Selama satu bulan Jeongyeon kembali berjuang untuk studi akhirnya. Bahkan karena kesibukan ini terkadang Jeongyeon lupa menghubungi Ayahnya. Pagi hingga Siang Jeongyeon harus menyelesaikan tugas-tugas akhirnya. Setelah itu menjelang sore ia harus melakukan kerja parah waktunya untuk menambah keuangannya. Malamnya Jeongyeon akan membantu Frau Baur di Kedai Kopinya. Ia tak tega melihat wanita paruh baya itu bekerja sendirian dari pagi hingga malam. Frau Baur juga banyak membantunya. Makanya Jeonyeon pun harus banyak membantu Frau Baur. Dari awal Jeongyeon bekerja di Kedai Kopi Frau Baur dengan sukarela. Ia benar-benar tak pernah mengharapkan imbalan apapun. Tapi semenjak tiga tahun terakhir ini, Frau Baur mulai memberikannya Uang. Awalnya Jeongyeon selalu menolak. Bahkan ia sudah memakai seribu cara untuk tidak mengambil uang itu tapi pada akhirnya ia kalah karena Frau Baur mengancam tak mengizinkannya lagi bekerja di Kedainya. Jeongyeon pun tak punya pilihan lain. Kerja parah waktunya saat sore hari sudah ia perhitungkan dan gajinya sudah lebih dari cukup untuk dirinya selama sebulan. Gaji yang Frau Baur berikan berakhir tak pernah ia pakai dan hanya ia tabung sejak tiga tahun lalu. Lagipula Ayahnya masih sering mengirimkan uang walaupun jumlahnya tak banyak. Jeongyeon beranggapan jika ada keadaan darurat, Uang itulah yang dapat Jeongyeon pakai.
"Tenang... tenang...." kata Jeongyeon menenangkan dirinya karena sangat gugup. Inilah saatnya. Detik-detik terakhir perjuangannya studi mati-matian di Jerman. Inilah gerbang utamanya melangkah ke kehidupan yang lebih tinggi lagi dan ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan perdananya. Jeongyeon benar-benar sudah siap dan ia menyerahkan semuannya pada yang Diatas sana. Ia sudah berusaha sebaik mungkin.
"Nächste (selanjutnya).... Yoo Jeongyeon" panggilan untuk nama Jeongyeon.
Jeongyeon pun akhirnya berdiri. Setelah menunggi cukup lama di ruang tunggu akhirnya nama Jeongyeon dipanggil.
"Alles ist fertig (semua sudah siap).... Viel Glück( semoga beruntung)" kata Professor yang bertugas memanggil-manggil Anak untuk masuk ke ruang penilaian.
"Danke (Terima Kasih) Herr Kovwalksi" kata Jeongyeon cepat berterimakasih pada Professor Kovwalksi.
Sebuah pesan seketika masuk di teleponnya. Awalnya Jeongyeon ingin mengabaikannya tapi entah kenapa tangannya bergerak langsung mengapai telepon di saku celananya. Seketika Jeongyeon langsung terhenti mematung saat membaca pesan tersebut. Nafasnya tercekat. Seketika semua terasa sesak. Badannya bergetar.
Dunia Jeongyeon langsung berhenti begitu saja saat membaca pesan dari supir Appa, Pak Kang yang sudah menemani Appa sejak Appa masih bekerja di Park Company hingga sekarang. Appa memang sudah tidak bisa membawa mobil lagi sejak kakinya mulai sering sakit."Yoo Jeongyeon" panggil Herr Kovwalksi lagi karena Jeongyeon seketika berhenti tepat di pintu masuk.
Tapi Jeongyeon seketika tak bisa mendengar apa-apa. Matanya mulai membendung air mata yang tak pernah ia keluarkan lagi semenjak beberapa tahun ini karena Jeongyeon merasakan semuanya sudah sempurna. Hidupnya sudah sangat sempurna tapi ternyata tidak. Jeongyeon pun langsung berlari keluar dari gedung itu. Ia berlari dan berlari. Dengan kecepatan penuh ia menuju ke rumahnya mengambil barang-barang penting dan langsung keluar begitu saja. Semuanya sudah Jeongyeon tak pedulikan. Ia hanya memikirkan satu orang dalam kepalanya saat ini. Seseorang yang merupakan kehidupannya selama ini. Tujuan hidupnya mencapai semua ini dan berjuang sejauh ini untuk hidup. Alasannya melanjutkan hidupnya yang menurut Jeongyeon sangat buruk. Jeongyeon pun langsung memanggil Taxi dan masuk.
"Guten Tag. Fahren Sie mich zum Flughafen Aachen bitte (Selamat Siang, Tolong ke Bandara Aachen)" kata Jeongyeon cepat.
"Guten Tag (Selamat siang). Flughafen Aachen (Bandara Aachen). Okey" kata pengemudi taxi itu.
Jeongyeon terduduk dengan cemas. Ia tak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Tujuannya hanya satu saat ini. Korea. Ia harus pulang ke Korea saat ini. Jeongyeon kembali membuka pesan Pak Kang dengan takut.
Pak Kang:
Selamat malam Nona Jeongyeon. Saya hanya mau bilang Tuan Yoo sekarang dalam keadaan kritis di Rumah Sakit Seoul. Saya tidak tahu jelas bagaimana kondisi Tuan Yoo tapi yang saya tahu Tuan Yoo selama ini mengidap penyakit Kanker Paru-paru.Kanker paru-paru? Kalimat terakhir dari pesan Pak Kang terus saja berkeliaran di kepala Jeongyeon dan membuat kepalanya sakit. Ia masih merasa semuanya tidak mungkin terjadi. Jeongyeon masih belum percaya jika belum melihatnya dengan mata kepalanya langsung. Pak Kang bisa saja bohong tapi entah kenapa Jeongyeong tetap tidak bisa membendung air matanya. Ia bahkan meninggalkan semua mimpinya disini. Ia tidak tahu bagaimana jadinya nanti kehidupannya tapi untuk sekarang jika Pak Kang benar, Jeongyeon hanya tidak mau semuanya terlambat. Ia harus menemui Appa sekarang.
"Bist du in Ordnung (Semua baik-baik saja), Miss???" Tanya pengemudi Taxi itu kepada Jeongyeon yang terus saja mengeluarkan air matanya sedih.
"Ja (ya). Alles ist Gut (Semua baik-baik saja)" kata Jeongyeon sambil menundukkan kepalanya dan menyeka air matanya yang terus saja jatuh.
Setelah sampai di bandara Jeongyeon kembali berlari dan membeli tiket pesawat yang tercepat. Ia tidak peduli mau semahal apa yang jelas ia harus sampai di Korea secepat mungkin.
"Appa... Jeongyeon pulang" kata Jeongyeon setelah sampai di bandara Korea Selatan. Ia menitihkan air matanya. Setelah hampir 8 jam di pesawat Jeongyeon akhirnya dapat sampai dengan selamat. Jeongyoen pun langsung berlari keluar dari bandara Incheon dan mencari taxi lalu langsung menuju ke rumah sakit Seoul.
Rumah Sakit Seoul. Jeongyeon sudah berada di Lobby rumah sakit besar itu. Jeongyeon pun langsung berlari menuju ruang resepsionis.
"Anyonghaseyo kamar Yoo Jeongjin ada dimana??" Tanya Jeongyeon cepat.
"Tuan Yoo Jeongjin ada di lantai tujug nomor 304" kata Resepsionis itu.
"Kamshamida" kata Jeongyeon membungkuk dan kembali berlari ke lift.
Saat sampai Jeongyeon dapat melihat Pak Kang yang menunggu didepan pintu kamar. Jeongyeon tanpa basa-basi langsung masuk dan betapa kagetnya dia saat melihat Ayahnya sedang duduk di kasurnya sambil membaca koran.
"APPA!!!!" Teriak Jeongyeon langsung berlari dan memeluk Ayahnya.
"Aigoooo.... Aigooo.... anakku telah pulang" kata Jeongjin memeluk anaknya kuat.
"Appa... Appa Gwenchana??? Appa tidak sakit kan???" Tanya Jeongyeon cepat sambil mengakhiri pelukan mereka.
"Kanker paru-paru.... Pak Kang bohong kan.... Appa baik-baik saja kan???" Kata Jeongyeon lagi.
Jeongjin tersenyum. Ia tahu ia tidak bisa menyembunyikannya lagi dari anaknya.
"Tentu saja Appa baik-baik saja sekarang....." kata Jeongjin tersenyum pada anaknya yang terus saja memandangnya khawatir.
"Tapi Pak Kang tidak bohong Jeongyeon-aa" lanjut Jeongjin.
"Maksud Appa??? Appa kumohonnn" kata Jeongyeon mulai mengluarkan air matanya lagi karena tak kuasa menahannya.
"Tidakkk... tidakk boleh" kata Jeongyeon diselak tangisnya. Ia menggelengkan kepalanya tak mau percaya.
"Tidak.... tidak mungkin" kata Jeongyeon sambil menangis keras.
Jeongjin pun ikut menitihkan air matanya. Ia kembali merangkul anaknya memberi kekuatan.
"Mianhae" kata Jeongjin sekuat tenaga menahan air matanya. Entah kenapa ia sangat merasa bersalah pada anaknya itu.
"Mianhae Jeongyeon-aa"
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOISE ✅
FanfictionJeongyeon terpaksa menerima perjodohan yang diatur Ayahnya dengan Anak teman Ayahnya yang ternyata merupakan temannya juga saat masih bangku Sekolah. Tujuan utamanya hanya membahagiakan Ayahnya. Maka dari itu ia menerimanya dengan lapang dada. Ia h...