Jeongyeon sekarang berada di sebuah cafe di tengah kota Seoul. Tidak banyak orang disana. Jeongyeon sudah duduk disana selama 30 menit. Ya, inilah tempat Bibi Park menyuruhnya datang. Jeongyeon belum juga melihat tanda-tanda kedatangan Jimin. Ia sudah duduk didekat kaca yang memperlihatkan pemadangan jalanan yang ramai. Ia memilih disana supaya dirinya bisa bersiap jika Jimin terlihat.
Bibi Park juga sudah memberikan nomor Jimin tapi Jeongyeon tak berani menelponnya. Ia benar-benar tak punya keberanian akan itu. Waktu terus berjalan dan Jeongyeon sudah duduk disana hampir dua jam tapi Jimin belum juga datang. Jeongyeon menghembuskan napasnya lemas. ia memang harusnya tak berharap lebih dengan datang kesini. Jimin pasti tak akan mau bertemu dengannya. Tapi entah kenapa kaki Jeongyeon tetap enggan untuk beranjak dari tempat itu. Apa ia sekarang berharap Jimin akan datang?
"Permisi Nona..." Suara pelayan mengalihkan lamunan Jeongyeon.
"Ne..."
"Maaf Nona.. tapi sejak Anda datang, Anda belum memesan apapun..." kata pelayan itu mengantungkan kalimatnya.
"Ahh!! Maaf... aku sedang menunggu seseorang... boleh aku minta air hangat saja?" Kata Jeongyeon tak enak.
"baiklah" Kata pelayan itu pergi meninggalkan Jimin.
Jeongyeon kembali terdiam sambil melihat kearah jalanan lagi. Waktu semakin sore dan Jeongyeon harus menjemput Ayahnya yang hari ini boleh pulang. Tepat setelah menungga selama tiga jam, Jeongyeon memutuskan untuk pulang. Ia harus menemui Ayahnya sekarang.
.
.
.
.Jimin, laki-laki itu keluar dari kantornya sekitar jam tujuh malam. ia memang sudah menyelesaikan semua tugasnya hari ini dan berniat pulang cepat lalu mengistirahatkan kepalanya yang sakit. Apalagi sekarang kepalanya juga dipenuhi dengan ide gila ibunya kemarin malam. Kemarin malam dengan mudahnya ibunya bilang jika dirinya akan dijodohkan dengan wanita pilihan ibunya. lalu saat menceritakan perempuan pilihan ibunya ternyata adalah Yoo Jeongyeon, temannya semasa sekolah yang gemuk, jelek dan sangatlah aneh. Walaupun kemarin Jimin sudah melihatnya dan Jeongyeon banyak berubah tapi tetap saja dirinya tidak mau dijodohkan seperti itu. Apalagi dengan wanita yang bahkan bukan tipenya sama sekali. Karena perjodohan ini pun Jimin dan ibunya kemarin berdebat hebat hingga berakhir Jimin kembali ke kantor dan lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya daripada berdebat dengan ibunya.
"Selamat Malam Tuan Park... Mobil Tuan sudah siap" kata seorang karyawan
Jimin mengangguk dan berjalan keluar dari kantornya. Ia pun masuk ke mobilnya dan langsung berjalan pergi. Sekilas ia melihat kearah teleponnya yang terus berdering tapi Jimin tak mau mengangkatnya. Ia yakin itu dari Ibunya yang ingin menanyakan tentang Makan Siang yang diaturnya tadi siang. Jika ditanya tentang itu, jelas sekali Jimin tidak bisa menjawab apa-apa karena dirinya tak datang ketempat dimana ibunya menyuruhnya. Ia bahkan mengundurkan meeting menjadi siang hari supaya dirinya bisa beralasan pada ibunya jika dirinya memiliki meeting yang sangat penting. Ya, Jimin akan melakukan apapun untuk menjauhkan dirinya dari perjodohan gila itu. Jimin pun memberhentikan mobilnya di sebuah Cafe yang tak ramai. Setelah memesan beberapa makanan dan minuman, Jimin pun duduk disebuah kursi. Beberapa menit kemudian makanan dan minuman pun datang.
"Permisi Tuan..." sebuah pelayan datang ke meja Jimin.
"Silahkan diminum..." kata pelayan itu memberikan segelas minuman pada Jimin.
"Maaf... tapi saya tidak memesan ini" kata Jimin cepat.
"Maaf Tuan.... memang bukan Anda yang memesannya tapi seorang wanita tadi siang" kata pelayan itu lagi.
"Apa maksudmu??" tanya Jimin tak mengerti.
"Tadi siang seoarang wanita yang datang kesini.... ia sepertinya menunggu seseorang dan sudah duduk selama tiga jam.... sebelum ia pergi ia menitipkan ini pada saya untuk memberikan pada seorang laki-laki bernama Park Jimin jika dia datang... ia juga menunjukkan saya foto Anda" kata pelayan itu menjelaskan. lalu dengan cepat ia beranjak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOISE ✅
FanfictionJeongyeon terpaksa menerima perjodohan yang diatur Ayahnya dengan Anak teman Ayahnya yang ternyata merupakan temannya juga saat masih bangku Sekolah. Tujuan utamanya hanya membahagiakan Ayahnya. Maka dari itu ia menerimanya dengan lapang dada. Ia h...