BAGIAN 31

5.6K 255 2
                                    

TERLALU malas untuk mengucapkan sesuatu, tidak seperti biasanya yang selalu cerewet dan membuat bising. Kini keadaan hanya diliputi suara mesin kendaraan yang membelah kota metrapolitan ini. Fio hanya diam, tidak banyak bicara.

Zafi melirik Fio dari spion kaca motornya, "lo sebenarnya nggak mau pulang sama gue?"

Fio melirik wajah Zafi dari arah spion itu, namun arah pandangan Zafi sudah kembali fokus ke jalanan didepan sana.

"Nggak," ucap Fio lirih nyaris tidak terdengar.

Deru suara dari knalpot motor Zafi mulai mengecil karena cowok itu memelankan tancapan gasnya. Dengan gerak cepat, dia langsung menepi untuk berhenti. Zafi melepas helm yang berwarna senada dengan motor yang dikenakannya. Sontak cowok itu memandangi Fio dalam diam.

Fio tahu, yang kini dilakukanny pasti membuat Zafi berpikiran aneh. Ya, Fio sadar akan hal itu. Zafi memberhentikan motor pasti karena tidak nyaman dengan Fio sekarang. Sudah pasti semua orang akan beranggapan aneh jika kita berperilaku tidak seperti hari-hari biasanya.

"Lo kenapa? sekarang lo ngomong jujur sama gue." Zafi berucap sedikit meninggikan suara.

"Tatap mata gue. Gue paling nggak suka sama orang jika diajak ngomong malah buang muka seperti apa yang lo lakukan sekarang," raung Zafi setelah itu.

Dengan tampang wajah yang ragu, Fio mulai mendongak mengangkat dagunya. Dia menatap Zafi lekat.

"G--gue belum ngabarin Papa kalau gue pulang bareng sama lo." Fio kembali menundukkan kepala. Kenapa dia sekarang jadi lemah begini?

Zafi membenarkan posisiny agar lebih nyaman, "oh ... gue pinjem ponsel lo boleh?"

Cewek itu tersentak, "buat apa? Mau main mobile legend? Gue nggak ada kuota!" ujar Fio cepat tanpa ada jeda sedikitpun. Matanya juga melotot lebar. 

"Buruan! Nggak usah banyak omong. Tadi kayaknya juga diem aja. Apa obat yang lo minum udah bereaksi?"

Mulut Fio menggerutu. Hanya bibir tipis itu sedari tadi bergerak naik turun. Ia mengambil tas dari punggungnya dan menarik resleting. Benda berbentuk persegi panjang pipih berwarna putih Fio ambil dan langsung menyerahkannya kepada Zafi. Fio tidak suka itu dan sebenarnya sangat malas menyerahkan ponselnya kepada Zafi.

Tangan Zafi langsung bergerak dan menyerobot ponsel dari genggaman tangan Fio. Cewek itu hanya melolot. Jari jari tangannya dengan lincah dan cekatan bergoyang-goyang diatas keyborard.  Zafi meletakkan ponsel itu ditelinga.

"Hallo om? Ini saya temen Fio. Om nggak usah jemput anak om ya? karena dia udah bersama saya. Dijamin seratus persen Fio bakal pulang dengan selamat tanpa lecet sedikitpun. Udah dulu om, saya pamit."

Zafi mematikan sambungan itu dan langsung menyerahkan ponselnya kepada Fio. "Nih, gue udah ngomong sama bokap lo."

"Gila lo! Gue bisa hubungin Papa sendiri. Papa pasti mikir yang aneh-aneh nih sama gue," pekik Fio seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Ia masih takut sendiri membayangkan reaksi papanya nanti ketika dirinya pulang bareng Zafi.

Bisa mati Fio!

"Udah, buruan naik lagi. Gue anter lo pulang sampai depan rumah." Zafi memakai helmnya kembali.

"Tunggu! Gue mau ngomong sama lo bentar. "

"Apa?"

"Emm... itu, soal...itu. emm...."

Zafi semakin greget, "ngomong apa sih lo? am-em am-em mulu. Lo mau pipis?"

Fio langsung mencubit lengan Zafi, "ih apaan sih? Gue cuma mau ngomong soal itu, emm ... soal yang ini."

"Males gue dengerin lo ngomong kayak gitu. Kenapa lo jadi gagu begini? Asal lo tahu, gue nggak suka apa yang lo lakuin itu!" pekik Zafi keras-keras. Cowok itu benar-benar sangat pemarah dan tidak sabaran.

Udara disekeliling Fio tersedot masuk kedalam lubang hidungnya. Lalu ia mengembuskannya kembali dengan lewat mulut, "kenapa lo tiba-tiba ngajak pulang bareng gue? Kenapa lo ngasih gue cokelat? Dan kenapa lo mendadak perhatian gini?" ucapnya dengan cepat.

Bulu kuduk Fio meremang, cewek itu tidak yakin telah mengucapkan kata seperti itu. Kedua matanya ditutup sekejap, Fio terlalu takut untuk membuka matanya kembali. Menyesal. Satu kata yang kini mewakili raganya. Fio seharusnya tidak usah menanyakan hal bodoh seperti itu.

"Gue merasa nggak nyaman dengar ucapan lo itu. Gue curiga kalau lo belum baca surat yang gue kasih, apa tebakan gue itu benar?"

Suasana hening setelah itu, sesaat Fio tidak berani mengucapkan kata lagi. Cowok itu selalu bisa membalas ucapan Fio dengan cepat tanpa berpikir terlebih dahulu. Fio tidak mau itu.

"Astaga! Papa sebentar lagi pulang, ayo buruan jalan!" Fio menepuk pundak Zafi supaya cepat menancapkan pedal gas motornya. Fio tidak ingin menjawab pertanyaan Zafi barusan.

***

Lagi dan lagi. Tidak jarang sepulang sekolah pasti Zafi disuguhkan dengan pandangan tidak mengenakan. Siapa lagi jika bukan perempuan sialan yang terus menggoda Papanya. Pikiran Zafi sudah bulat bahwa Maya merupakan perempuan matre. Sudah terlihat dari cara berpakaiannnya. Apalagi ditambah dengan bibir yang diberli lipstik hingga berwarna sangat merah merona. Perhiasan yang berkilap saling bergerombol dikedua pergelangan tangannya.

Seperyi biasa, Zafi tidak menghiraukan dan langsung menaiki tangga menuju kamar. Entah apapun yang akan Aksa katakan, Zafi tidak ingin mendengarnya lagi. Terlebih jika Papanya itu selalu menyangkut pautkan dengan Maya. Hal itu hanya membuat Zafi semakin kesal.

"Kalau mau dibilang anak baik, setelah buka pintu, seorang anak harus  mengucapkan salam dan mencium tangan orang tuanya."

Sepenggal kata yang disuguhkan Aksa berhasil membuat langkah lebar Zafi terhenti. Cowok itu memejamkan matanya, tubuhnya tidak berbalik menatap sosok Aksa itu. Telapak tangannya mengepal. Lantas, cowok itu kembali maju untuk pergi ke kamarnya.

***

"Papa boleh ngomong sama kamu sebentar?"

Fio berhenti mengunyah makanan yang sudah berlumat didalam mulutnya. Pipi kanan kirinya terlihat menggemuk. Cewek itu juga melepaskan sendok dari tangannya. Tujuannya kali ini hanya mendengarkan Alizter mengutarakan sesuatu.

"Tadi yang nelpon Papa bener temen kamu?" tanya Alizter, wajahnya yang datar dan kelewat terus mematri ke arah Fio.

Mendengar kata seperti itu, Fio kembali mengunyah makanan yang sempat terjerat didalam mulutnya. Ia menelannya dan mengambil segelas air putih yang berada tidak jauh dari sana. Fio meminumnya sedikit.

"Iya pa, dia temen Fio kok, dia yang nelpon papa." jawab Fio jujur sambil menelan ludahnya.

Satu suapan sendok masuk ke dalam mulutnya lagi, "kenapa yang ngomong teman kamu. Apa kamu takut sama Papa?" timpal Morin.

Fio menggelengkan kepalanya kencang, "nggak! Fio nggak nyuruh dia kok. Dia tiba-tiba pinjem ponsel aku. Tadinya Fio sendiri juga nggak tahu kalau dia mau nelpon Papa."

Alizter dan Morin mengangguk secara bersamaan. Perempuan yang masih terlihat muda itu menatap anaknya dengan seukir senyum keluar dari sana. Fio ikut mengeluarkan senyuman yang paling indah.

"Kenapa yang ngomong sama Papa cowok?"

***

Zafio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang