10

1.4K 172 3
                                    

Beberapa menit kemudian, Jeongyeon seketika memberhentikam permainannya. Ia melihat pesan masuk di teleponnya. Jeongyeon awalnya tak percaya tapi saat pesan kedua masuk Jeongyeon langsung bangkit berdiri dan berlari keluar dari rumah Seok Jin dan Nayeon.

"Nayeon... Seok Jin Oppa.... maaf sekali tapi aku harus segera pulang" kata Jeongyeon pamit pada Nayeon dan Seok Jin yang masih terdiam karena Jeongyeon seketika berhenti memainkan permainan. Jeongyeon dengan sekuat tenaga manahan tangisnya. Ia langsung menuju ke rumah sakit.

Jeongyeon pun sampai di rumah sakit. Ia langsung berlari menuju kamar rawat Appanya. Tadi Jeongyeon mendapat pesan dari Dr. Park Jinyoung yang mengatakan jika Appanya sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa.

"Appaaaa!!!!" Teriak Jeongyeon saat sampai dan melihat Appanya sedang duduk dan berbincang kecil dengan Dr. Park Jinyoung yang ada disebelah.

"Oh!! Jeongyeon kau sudah sampai" kata Dr. Park Jinyoung melihat Kearah Jeongyeon.

"Karena Jeongyeon sudah sampai... aku pamit melihat pasienku yang lain..." kata Dr. Park pamit.

Dan disinilah Jeongyeon dan Jeongjin kembali berdua di ruangan rawat. Jeongyeon pun berjalan mendekat lalu langsung memeluk Appanya.

"Tenang... Appa sudah baik-baik saja" kata Jeongjin pada Anaknya yang terisak kecil.

Jeongyeon pun menghapus air matanya. Ia tidak mau terlihat sedih didepan Appanya. Ia harus kuat supaya Appanya juga kuat.

Jeongyeon pun melepaskan pelukannya dan menatap Jeongjin sebentar lalu kembali mulai merapikan barang-barang di kamar rawat. Mata Jeongyeon pun tertuju pada sebuah bingkisan besar di sofa.

"Appa... bingkisan itu dari siapa???" Tanya Jeongyeon.

"Ohh itu... dari Paman dan Bibi Park" balas Jeongjin cepat.

"Paman dan Bibi datang???" Tanya Jeongyeon membuka bingkisan itu.

"Iyaa..... Saat kau datang beberapa menit yang lalu mereka baru pulang" kata Jeongjin menjelaskan.

"Jeongyeon-aa...." panggil Jeongjin pada anaknya yang masih memperhatikam bingkisan itu.

"Nee..." jawab Jeongyeon cepat melihat kearah Appanya yang masih terbaring di atas tempat tidur.

"Tentang pembicaraan kita di Kedai kemarin...." kata Jeongjin menjeda kalimatnya dan melihat reaksi anaknya sejenak.

"Aku akan melakukannya..." balas Jeongyeon cepat.

"Jeongyoen-aaa.... Appa tahu kau tak menginginka..."

"Tidakkk... waktu itu aku tidak berpikir dengan baik..... Park Jimin bukan???"

"Dia anaknya Paman dan Bibi Park" kata Jeongyeon cepat.

"Dia teman sekolahku.... Aku pasti akan senang bersamanya" kata Jeongyeon bohong. Karena pada kenyataannya ia tidak tahu itu. Ia tahu Jimin Anaknya Paman dan Bibi Park saat melihat ke bingkisan tadi. Ada nama Jimin disana.

"Appa... tenang saja.... mulai sekarang Appa hanya perlu menjaga kesehatan Appa" kata Jeongyeon memegang tangan Appanya.

"Aku akan baik-baik saja...." kata Jeongyeon tersenyum memaksa. Ia hanya ingin terbaik untuk Appanya dan jika ini juga salah satunya hal yang dapat membahagiakan Appanya, Jeongyeon akan melakukannya. Ia akan melakukannya walaupun ia juga tersakiti pada nantinya. Jeongyeon akan melakukannya. Ia sekarang hanya bisa berharap Jimin mau menerimanya.

"Appa senang dengarnya sekarang.... besok bertemulah dengannya.... Bibi Park akan mengirim alamat tempat bertemunya" kata Jeongjin terlihat begitu senang.

Jeongyeon membeku sejenak. Ia begitu kaget mendengarnya. Bagaimana bisa secepat ini.

"Appa sekarang beristirahatlah" kata Jeongyeon menyelimuti Appanya.

Jeongyeon pun menghembuskan napas panjang. Diluar ada Pak Kang, Supir Jeongjin sekaligus asisten yang setia menemani Jeongjin. Jeongyeon menyuruhnya Masuk dan menjaga Appa didalam.

"Pak Kang... aku pamit ke Kedai.... tolong jaga Appa sebentar..." kata Jeongyeon sambil  membungkukkan badan lalu berjalan pergi.

Jeongyeon kembali berjalan menyusuri kota Seoul yang begitu besar. Ia memamg memilik kendaraan pribadi tapi ia lebih menyukai naik Bus dan berjalan kaki. Sesekali Jeongyeon menghembuskan napas panjang. Udara memang lumayan dingin. Jeongyeon terkadang menggosok-gosok kedua tangannya.

"Jeongyeon-aa"

Sebuah suara menyadarkan Jeongyeon dari lamunannya. Itu JiHyo.

"Ohhh Jihyo...." Panggil Jeongyeon sambil berjalan mendekat.

"Bagaimana keadaan Paman???" Tanya Jihyo cepat.

"Dia sudah sadar" kata Jeongyeon tersenyum kecil.

"Untunglah.... kau sendiri??" Tanya Jihyo lagi melihat kearah Jeongyeon.

"Aku???? Maksudmu???" Tanya Jeongyeon tak mengerti.

"Iya kauu... bagaimana keadaanmu??? Kau terlihat sangat berantakan saat Paman kembali pingsan" kata Jihyo lagi.

"Aku.... tentu saja baik...." kata Jeongyeon cepat.

"Begitu??? Tapi wajahmu mengatakan tidak" kata Jihyo merasakan perubahan wajah Jeongyeon yang terlihat murung.

"Apa ada yang kau pikirkan??" Tanya Jihyo khawatir.

"Tentu saja tidak" kata Jeongyeon berbohong karena ia terus sama memikirkan perjodohannya dengan Jimin. Jeongyeon benar-benar takut. Ia takut Jimin tak menyukainya. Jeongyeon mengingat Jimin. Ia bahkan sangat mengingatnya. Bagaimana tidak, Jimin adalah seorang laki-laki populer di sekolahnya. Ia pintar dan tampan. Semua wanita selalu mengejar-ngejarnya. Semua orang juga menyukainya. Jeongyeon bahkan selalu sekelas dengannya selama tiga tahun. Jimin dan Jeongyeon sangatlah berbeda. Jeongyeon bisa dibilang sangatlah bertolak belakang dengan Jimin.

"Kajja kita masuk" kata Jeongyeon saat berada didepan Kedai Yoo.

Mereka pun kembali ke perkerjaan masing-masing. Setelah selesai, Jeongyeon menutup Kedai Yoo dan berjalan kembali menuju rumah sakit. Jelas saja ia akan tinggal disana menemani ayahnya yang masih dirawat. Langkah terhenti saat merasakan getaran disaku celananya. Jeongyeon pun melihatnya. Tidak ada nama dari penelpon, Jeongyeon juga tak mengenal nomornya. Biasanya jika seperti ini Jeongyeon akan langsung mematikannya tapi entah kenapa tangannya bertindak kebalikannya.

"Anyonghaseyo" sapa Jeongyeon sopan.

"Ini Jeongyeon??"

"Ya... Saya Jeongyeon" jawab Jeongyeon ragu.

"Jeongyeon-aa ini Bibi Park..."

"Ohh Anyonghaseyo Imoo" kata Jeongyeon cepat.

"Bibi senang sekali kamu mau menyetujui perjodohan ini"

"Akhirnya bibi bisa memiliki anak perempuan baik dan cantik sepertimu"

"Tidak bibi.... Bibi juga cantik" kata Jeongyeon tak enak.

"Besok siang makanlah bersama Jimin bibi akan kirimkan alamat tempatnya...."

Jeongyeon terdiam tak tahu harus berkata apa. Kenapa harus secepat ini?

"Bibi tutup dulu.... nanti kita bicara lagi"

Sambungan pun terputus sepihak. Jeongyeon menghembuskan napas lemas. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Ia kembali berjalan lagi. Jimin. Nama itu terus saja berputar dikepala Jeongyeon. Jeongyeon tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Jujur, Jeongyeon tak berharap lebih dari perjodohan ini. Jeongyeon hanya takut jika dirinya berakhir sakit hati karena perjodohan ini. Ya, Jeongyeon takut.

CHOISE ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang