Keesokan pagi Jeongyeon merasakan kepalanya yang sangat kesakitan. Perlahan ia membuka matanya. Dia melihat semuanya berwarna putih. Seketika ia merasakan nyeri di tangannya. Jeongyeon pun sadar jika itu adalah infus. Dirinya di infus.
"Kau sudah bangun???" Suara seseorang menginterupsinya.
"Appa???" Kata Jeongyeon kaget. Apa semua ini mimpi?? Appanya terlihat baik-baik saja sekarang. Ia bahkan sekarang dapat berjalan dengan baik.
"Kau sudah baikan??" Tanya Jeongjin pada anaknya lagi.
"Aku memangnya kenapa???" Tanya Jeongyeon tak mengerti maksud Appanya.
"Kemarin kau pingsan.... saat sampai disini... kata dokter kau terlalu kelelahan dan stress" kata Jeongjin cepat.
"Dokter juga bilang perutmu belum diisi apapun" kata Jeongjin lagi.
"Kau ini! tak pernah berubah selalu lupa makan jika terjadi sesuatu... perhatikanlah dirimu sendiri baru orang lain" kata Jeongjin memarahi anaknya.
"Bagaimana bisa kau lupa makan??? Apa Appa harus terus memberitahumu?? Apa umurmu tidak cukup tua untuk selalu disuruh makan??? Bagaimana jika Appa sudah tidak bisa lagi memberitahumu makan lag..." belum selesai Jeongjin menyelesaikan perkataannya, ia pun seketika melihat kearah Jeongyeon yang seketika terisak kecil.
Jeongyeon menundukkan kepalanya. Ternyata semuanya bukanlah mimpi. Ia benar-benar ingin itu hanya mimpi. Jeongyeon kembali merebahkan tubuhnya yang seketika tertusuk jarum karena mendengar perkataan Ayahnya. Ia memutar badan memunggungi Ayahnya dan melihat kearah Jendela. Jeongyeon tidak mau Ayahnya melihatnya kembali bersedih.
Jeongjin menghembuskan napasnya panjang. Ia tahu jika kejadian kemarin terlalu membuat shock Jeongyeon. Ia pun sama saat pertama kali mendengarnya. Ia bukan memikirkan dirinya akan bagaimana tapi ia memikirkan Jeongyeon yang akan bagaimana jika tidak ada dirinya. Hidup Jeongyeon sudah sulit. Dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu pasti membuat Jeongyeon sedih juga. Ia pasti iri dengan teman-teman lainnya yang memiliki ibu. Tapi Jeongyeon tak pernah mengeluh padanya. Ia selalu menerimanya. Bahkan dirinya tak bisa memberikan Jeongyeon barang-barang mewah seperti yang dimiliki anak perempuan biasanya, Jeongyeon juga tak pernah marah. Jeongyeon tidak pernah meminta apapun padanya. Ia selalu menjadi anak yang penurut.
"Jeongyeon" panggil Jeongjin melihat punggung anaknya yang bergetar menandakkan dirinya sedang menahan tangisnya.
"Setahun yang lalu.... Appa sering merasakan sakit saat bernapas... Appa kira itu wajar karena Appa semakin tua tapi waktu itu Appa merasakan sakit yang tak terhenti hingga akhirnya Appa pingsan...." kata Jeongjin terhenti sejenak mengambil napas. Ia tak tega menceritakannya pada Jeongyeon tapi ia harus melakukannya. Sebelum Jeongyeon kembali tersakiti karena dirinya.
"Saat Appa bangun, Appa sudah berada di rumah sakit.... Dokter pun datang dan memberitahu keadaan Appa.... mereka bilang jika Appa mengidap penyakit Kanker Paru-paru stadium dua" kata Jeongjin kembali mengambil napasnya dan menitihkan air matanya.
"Awalnya Appa tak percaya tapi sebuah bukti tertulis membuat Appa menyadarinya jika semua itu benar... saat itu Appa sangat merasakan kesakitan bukan karena mengetahui penyakit itu atau merasakan rasa sakit karena penyakit itu tapi Appa menangis karena mengingat dirimu" kata Jeongjin tak kuasa menahan tangisnya lagi.
"Apa Jeongyeon akan makan tepat waktu? Apa Jeongyeon akan tidur tepat waktu?? Apa Jeongyeon Sakit?? Apa ada yang akan menemaninya saat sakit?? Apa Jeongyeon akan merasa kesepian?? Apa yang akan Jeongyeon lakukan tanpa Appanya???" Kata Jeongjin kembali menangis sejadi-jadinya. Ia juga tidak bisa menyembunyikannya lagi dari anaknya. Lebih baik ia tahu sekarang disaat dia dapat melihat sendiri anaknya menangis didepannya lalu memeluknya memberi kekuatan daripada melihatnya dari atas tanpa bisa melakukan apapun.
"Apa Jeongyeon akan baik-baik saja jika Appanya pergi untuk selamanya" kata Jeongjin menangis keras. Ia juga tak kuasa menahan tangisnya jika mengingat semua kata-kata itu. Yang terus saja melayang dikepalanya semenjak penyakit itu tertanam dalam tubuhnya.
Jeongyeon terus saja menitihkan air matanya. Tapi ia masih menahan isakannya tidak mau Appanya mendegarnya. Ia juga tidak bisa melihat Ayahnya menangis itu sama saja menyakiti dirinya.
"Maka dari itu, Appa bertekad untuk sembuh dengan melakukan semua yang disarankan Dokter.... dokter juga bilang jika Appa masih ada harapan untuk bertahan..." kata Jeongjin cepat sambil menyeka air matanya.
"Jadi Appa mohon jangan menyerah untuk Appa juga" kata Jeongjin bangkit berdiri dan mengusap kepala anaknya dan berjalan keluar dari ruang rawat itu.
Setelah Jeongjin keluar, Jeongyeon pun langsung terisak keras. Ia menangis sejadi-jadinya di kamar itu. Ia menangis sangat keras didalam ruangan itu. Tidak ada yang melihat tapi ruangan itu menjadi saksi bisu tangisan keras Jeongyeon.
"Apppaaa!!!" Kata Jeongyeon disela tangisnya.
"Andweeee" kata Jeongyeon kesal. Ia tidak tahu kesal dengan siapa. Tapi sekarang entah kenapa ia marah. Ia menangis tak kuat menahan sakitnya dirinya mendengar perkataan Appanya. Ia hanya punya Appanya tapi kenapa juga Tuhan juga mengambilnya dari sisinya disaat Tuhan telah memanggil ibunya juga.
Jeongyeon mencengkram kepalanya yang terasa tertusuk-tusuk sakit. Semua terjadi begitu saja dan itu bukan hanya menyakiti dirinya tapi seluruh tubuhnya. Seketika Jeongyeon merasakan hidupnya hancur dalam sedetik.
"APPPAAAA!!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOISE ✅
FanfictionJeongyeon terpaksa menerima perjodohan yang diatur Ayahnya dengan Anak teman Ayahnya yang ternyata merupakan temannya juga saat masih bangku Sekolah. Tujuan utamanya hanya membahagiakan Ayahnya. Maka dari itu ia menerimanya dengan lapang dada. Ia h...