DOOMSDAY

355 35 2
                                    

"Lari, bodoh!"

Dan sosok tinggi itu menerjangku, satu lengan meraihku ke dalam rangkulan erat. Seketika itu pula adrenalinku terbangun. Aku tak berpikir dua kali untuk turut berlari di samping lelaki bertubuh jangkung itu, dengan langkah kaki berderap panik dan mematahkan dedaunan kering di jalanan. Sosok lelaki yang baru kutemui itu lantas mengangkat satu lengannya yang bebas, mengarahkan moncong pistol pada mayat hidup yang tinggal berjarak satu meter lagi dari punggungku

Suara tembakan, itu membuat telingaku berdenging. Aku tidak menoleh lagi ke belakang, tak memelankan langkah sedikitpun. Napasku membentuk kabut tipis di udara.

"K-kau-terima kasih, maaf, aku-"

"Diamlah." Lelaki itu berdecak, kejengkelan terpancar jelas pada kernyitan di keningnya. "Apa matamu masih berfungsi dengan benar? Jumlah mereka terlalu banyak. Kenapa tadi kau tidak melarikan diri? Kau benar-benar ingin terbunuh?"

Aku tak dapat menjawab. Hanya berhasil menggeleng.

Penyelamatku kini terdengar menghela napas. "Kau sendirian?"

Aku mengangguk. "Mm, aku tak punya kelompok dan-maaf. Tadi... tadi aku terlalu kaget dan-"

"Sekarang bukan waktu yang tepat untuk meminta maaf." Perkataanku dipotong, nada bicaranya begitu datar dan tanpa minat, tetapi matanya terarah siaga ke kejauhan, menelisik sekitar. "Kita harus mencari tempat persembunyian yang aman sekarang. Kau lihat gang kecil disana? Masih bisa berlari?"

Sekali lagi, aku menganggukkan kepala.

"Tempatnya gelap, persembunyian sempurna. Kau bisa berlari lebih cepat dari ini? Aku akan menembak mayat yang paling dekat dengan kita, lalu kita pergi ke gang itu. Secepat mungkin."

"...Baiklah."

Kami berlari dalam langkah kaki tergesa, lengan lelaki itu masih dirangkulkan pada pundakku, suatu keajaiban langkah kami bisa berada dalam tempo yang sinkron. Mungkin kepanikan bisa menciptakan berbagai keberuntungan-dan juga mungkin Tuhan mulai menaruh simpati pada nasib kami.

Gangnya tinggal beberapa meter dari jangkauan. Suara tembakan selanjutnya menjadi aba-aba, berhasil menumbangkan satu predator lain di belakang-dan, katana yang sedari awal bersamaku terayun di detik berikutnya. Ujung tajamnya menebas satu sosok mayat hidup lain yang hampir menerjang si lelaki jangkung.

Aku tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum tipis; rupanya, meski mungkin hanya sementara, Tuhan memang memutuskan untuk bersimpati pada kami. Tetapi nyatanya tak ada waktu untuk merayakan itu; lewat sekali sentakan, rangkulan di bahuku mendadak dieratkan dan aku dibawa menuju gang sempit yang begitu gelap.

Kepalaku terantuk pundaknya, dengan reflek aku turut melingkarkan lengan pada pinggang penyelamatku itu saat tubuh kami berguling di atas tanah bersalju. Aku menahan napas. Kegelapan gang kini menyelubungi kami, menyelimuti dengan sensasi dingin yang berpadu dengan perasaan aman. Ya, kegelapan adalah salah satu kelemahan para mayat hidup itu. Mereka tidak bisa melihat dalam gelap, buta sepenuhnya, maka biasanya malam hari adalah waktu yang tepat untuk bergerak di luar ruangan.

Setidaknya, gang ini bisa menjadi tempat persembunyian yang dapat diandalkan selama kami menunggu matahari terbenam. Dan diam-diam aku takjub dengan logika dan keputusan lelaki yang bahkan belum kuketahui namanya itu; ayolah, jelas sulit sekali untuk berpikir jernih pada situasi genting seperti barusan, bukan?

Salju terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Aku tidak menyangka winter yang selalu jadi musim favoritku kini justru malapetaka, membuat menggigil hingga gigiku mulai bergemeletuk. Pelukanku pada sosok itu mengerat tanpa sadar. Hangat tubuhnya entah mengapa terasa menenangkan, menawarkan kedamaian yang ganjil, bagai mercusuar yang menyala terang di tengah badai.

THEORY OF EVERYTHINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang