STILL BELIEVE

386 38 4
                                    


Langit senja menampilkan semburat jingga keunguan yang cantik sore itu. Im Yoona yang baru menyelesaikan kegiatannya didesak keinginan kuat untuk duduk sejenak di ayunan yang ada di taman itu. Padahal ibunya selalu berpesan padanya—jangan berkeliaran saat hari mulai petang. Banyak berandalan dan kawanannya—mulai dari yang kasat mata hingga tak kasat mata yang suka bekeliaran, katanya.

Yoona sudah terlanjur tersihir oleh ayunan berdudukan merah itu—yang bergoyang akibat angin sore yang bertiup pelan melewatinya—seolah sengaja memanggil Yoona untuk mendekat. Dan ketika Yoona duduk di ayunan tersebut dengan tubuh dan hati yang terlampau lelah, beberapa anak masih nampak bermain di dekatnya—di awasi oleh dua orang dewasa yang nampaknya orang tua mereka.

'Aku akan diam sebentar disini, toh masih ada banyak orang' Pikirnya setelah melihat anak-anak yang masih asik bermain bola di dekat bak pasir tak jauh darinya.

Iris sewarna madunya kemudian beralih menatap langit sore, beberapa awan masih terlihat di atas sana dan konyolnya tiba-tiba Yoona teringat perkataan Jinki—sepupu absurd-nya yang terkadang kelewat pandai menasehati. 'Kau harus percaya, tiap orang punya kelebihannya masing-masing. Begitu pula kurangnya. Kau tidak bisa sempurna dalam berbagai hal. Kau juga tidak bisa membuat semuanya menyukaimu. Dan jangan paksa dirimu.'

Yoona tahu ia seharusnya bersyukur—setidaknya, ia punya semua yang di butuhkannya. Tapi ia egois dan serakah, rasanya semua manusia memang terlahir dengan dua potensi itu. Ia masih mengeluh hanya karena tak punya tempat tersendiri dalam kehidupan lelaki itu, sekali pun tidak dihatinya. Demi Chikmie—ayam warna warni korban ombre milik Jinki sepupunya, patah hati dan mengharapkan sebuah keajaiban yang bisa membuatnya berpaling pada Yoona bukanlah sebuah criminal 'kan.

"Hei, nona cantik."

Yoona berjengit menatap mereka—berandalan kasat mata, dengan terburu-buru ia segera bangkit dan mencoba menyingkir menjauh. Ibunya benar, taman ini berbahaya saat malam hari. Dan Yoona memang kelewat bodoh untuk tidak mengindahkan itu.

"Hei, kenapa terburu-buru begitu? Kami tidak akan mengganggumu." Tapi saat ia hendak pergi menjauh salah satu dari dua orang bertato itu menangkap lengan kirinya dan menahannya untuk pergi.

"Lepaskan!" Yoona menggeliat tidak nyaman. Ya ampun, seharusnya ia tahu berkeliaran sendirian di malam hari itu memang tidak baik—mengundang bencana. Tapi, Yoona baru teringat sebuah pepatah bahwa penyesalan selalu datang belakangan.

"Galak sekali. Dengar, kami sedang ingin mengobrol dengan gadis cantik, dan kebetulan kau cantik. Jadi? Mau menemani kami?" ujar pria satunya lagi sambil semakin melebarkan cengirannya. Panik sekarang menggerayangi Yoona, bagaimanapun ia didesak keinginan untuk segera pergi dari sana dan menjauh.

"Kubilang lepaskan!" Gertaknya lagi sambil berusaha membebaskan lengannya yang ditahan.

"Sayang sekali. Jangan berontak seperti itu nona, kami juga tidak mau gadis cantik sepertimu memar-memar." Kini pria yang menahan lengannya semakin menariknya mendekat sambil tersenyum menakutkan. Dengan panik Yoona menendang, dan tendangannya dengan sukses membentur tulang kering pria yang memegangi tangannya.

"Ah! Sialan sial! Kemari kau!" Pria itu menggeram marah dan bersiap melayangkan tinju padanya.

Yoona terlalu syok untuk bereaksi—ia biasanya bisa bersikap galak dan setidaknya cukup bisa bela diri jika dibutuhkan. Tapi, hari ini kondisi mental dan fisiknya tidak terlalu baik. Jadi ketika ia melihat kepalan tinju itu dilayangkan padanya, Yoona hanya bisa memejamkan matanya rapat-rapat, bersiap menahan sakit yang akan diterimanya.

Tapi beberapa detik berselang dan Yoona tidak merasakan hantaman apapun mengenai wajahnya. Jadi dengan penasaran, ia pun membuka salah satu matanya untuk mengintip. Berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Dan punggung lebar seorang lelaki dengan seragam yang sama mendominasi penglihatannya.

THEORY OF EVERYTHINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang