Mungkin akan lebih baik jika kita dapat membuang segalanya. Hal-hal yang tidak kita ingin. Namun, kenyataan begitu kejam. Setiap kali dirinya menutup mata, semuanya justru kian menyakitkan. Mimpi indahnya telah berakhir.
Wajah ayahnya yang tersenyum. Pelukan hangat neneknya. Panggilan jenaka dari kakaknya. Mereka hilang bersama dengan kobaran api yang membara. Pertanyaannya, mengapa harus menyisakannya seorang diri?
Namanya Im Yoona, 19 tahun dan seorang mahasiswi bisnis. Dulu Yoona pikir hal yang paling menyakitkan adalah saat ibunya pergi meninggalkannya saat masih kecil. Ia tak punya ingatan tentang wanita yang melahirkannya itu. Tapi, seiring waktu Yoona kecil yang mulai bertumbuh melupakannya. Yoona tidak lagi butuh ibunya disaat ia punya ayah, nenek, dan kakak yang sangat menyayanginya.
Hidupnya selalu penuh kebahagiaan. Yoona hidup tak kekurangan sedikitpun, keluarganya punya segalanya. Baik kasih sayang maupun finansial, ia mendapat semuanya dengan porsi yang berlebih dari ayahnya. Fasilitas penunjang hidupnya mewah, Yoona dan kakaknya bahkan telah di persiapkan sebagai pewaris kerajaan bisnis keluarga Im.
Dan semuanya menghilang hanya dalam hitungan waktu. Mengapa dirinya tidak boleh bersedih? Mengapa dirinya tidak boleh menyusul mereka? Orang-orang selalu berkata ia harus hidup, perjalanannya masih panjang. Mereka berkata demikian tanpa tahu bagaimana berada dalam posisinya. Yoona sudah kehilangan harapannya.
Disinilah Yoona membentangkan tangan, menyambut angin yang mencoba memeluknya dengan rasa dingin yang menusuk. Rambut cokelat sepunggungnya berkibar bersama angin. Matanya terpejam menolak melihat corak senja yang terlukis dengan indah di hadapannya. Perlahan, kakinya separuh berpijak pada pagar jembatan, separuh lagi melayang di udara. Hanya sekian detik, sampai kedua kakinya kehilangan pijakan.
Air yang dingin menyambutnya dan Yoona sama sekali tak peduli. Dunia menggelap, tapi Yoona tidak peduli. Dadanya terasa sesak, tapi Yoona masih tidak peduli—dirinya hanya mencoba mengabaikannya. Ia hanya ingin arus sungai menyeretnya hingga menghilang, tenggelam. Kemudian ia bisa pergi dengan damai. Begitulah pikirnya.
Tiga puluh meter ke bawah. Seorang lelaki masih dengan seragam sekolahnya terduduk di pinggiran bantaran sungai. Lelaki dengan nametag Choi Minho menangis dalam diam, meratap menatap kakinya. Ia ingat, minggu lalu sejak dirinya divonis tidak dapat tampil dalam kejuaraan. Bukan hanya untuk sementara waktu—mungkin untuk selamanya. Matanya memanas, perih.
Sang surya akan kembali pada peraduannya, Minho masih tak menyadarinya. Berkas-bekas cahaya jingga tertahan dibalik bayang-bayang jembatan yang menaungi Minho. Dirinya masih termenung hingga mendengar suara air sungai yang berdebur. Ia terlonjak, meski sejenak bingung. Dirinya langsung melompat bertarung melawan arus ketika sadar seseorang jatuh dari atas jembatan.
Penglihatannya memburam, bukan hanya karena air sungai, tapi juga karena matanya yang baru saja menangis itu kian terasa perih. Meski begitu ia berkeras membuka mata dan fokus menemukan seseorang—yang jatuh tadi. Ia melihatnya, samar-samar, dan tak perlu waktu lama untuk segera menyeretnya ke permukaan.
Minho terengah, meraup udara sebanyak yang ia bisa, ia terbatuk sesaat karena tadi sempat menghirup air sungai. Ia langsung mengalihkan atensi menyorot tajam pada sosok yang ia selamatkan. Orang itu tak bergerak, lantas membuat Minho panik. Tangannya dengan sigap—meski awalnya sempat ragu karena yang ditolongnya seorang gadis.
Mengaibaikan hal lainnya, ia segera memberikan CPR (cardio-pulmonary resuscitation)—yang penting adalah keselamatannya. Minho memberikan udara, memindahkannya dari mulut ke mulut, hingga dada si gadis mengembang. Siklus berulang seperti paradoks, sampai akhirnya gadis itu terbatuk, tersengal-sengal.
KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF EVERYTHING
FanfictionKumpulan cerita | Have a great journey, a head into the universe, finally you are where you belonged.