Dulu ayahku selalu berkata bahwa tak ada gunanya menangisi sebuah film, drama, ataupun sebuah novel. Ya, karena itu tak akan mengubah apapun. Bahkan jika kau ingin akhir cerita yang bahagia, si penulis ingin sebaliknya. Dan kau tidak dapat berbuat apapun selain menerimanya. Mungkin sama seperti takdir yang telah di gariskan, sekuat apapun berusaha-terkadang memang ada sesuatu yang sampai kapanpun tak akan menjadi milikmu.
"Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu."
"Tapi, takdir menghentikan cerita kita sampai disini."
"Ya, kau benar."
"Jadi, ini akhirnya hm?"
"Ini akhirnya."
"Mari temukan kebahagiaan masing-masing.."
Meski ratusan bahkan ribuan kali kukatan hal yang sama 'aku mencintainya', begitupun dengannya. Dan kami justru tidak pernah berakhir bersama. Seperti halnya garis parallel yang tidak akan pernah saling berpotongan. Aku sedih, aku mengutuk segalanya. Menyalahkan takdir yang begitu kejam hingga durhaka pada Tuhan-ku. Lantas apa aku hanya harus menerimanya?
Hey katakan sesuatu padaku..
"Maaf."
Aku masih terdiam saat ia mengatakannya hari itu. Pandanganku berkaca-kaca. Bohong jika kukatakan aku masih sanggup menahan bulir-bulir menyedihkan yang mengalir melalui mataku ini. Bohong jika kukatakan dadaku tidak sesak. Dan bohong jika kukatakan mungkin dalam waktu beberapa hari ke depan aku akan baik-baik saja. Padahal dari awal aku sudah diberi peringatan dan ketentuan yang berlaku.
Sejak awal kau tak dapat memilih kapan dan di mana kau akan dilahirkan-siapa yang jadi orang tuamu. Kau tak dapat memilih kapan sesuatu yang buruk terjadi, kau tak dapat memilih kapan kematian menjemputmu, kau juga tak akan tahu apa yang akan terjadi lima detik ke depan, dan kau pun tak dapat memilih orang yang memang ditakdirkan untuk menemanimu-seumur hidup.
"Takdir. Kau percaya takdir?"
"Aku.. tak tahu."
Takdir ini sungguh lucu, hingga membuat air mataku kering karenanya..
Jungshin, usiaku dua belas tahun ketika mengenalmu. Delapan tahun kemudian kuhabiskan dengan perasaan tersiksa karena terus memendam perasaan padamu. Empat tahun kuhabiskan dengan menahan rindu kepadamu. Lalu enam tahun lamanya aku menjalani hidupku bersamamu sebagai sepasang kekasih.
Dari seluruh hidupku, sebagian besar selalu disibukkan olehmu, Lee Jungshin. Dalam keseharianku, tak pernah ada catatan namamu menghilang untuk satuan mili detik pun. Dalam pikiranku pun, kau setia menetap di sana. Jadi, dalam seluruh hidupku selalu ada kau, bagaimana mungkin aku bisa mengenalkan orang lain pada ayahku?
"Usiamu sudah hampir tiga puluh tahun, Yoona-ya," Itu kalimat ayah setelah meletakan secangkir teh untukku. Aku tersenyum, mengambil teh itu dan menyesapnya, menekan rasa gelisah. Ayah memahami dengan baik bahwa aku tak nyaman dengan topik ini. Beliau menggenggam telapak tanganku. Sepasang netranya yang mulai kusam karena usia menatapku dalam. "Kau selalu bisa menceritakan masalahmu, Yoona-ya. Ayah akan selalu mendengar dan berada dipihakmu."
"Ayah.."
"Usia ayah sudah tidak muda lagi. Aku bisa saja tiba-tiba pergi meninggalkanmu. Jadi, carilah lelaki baik yang akan menemanimu menghabiskan sisa hidup ini."
"Aku sedang berusaha, ayah."
"Siapa pun orang itu, yang terpenting ia haruslah seorang lelaki yang kau cintai dan mencintaimu.." gumam ayah seraya tersenyum pahit.

KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF EVERYTHING
FanfictionKumpulan cerita | Have a great journey, a head into the universe, finally you are where you belonged.