Binaran mata gadis itu meredup. Tak bergairah. Tak bersemangat. Gadis yang biasa dipanggil Yoongie—lebih tepatnya diteriaki—oleh ibu tirinya itu hanya bisa memandang bosan kardus-kardus bersama tas-tas yang berserakan di ruangannya. Sungguh ia sebenarnya tak rela meninggalkan tempat ini. Tapi, omelan sang ibu tiri akan menjadi-jadi dan merusak kesehatan gendang telinganya jika ia tidak segera membereskan barang-barangnya.
"Mom, kau yakin akan membawaku juga?"
"Hm."
"Kenapa tidak meninggalkanku saja disini?"
"Kau mana bisa mengurus dirimu, setiap akan pergi ke sekolah saja kau susah di bangunkan. Pokoknya kau ikut denganku! Tidak usah banyak bicara cepat bereskan!"
"Cih, kau seperti ibu tiri saja."
"Aku memang ibu tirimu, nona Im Yoona."
"Hehe, aku lupa."
Lihat saja kelakuan ibu tirinya, menyebalkan dan suka mengatur. Sepeninggal ayahnya yang pergi untuk selama-selamanya setahun yang lalu, Yoona hanya hidup berdua bersama ibu tirinya. Ya, orang tua kandungnya telah bercerai sejak Yoona masih sangat kecil. Yoona hanya punya ayahnya saat mereka pergi ke Amerika hingga kemudian sang ayah menikah lagi dengan wanita yang mengurusnya sejak kecil itu. Wanita yang berkoar-koar bahwa dirinya adalah cinta sejati ayahnya. Dan, itu mungkin memang benar.
Ya, mau bagaimana lagi mungkin hanya ibu tirinya ini adalah kerabat terakhir tanpa hubungan darah yang mau mengurusnya. Yoona tidak mengenal keluarga dari pihak ayahnya, apalagi ibu kandungnya. Gadis itu bahkan tidak pernah tahu seperti apa wajah ibu kandungnya itu. Ia hanya tahu bahwa ibu kandungnya itu juga telah meninggal lima tahun kemudian setelah bercerai dengan sang ayah.
Jadi disinilah—kota Seoul, Yoona akan memulai hidup barunya setelah semua kepindahan mereka hingga sekolah barunya telah diurus oleh ibu tirinya. Wanita itu bahkan telah menyiapkan rumah yang cukup luas untuk ditinggali mereka berdua. Yoona merasa asing dengan tempat ini, meski Korea adalah negeri tempat dirinya dilahirkan. Tapi, gadis itu memang tidak punya kenangan apa-apa disini.
"Im Yoona! Cepat bangun kau! Nanti kau terlambat pergi sekolah—"
Yoona mendesis, dari balik selimutnya. "Kenapa harus sekarang? Aku lelah, mom. Kita baru sampai kemarin, bisakah aku pergi ke sekolahnya minggu depan saja."
"Tidak bisa. Sekarang cepat siapkan dirimu, aku sudah mendaftarkanmu ke sekolah yang bagus dan gunakan seragam yang telah kusiapkan. Aku akan menyiapkan sarapan dan mengantarmu nanti."
"Tapi, mom bahasa Korea-ku tidak begitu baik. Aku harus menyesuaikan diri dulu."
"Jangan banyak alasan. Aku dan ayahmu selalu menggunakan bahasa Korea saat di rumah. Sekarang cepat pergi ke kamar mandi. Atau aku akan memasukkanmu ke dalam mesin cuci!"
Setelah drama pertengkaran antara ibu dan putri tirinya berakhir. Pagi itu—mereka sarapan dengan tenang seperti biasanya. Hingga sang ibu mengantarkannya sampai ke gerbang sekolah karena Yoona benar-benar tidak familiar dengan Korea. Selain itu demi alasan keselamatan, karena putri sambungnya itu kerap berbuat onar dan membolos di sekolah terdahulunya.
"Ingat untuk menjaga sikap. Jangan berbuat onar apalagi berkelahi. Aku sedang sibuk menyiapkan gedung cabang untuk membuka butik baruku. Jadi, aku tidak akan punya waktu untuk datang ke sekolahmu."
"Kapan aku seperti itu?"
"Kau selalu seperti itu. Sejak sekolah dasar hingga tahun keduamu di sekolah menengah atas kau sudah hampir 20 kali pindah sekolah."

KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF EVERYTHING
FanfictionKumpulan cerita | Have a great journey, a head into the universe, finally you are where you belonged.