MY TYPE

357 33 9
                                        

"Kau ingat pada janjimu kan? Jangan berusaha mangkir, kecuali kau adalah loser."

Hanbin mengerang pendek. Baru kali ini ia menghujat habis-habisan sifat penuh keraguan dan bimbang yang katanya diwariskan dari zodiaknya yang bersimbol timbangan yang entah nyata atau tidak pada mereka yang lahir di bawah siklusnya. Andai saja Hanbin tidak sebegitu pedulinya dikatai loser. Andai saja Bobby tidak sebegitu ahli memanasi emosinya. Andai saja...

"Kenapa diam saja? Menyerah? Dasar loser."

Hanbin kembali menggeram. "Brengsek! Aku tidak akan mundur! Akan kubuktikan kalau aku berani mencium guru Im di panggung nanti."

Andai saja dirinya tidak membuat sumpah yang sebegitu bodohnya hari itu. Sementara Bobby nyengir kuda, Hanbin nyaris melayangkan tinjunya ke muka makhluk sialan itu. Ia benar-benar tak tahu apa salahnya sampai mendapatkan kutukan seperti ini. Mendapatkan teman nista macam teman-temannya memang sesuatu yang patut di sesali.

Oh, tidak. Sebenarnya Hanbin tahu pasti apa salahnya, ia hanya tak mau mengakui hal tersebut. Semuanya dimulai dua bulan yang lalu..

Saat itu matahari bersinar cerah, langit biru, awan putih, bunga bermekaran, burung berterbangan, apapun. Apapun yang biasa muncul di awal kisah untuk menceritakan tentang dunia yang begitu bersemangat menerbitkan kebahagiaan makhluk-makhluk yang bernaung di bawahnya.

Namun sepertinya, aura positif yang dikeluarkan dunia tampaknya tak dapat menyentuh mereka yang berlabel siswa kelas 3 yang baru saja menghadapi neraka bertajuak ujian akhir Matematika. Wajah-wajah kehilangan roh bak zombie yang dibangkitkan paksa dari kubur satu per satu meninggalkan kelas, menguarkan aura kematian yang begitu pekat di balik punggung masing-masing.

"Tiga.. aku yakin pasti nilaiku tiga atau dua. Argh!" Yunhyeong bergumam sambil menjambak rambutnya frustasi. Siapa sangka lelaki yang katanya Zayn Malik versi Korea dapat sebegitu banyaknya menguras energi hidup akibat ujian.

"Aku gagal.."

"Bin?" Donghyuk bertanya mendengar suara sekarat dari balik punggungnya. Mata lelaki berzodik libra itu seolah kehilangan semangat masa mudanya. "Kau bisa mengerjakannya kan?"

"Tiga puluh tujuh nomor, aku mengandalkan pensil keberuntungan yang dipinjamkan June."

Pensil segi lima yang sudah dituliskan huruf A sampai E. Adik sepupunya yang juga junior mereka itu berkata—entah serius atau tidak, tidak ada yang bisa membedakannya—jika benda itu akan membantu mencarikan jawaban di saat krisis. Donghyuk lebih tidak percaya Hanbin nekat melakukan hal semacam itu. Dan kapan Hanbin sempat meminjam pensil 'takdir' pada si junior eksentrik?

Bobby menjatuhkan dirinya di lantai. Buku catatan Kimia yang seharusnya dibaca sebagai persiapan mata ujian berikutnya terlupakan—tenggelam dalam lautan kepedihan akibat gagal dalam ujian Matematika. "Ternyata aku masih lebih bagus, setidaknya aku bisa mengerjakan semuanya, empat puluh nomor." Siapa sangka. Bahkan di saat tenggelam dalam lautan kepedihan pun Bobby masih sempat memanas-manasi rival abadinya.

"Dan keseluruhannya merupakan rekayasa rumus semata." Hanbin mendecih tak senang. "Jangan terlalu percaya diri. Nilai matematikamu tak pernah lebih dariku, kecoak laut."

"Bah, kalau dihitung-hitung kau juga tak akan dapat nilai lebih dari enam, brengsek."

"Memangnya otak udangmu bisa?"

Lupakan saja tentang cuaca yang sangat indah hari ini. Awan gelap dan petir yang bersahutan mungkin adalah cuaca yang cocok untuk menggambarkan ketegangan yang terjadi di pelataran kelas. Hanya saja siswa-siswa lain sudah belajar untuk tidak peduli—atau tidak ingin peduli—pada dingin yang tercipta. Pribahasa bisa karena biasa memang gambaran yang sangat tepat dan mampu diandalkan.

THEORY OF EVERYTHINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang