BAGIAN 49

4.9K 202 1
                                    

PINTU rumah dibuka, menampilkan sosok cantik dari balik sana, dibelakang cewek itu, terdapat cowok yang mengikuti langkah kakinya. Fio membujuk Zafi untuk masuk ke dalam rumahnya, sekaligus ingin memperkenalkan dengan Alizter.

Sebenarnya, Zafi enggan mampir. Tetapi, karena Fio yang membujuknya sangat keras membuat ia harus pasrah dan menghela napas berat. Zafi belum siap, bahkan sekarang dia sangat gugup.

Pasangan yang sedari tadi asik nonton siaran televisi, kemudian mengalihkan pandangannya menatap dua remaja yang masih tidak jauh dari pintu.

Fio berlari kecil kearah Morin dan Alizter. Cewek itu lantas mencium punggung tangan orang tuanya tanda rasa hormat kepada mereka. Zafi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun juga, ia tidak mau di cap memiliki perilaku tidak sopan kepada orang yang lebih berumur dari dirinya.

Sebelumnya, Alizter tidak sepenuhnya menyadari kehadiran Zafi. Laki-laki itu menyerngitkan dahi menatap cowok itu. Zafi sebenarnya diruntukkan oleh rasa malu dan gugup yang besar. Zafi tersenyum kearah Alizter.

"Eh, ini temen kamu pas waktu itu dateng jemput untuk datang ke pesta ulang tahun Retta, kan?" Morin bertanya kepada Fio.

Pupil mata Fio langsung menatap kesamping yang menampilkan Zafi disana. "Iya, Ma."

"Aku pergi ke kamar dulu ya, mau ganti baju." Fio pamit kepada kedua orang tuanya. Zafi sempat melotot kepada Fio, menginteruksi agar tetap di sini menemani dirinya. Zafi masih malu terhadap Morin dan Alizter. Tapi Fio tidak peka sama sekali.

Setelah itu, Morin juga ijin pergi ke kamar dengan alasan untuk menyetrika pakaian. Kini di ruang tamu hanya menyisahakan dua Laki-laki. Alizter menatap Zafi dengan tajam. Tatapannya begitu menghunus, cowok itu seketika menelan ludah. Sedetik setelah itu, Alizter berdehem. Zafi langsung menatap Alizter. Dia kembali tersenyum kikuk.

"Nama kamu siapa?" tanya Laki-laki itu dengan muka daftarnya, sorot matanya tidak beralih dari wajah seorang anak muda dihadapannya. 

Seketika Zafi langsung mendongak, "Zafi Rafjaka Om," ucapnya getir.

Alizter membulat mulutnya berbentuk 'O'. "Udah kenal lama dengan anak saya?"

"Lumayan, Om."

"Kamu dari keluarga mana?" Alizter kembali bertanya.

Kini, Laki-laki itu seperti sedang mengintrogerasi Zafi dengan rentetan pertanyaan. Zafi sedikit kesal, jika dia enggan menjawab pertanyaan itu, Zafi sendiri juga merasa tidak enak hati.

"Keluarga Trijaka Om, Papa saya Aksa Trijaka," pinta Zafi.

Bola mata Alizter langsung melotot, seorang yang kini dilihatnya merupakan anak dari musuhnya dulu. Alizter masih tidak percaya, pikiran yang seharusnya tidak datang keotaknya, kini malah sebaliknya. Fio, putrinya sekarang sedang dekat dengan Zafi sekarang. Mungkin, peluang Fio untuk terjadi sesuatu tidak mengenakkan semakin besar.

"Keluarga Trijaka? Benarkah itu?" tanya Alizter, barangkali yang didengarnya tadi hanya ilusi.

"Iya, kenapa om?"

Alizter tidak menyahut ucapan Zafi lagi. Pikirannya pergi entah kemana, walaupun raganya masih tetap disini.

Apakah ini mau Aksa? Menyuruh anaknya untu mendekati anakku. Aku tidak akan terjebak oleh lubang buaya yang kau buat untuk kali ini.

Alizter berucap dalam benaknya. Melihat raut wajah Papa Fio yang begitu sedang banyak pikiran setelah mendengar perumpaan dari mulutnya, Zafi merasa bingung atas sikap Alizter. Raut wajahnya tidak bisa digambarkan dengan tulisan, entah sedang merasa senang, sedih, ataupun marah. Zafi tidak bisa mengambil satu kesimpulan dari ekspersi Alizter itu. Wajahnya datar, terus menatap kearah depan. Ya, kearah depan, namun bukan mengarah ke wajah Zafi.

Jika sudah seperti ini, Zafi merasa bersalah. Cowok itu memilih diam sampai Alizter mengangkat suaranya kembali. Oke, sekarang kalau Zafi boleh memilih untuk keadaan saat ini. Dia pasti lebih memilih menjawab rentetan pertanyaan dari Alizter. Tidak menghiraukan, entah itu seribu pertanyaan atau lebih. Dari pada ia mendapati diaman seperti ini yang sangat menyiksa batin.

Merasa Fio tidak kunjung datang menemui dirinya diruang tamu, Zafi sedikit merasa kesal. Kesal karena menghadapi Alizter sendirian. Perasaan canggung masih mengguncangkan raganya.

***

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Melihat suaminya yang dari tadi terus melamun, membuat Morin ingin bertanya apakah situasi saat ini baik-baik saja atau malah sebaliknya.

"Lagi banyak pikiran, ya?" Morin menepuk bahu Alizter dari samping. Morin tersentum kearah Alizter setelah Laki-laki itu menoleh menghadap kearahnya. Sedetik kemudian, Alizter kembali fokus menatap kedepan. Membalas senyuman dari Morin juga sulit dilakukan.

"Mungkin aku bisa bantu?" Morin kembali berucap. Lagat Alizter yang tidak seperti hari-hari biasanya turut membuat Morin gelisah.

Sorot mata Alizter kini menangkap ekor mata Morin. Mereka saling menatap dalam diam. Morin mengangguk kecil tanda dirinya sudah siap mendengarkan Alizter bersuara.

"Aku mau tanya, seberapa deket Fio dengan anak laki-laki itu?"

"Deket sih kayaknya, dia juga sering menjemput Fio kalau mau berangkat sekolah."

"Aku khawatir," ucap Alizter lirih.

"Emang kenapa? Ada apa?" tanya Morin mulai panik. Nada suara Alizter memang terdengar seakan keadaan sangat buruk.

"Pesan itu kembali datang. Aku harus mulai mencari siapa si pelaku dibaliknya. Ini harus cepat diselesaikan. Nyawa Fio lah yang paling kita prioritaskan untuk saat ini."

"Kamu udah tahu siapa pelakunya, mas?" pekik Morin menatap Alizter dengan semu.

Alizter lantas menggeleng, "tapi entah kenapa pikiran aku tertuju pada Aksa. Aku bukannya menuduh dia, tapi entah kenapa setiap pesan itu muncul, otak Aku langsung merespons bahwa Aksa yang mengirimnya," seloroh Alizter dengan suara sendu sedikit sumbang.

"Kamu tahu siapa ayah dari anak tadi?" Sorot mata Alizter dapat menghunus dengan tajam kearah Morin. Perempuan itu ikut menatapnya tidak kalah sengit, ingin cepat-cepat tahu.

"Dia anaknya Aksa."

Perasaan terkejut seketika menyeruak di raga Morin. Dia terlihat syok tidak percaya. Mulutnya sedikit menganga.

"Aku takut ini adalah taktik yang Aksa pakai. Mungkin dia mencoba melukai Fio lewat anaknya. Aku takut hal itu akan terjadi."

***

Ucapan Papanya semalam masih membekas dipikiran Fio, mengingat hal itu kembali, dadanya terasa seperti ditusuk oleh besi yang sangat panas. Sakit. Fio merasa takut dengan adanya sesuatu yang belum ia tahu sebelumnya. Apalagi, pesan Alizter untuk dirinya. Fio tidak bisa melakukan itu, namun mau tidak mau Fio harus melakukannya. Ini demi keselamatan dirinya. Walaupun terasa berat untuk dijalani, tetapi Fio akan berusaha. Berusaha untuk menjalani dengan ikhlas. Tentu, hal seperti ini tidak mudah dilakukan oleh dirinya.

Fio ingin menangis lagi. Menangis sejadi-jadinya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak seperti ada beton yang menimpa dadanya. Baru saja dirinya mengalami kejadian sangat membahagiakan, kini kesedihan juga turut hadir kedalamnya. Fio memekik, menelan ludahnya yang terasa getir. Ini sangat tidak adil. Fio belum bisa menerimanya. Belum bisa menerima keadaan yang benar-benar sangat pahit.

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang