ada pembicaraan lo-gue diantara kita?"
Langkah cepat Fio kembali terhenti. "Karena lo bukan siapa-siapa gue lagi mulai sekarang." Fio kembali berjalan meminggalkan Zafi yang masih berdiri didepan kelasnya.
Bagaimana Zafi tidak diliputi rasa bingung kalau Fio berkata ketus tanpa sebab seperti itu? Perubahan yang Fio tunjukkan membuat Zafi semakin gencar ingin tahu apa penyebabnya. Zafi berusaha mengingat apakah dirinya mempunyai kesalahan kepada pacarnya itu. Ya, banyak sekali. Namun, selama ini Fio seperti tidak menghiraukan itu dan selalu bersikap bodo amat. Zafi yakin, itu bukan alasan yang tepat untuk mendasari atas perubahan sikap Fio kepadanya.
***
Fio terus berlari menuju pohon besar yang berada di taman sekolah. Ia memeluk lututnya, air mata turun dari kelopak matanya yang sembam. Mengingat dirinya berkata kasar kepada Zafi tadi membuat Fio diruntukkan rasa bersalah. Ia tidak tega, tetapi Fio harus melakukan hal itu agar Zafi mulai menjauh dari dirinya. Fio sendiri juga akan mulai menjaga jarak dari cowok itu.
Fio ingin melaksanakan perintah Alizter untuk kali ini. Fio mulai terisak, ia berusaha menyembunyikan suara dari mulutnya itu, tetapi ia tidak bisa. Keadaan yang Fio timpa sekarang sangat sakit. Sakit melebihi disayat oleh pisau sekalipun.
Semakin dipikirkan,semakin hancur pula perasaan yang mewakili saat ini. Fio tidak benci Alizter, Fio juga tidak benci Zafi. Hanya saja, sekarang dirinya benci dengan situasi unuk kali yang datang tanpa permisi dan merusak semuanya.
Buliran kristal semakin turun dengan santai, Fio menangis tersedu. Dadanya semakin sesak. Hanya air mata yang dapat menyaksikan kepedihan yang Fio derita sekarang.
***
Ini sudah satu minggu lamanya Fio menghindar dari Zafi. Tidak ada tukar kabar diantara satu sama lain. Kini keduanya seperti orang yang tidak saling mengenal. Walaupun sulit untuk melakukan itu, Fio akhirnya berhasil menghindar dari Zafi. Jujur, ini sangat berat untuk dilakukan. Membuat agar orang lain benci pada diri kita sendiri memang sangat sulit.
Zafi sudah mencari informasi melai sahabat Fio, namun ketiga cewek itu tidak ada yang tau permasalahannya karena Fio sama sekali belum cerita.
Jika boleh mengulang, Zafi sangat mau hal itu. Ia akan mengubah sikap yang dulu dipelihatkan dihadapan cewek itu. Ya, walaupun itu hanya bisa ditangkat oleh angan semata.
Seminggu rasanya seperti satu bulan. Kehadiran Fio sangat berarti dikehidupan Zafi. Kehadiran cewek itu membuat hari Zafi lebih hidup dan berwarna. Tapi kini, semua pupus dengan cepat bak secepat petir yang menyambar langit. Hati yang berisi warna seolah pelangi yang selalui menodai, kini berubah menjadi warna yang menyeramkan. Ya, abu-abu. Semua tampak lebur.
Zafi berjalan dilorong kelasnya, entah mau pergi ke mana. Ia hanya bosan berada dikelas terus menerus karena hari ini jam kosong. Iris matanya menangkap sosok cewek sedang bermain basket di lapangan. Sudut bibir Zafi terangkat, ingin rasanya menghampiri dan memberinya semangat. Namun, apa daya. Zafi hanya bisa melihatnya dari jauh.
Bola berwarna oranya itu berhasil dimasukkan oleh Fio ke dalam ring. Dia nampak bahagia bersama teman temannya. Zafi ikut tersenyum, melihat orang yang disayanginya bisa bahagia.
***
"Fi!"
Mendengar namanya dipanggil, cewek yang sudah mengendong ranselnya itu lantas berbalik. Ekspresinya berubah menjadi sukar diartikan. Seperti tidak suka kehadiran orang yang memanggil namanya itu.
Cowok itu mendekat, Fio sedikit menundukkan wajahnya. Sudah seminggu ia berhasil menghindar darinya, kini malah bertemu lagi. Fio rasa, usaha yang dilakukan akan sia-sia saja, karena memori yang sempat terpendam kini telah lahir kembali.
Fio mulai berjalan lagi, namun pergelangan tangannya berhasil di tarik oleh Zafi. Cewek itu kini berada sangat dekat dengannya. Sorot matanya masih sama, menatap ke bawah.
"Aku mau ngomong sama kamu," ucap Zafi lirih.
"Gue mau pulang," jawab Fio. Ucapannya tidak seketus yang terakhir cowok itu dengar. Ya, seminggu yang lalu di depan kelas Fio saat mau mengajaknya pulang bareng.
"Sebentar aja, kamu boleh ikut aku." Wajah Fio sedikit mendongak menatap wajah Zafi.
Fio berkata, "mau kemana, maaf nggak ada waktu!"
"Cuma sebentar, lima menit aja kok. Kamu ikut aku, ya?"
Fio menghela napas panjang, sebenarnya ia suka diperlakukan seperti ini kepada cowok itu. Namun, ia harus menuruti apa kata Alizter supaya harus berhati-hati dengan Zafi.
"Yaudah." Fio akhirnya mengiyakan. Lima menit bukanlah waktu yang lama. Fio mengikuti Zafi yang sudah berjalan mendahului dirinya. Sekolah kian sepi, seluruh murid sudah pulang. Kini hanya tersisa mereka berdua.
"Maaf Fi, aku harus lakuin hal ini ke kamu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"