"Aku mencintaimu. Maukah kau berjanji selalu—"
"Maaf... aku tidak bisa. Aku baru menyadarinya, ternyata aku sudah mencintai orang lain."
"Apakah orang itu...?"
Lelaki itu mengangguk kecil.
"Maaf, aku hanya menyakitimu. Kupikir aku hanya menganggapmu teman masa kecilku.. kita tidak bisa bersama."
Mengawali hari itu dengan mimpi menyakitkan, aku terbangun tiba-tiba. Kurasakan jantungku berdetak kencang, keringat dingin jatuh melalui pelipisku. Mimpi itu lagi, rutukku dalam hati.
"Lalu apa yang bisa kulakukan disaat kau bahkan tak menginginkan kehidupanku."
Beberapa tahun sejak kejadian itu, sejak aku mengetahui terlalu banyak fakta menyakitkan—sekaligus dalam satu waktu yang berdekatan. Tapi, mungkin lebih baik mengetahuinya daripada terbelenggu dalam ketidaktahuan selamanya. Kau tahu, setiap orang pasti sangat benci di bohongi. Apalagi oleh orang-orang terdekat yang hidup bersamamu selama bertahun-tahun. Dan itulah yang kurasa saat semua orang yang kupikir adalah kebahagiaanku justru berakhir jadi senjata yang menghancurkan diriku.
"Wahai anakku, bangunlah!"
"I-ibu?"
"Engkau tidak berhak mati seperti ini."
"Apa yang—"
"Aku tidak ingin kau berakhir seperti diriku."
"Tunggu, ibu apa yang sebenarnya—"
"Semoga kau menemukan kebahagiaanmu disana. Wahai anakku, aku akan selalu mendoakanmu. Berbahagialah selalu, Im Yoona—putriku tercinta."
"Mimpikah? Lagi? Ibu datang."
Aku kembali terbangun dalam ruangan serba putih, berusaha bangkit dan melihat keadaan sekitar. Kulihat kaki kananku mengalami faktur, dan beberapa bagian tubuhku terasa nyeri akibat benturan itu, terutama bagian kepalaku paling sakit.
"Aku berada di rumah sakit? Jerman?"
Aku mengedarkan pandanganku dan melihat seorang berpakaian serba putih sedang menatapku. Ah, pasti seorang dokter. "Te-terima ka-kasih t-telah m-merawatku," ujarku dengan Bahasa Jerman yang terbata-bata.
Orang itu menghampiriku, "Kau bukan warga kota ini, 'kan?" Aku menggeleng. "Lalu siapa?"
"Aku mahasiswi medical faculty tahun ketiga di Ruprecht-Karls Universität Heidelberg." Jawabku jujur masih dengan Bahasa Jerman yang kuhapal di luar kepala sejak setiap aku pergi kesini untuk mengenalkan diri.
"Cih, perkataan seorang calon dokter tapi mengapa mencoba bunuh diri dalam kecelakaan lalu lintas. Syukurlah kau bangun setelah koma dua belas hari. Aku akan repot jika kau tidak bangun, apalagi kau tidak membawa satupun kartu identitas bersamamu."
Aku tersentak, ya terakhir yang kuingat aku mengendarai mobilku dengan pandangan kosong ke jalan raya besar. Secara sadar tak sadar membanting stir ke pembatas jalan—menjatuhkan mobilku pada jurang.
"Dengarkan aku orang asing, kau calon dokter. Hidupmu untuk menyelamatkan nyawa manusia, bukankah di beri kesempatan hidup itu anugerah? Ada banyak sekali pasien dengan penyakit mematikan di luar sana yang berjuang untuk hidup. Berjuang untuk mempertahankan eksistensinya di dunia ini. Tapi, kau—"
KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF EVERYTHING
FanfictionKumpulan cerita | Have a great journey, a head into the universe, finally you are where you belonged.