PETANG semakin menculut dan Fio semakin mahir memainkan permainan itu. Entah kenapa, raganya sangat ingin bermain terus. Bagi Fio, mencoba sesuatu kegiatan baru itu sangat menyenangkan. Bak seperti kata pepatah, jangan menilai buku dari covernya saja, melainkan harus dalam isinya.
Begitupun dengan Fio sekarang, dia sudah berpikir bahwa golf ini merupakan olahraga yang sulit dan membosankan. Namun ketika dia merasakan, barulah muncul rasa ketagihan. Fio meloncat kegirangan, bola yang tadi dipukul dengan keras masuk ke dalam lubang. Tentu saja cewek itu menjerit histeris.
"Lo cuma beruntung, megang tongkat aja masih salah," pekik Zafi.
Fio menunjukkan raut wajah yang cemberut. Semua yang Fio lakukan pasti selalu salah dimata Zafi. Ya, walaupun memang kali ini dia pasti tidak benar melakukan olahraga yang satu ini karena baru pertama kali ia mencoba.
"Yaudah sini lo ajarin gue," raung Fio.
Zafi mendesah, sebenarnya ia sangat enggan menuruti kemauan Fio lagi. Namun, ketika melihat Fio selalu salah dalam memegang tongkat membuat Zafi gregetan sendiri. Zafi mulai maju mendekati Fio.
"Lo megangnya disini." Zafi memegang tangan Fio dan mengarahkannya ke tempat yang seharusnya ia pegang. Tangan Fio gemetar sendiri. Ah, mungkin baru kali ini juga tangannya dipegang oleh Zafi
Cowok yang selalu membuat darahnya naik kini malah berasa sangat canggung menghadapi lantaran jarak antara mereka berdua sangat dekat. Zafi masih memegang tangan Fio dengan kuat. Sorot matanya terpaku menatap bola dan tongkat yang diayunkan.
Fio menggigit bibir mungilnya, darahnya berdesir halus. Bukannya fokus kepada apa yang Zafi ajarkan, cewek itu malah memperhatikan wajah Zafi yang sangat dekat nyaris bersentuhan dengan wajahnya. Zafi mengayunkan tongkat ke belakang dan sudah pasti Fio juga meniru gerakannya karena tangan mereka saling bersentuhan memegang tongkat golf yang sama.
Skill Zafi memang layak diacungi jempol, bola yang tadi dipukul sangat tepat sasaran dan masuk ke dalam lubang. Bukannya merasa senang karena diajari seperti itu dengan Zafi, Fio malah berdecak sebal. Jantungnya masih berdegup dengan kencang, hatinya terenyuh. Fio ingin secepat mungkin menghilangkan rasa ini yang semakin lama malah semakin menjadi.
Mungkin Zafi tidak tahu apa yang dirasakan Fio sekarang, tetapi melihat Fio yang semakin gugup, hal itu cukup membuat Zafi menaruh rasa curiga. Keringat yang bercucuran juga sudah cukup dijadikan sebuah bukti bahwa Fio sekarang dalam keadaan gugup, kalut dan canggung yang bercampur aduk didalam raganya.
Mata mereka bertemu setelah Zafi berhenti mengayunkan tongkat. Tatapan yang tidak seperti biasanya. Mereka bertahan hingga lima detik lamanya. Fio membuyar itu semua setelah mereka saling beradu pandang, dia tidak mau lebih lama menatap Zafi.
"Lo kenapa gemeteran gitu sama gue? Lo takut? Apa jangan-jangan lo..," gumam Zafi dan menjeda ucapannya.
"Apaan si," umpat Fio seraya mendorong dada lebar Zafi ke belakang.
"Kenapa lo sewot? Gue nggak ngapa-ngapain lo. Dasar cewek aneh!" raung Zafi lagi.
Perkataan Zafi barusan sukses membuat Fio bungkam. Benar juga apa yang dikatakan Zafi tadi, Fio hanya terlalu berpikir jauh dan negatif. Seharusnya Fio mengambil pelajaran dan sisi baiknya saja. Bukannya sudah cukup puas kalau tadi Zafi sudah mau mengajarinya? Ah, tapi Fio sendiri tidak memperhatikan. Sedari tadi Fio hanya terfokus pada satu titik yaitu wajah Zafi yang sangat dekat.
"Gue mau ke sana dulu," pamit Reza setelah dari tadi mengumpulkan peralatan golf yang tadi telah digunakan.
Zafi dan Fio lantas menangguk bersamaan. Reza sudah berjalan menuju tempat peralatan itu semua disimpan. Semua orang sudah meninggalkan studio ini. Kini ditengah lapangan hanya tersisa mereka berdua.
"Gue mau pulang," rengek Fio kemudian.
"Yaudah sana pulang," balas Zafi ketus.
"Ihh...nyebelin banget si lo jadi orang. Nyokap lo dulu ngidam apaan sampai punya anak yang kelakuannya kayak lo?"
"Nyokap gue udah meninggal satu tahun yang lalu," ucap Zafi lirih. Mungkin dia memikirkan Mamanya lagi lantaran Fio menyebut-nyebut nama itu.
"Oh, sorry. Gue nggak tahu." Fio menundukkan kepala. Kalau dipikir dan dicerna ucapan Fio tadi memang cukup membuat hati Zafi mencelut akan hal yang diucapkannya.
"Nggak pa-pa, lo nggak tahu juga."
Fio mendongak setelah itu dan menatap cowok dihadapannya, mata Zafi dan Fio kembali bertemu. Bukan marah atau sebagainya, Zafi tidak menunjukkan ekspresi tersebut. Ia malah tersenyum sipit.
"Yaudah, gih pulang. Gue anterin lo."
***
Zafi membuka gerbang rumahnya yang sedikit tertutup rapat. Deritan suara terdengar nyaring. Zafi langsung kembali ke motornya dan menjalankan masuk ke garasi.
Sebuah pandangannya teralihkan dan terfokus kepada mobil yang berwarna putih tepat dihalaman rumahnya. Tentu saja, Zafi dapat melihat itu karena body mobil yang begitu mengkilap walaupun dalam keadaan malam seperti sekarang.
Entah itu mobil baru atau mobil yang baru saja dicuci, Zafi tidak tahu itu. Yang pasti ia sangat berdecak kagum melihatnya. Ngomong-ngomong Zafi sudah terlalu memakan banyak waktu untuk memuji mobil itu, Zafi sendiri malah lupa tidak memasukkan motornya kedalam garasi.
Setelah itu, Zafi mulai bergegas masuk ke dalam rumah, badannya seperti sudah diremas-remas. Ototnya mulai pada mengencang. Cowok itu masih mengenakan pakaian olahraga tadi. Zafi langsung membuka pintu depan, ia menggendong tas dengan satu bahu.
Hal tidak mengenakan tiba-tiba tercipta, pandangan yang Zafi tidak suka, dan beberapa detik saja Zafi sudah tidak ingin melihatnya. Cowok itu melihat Aksa dengan perempuan itu. Ah, lebih tepatnya akan menjadi Mama tirinya. Namun, sampai kapanpun itu, Zafi tidak akan pernah menganggap Maya itu ada. Perempuan itu bagaikan nenek sihir yang telah mengutuk keluarganya.
Zafi memutar bola matanya malas, terbukti sudah, mobil didepan teras rumahnya tadi pasti milik Maya, tidak salah lagi. Kata-kata Zafi yang sempat terlontar untuk memuji mobil itu ia tarik kembali. Terlalu berharga kata itu diucapkan.
Hanya langkah kaki yang terdengar terus menggesek dilantai. Zafi sudah tahu Papanya tengah memperhatikan. Terlebih lagi perempuan jelek itu. Zafi tidak menghiraukan, ia terus berjalan hingga kakinya sudah naik ke undakan tangga pertama.
Aksa langsung mencegat Zafi dan memanggilnya. Zafi menoleh dengan tatapan tidak suka. Apabila Zafi tidak menghiraukan dan tetap berjalan naik ke atas, kemarahan Aksa mungkin berlipat ganda. Zafi tidak mau itu, memikirkan Aksa yang mau menikah lagi juga sudah membuat dirinya muak apalagi ditambah dengan ini. Zafi mendekat kearah Aksa. Cowok itu berdiri disamping Papanya. Maya melirik Zafi dalam diam. Ah, Zafi sendiri paling tidak suka ditatap begitu lama oleh orang lain terlebih lama oleh orang asing--orang yang belum lama dikenalnya. Zafi memutar matanya kesamping dan berusaha mengelak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zafio (END)
Teen FictionFIOLETTA REYLISA "Sebagai gantinya, lo sekarang resmi jadi cowok gue!" ZAFI RAFJAKA "Perlu lo tau, lo adalah cewek paling aneh yang pernah gue temui!"