Ivanna menatap kosong ke jendela kamarnya yang terbuka lebar membiarkan cahaya matahari menembus kamarnya yang terlihat berantakan.
Sudah seminggu Hersa pergi dan menghilang tanpa kabar. Ivanna merasa dunianya hancur. Perempuan itu menolak setiap tamu yang datang ke rumah termasuk orang tua dan mertuanya.
Wajahnya terlihat lebih tirus dari sebelum-sebelumnya.
Perempuan itu berjalan keluar dari kamarnya dengan langkah gontai. Tangannya terulur menarik pintu kulkas.
Kosong. Tidak ada apapun di dalam lemari es itu. Hanya ada air putih dan sayuran yang tampak layu.
Ivanna menghembuskan napas lelah.
Perempuan itu mengambil dompet dan kunci mobilnya berniat membeli keperluan dapur yang sudah habis. Jadi jika Hersa pulang, dia bisa langsung memasak makanan kesukaan suaminya itu.Mobil itu berhenti di sebuah supermarket yang tampak ramai sore itu.
Ivanna masuk ke dalam bangunan tempat perbelanjaan dengan pandangan datar. Beberapa pengunjung melihat ke arah Ivanna yang selalu tampak cantik terlebih tatapan kaum adam yang memujanya. Ivanna berjalan tanpa memperdulikan tatapan pengunjung di sana.
Tangannya mengambil beberapa makanan dan sayuran yang biasa ia masak.
Saat hendak mengambil deterjen untuk mencuci, tangan Ivanna tidak sampai menggapainya. Ivanna hampir saja menyerah kalau tidak ada tangan lain yang mengambilkannya.
Ivanna sedikit terkejut melihat siapa orang tersebut.
"Hai." Sapa suara berat itu seraya mengulurkan deterjen yang ingin Ivanna ambil.
Ivanna hanya menatap datar laki-laki di depannya. Tanpa mengambil deterjen ataupun balik menyapanya, Ivanna pergi begitu saja meninggalkan laki-laki itu.
Sepertinya laki-laki itu memang tidak mudah menyerah begitu saja. Dia mengikuti langkah Ivanna yang cepat di depannya.
Ivanna mendengus kesal. Badannya berhenti seketika dan berbalik menatap orang itu.
"Ada perlu apa ya?" Tanyanya dengan malas.
"Bisa kita bicara sebentar?" Tanya laki-laki itu penuh harap.
"Nggak bisa!" Tukas Ivanna.
"Sebentar aja," pinta laki-laki itu lagi.
"Maaf, Faris saya tak punya waktu. Permisi." Ucap Ivanna dan langsung pergi tanpa mendengarkan panggilan Faris.
Setelah membayar belanjaannya, Ivanna langsung pulang ke rumah.
Tidak terasa matahari benar-benar telah tenggelam sepenuhnya.Ivanna membawa belanjaannya tanpa kesulitan sedikitpun. Setelah itu dia langsung masuk ke rumahnya.
"Loh Ummi, Abi, Papa, Mama sama Ira kok ada di sini? Kenapa nggak bilang mau ke rumah? Udah lama? Kenapa nggak telpon Ivanna tadi?" Tanya Ivanna beruntun dengan kening berkerut.
Dian tersenyum kecut. "Sini nak," panggilnya pada Ivanna.
Ivanna menatap Dian dengan bingung. Perasaan tidak enak langsung menyergapnya saat melihat tatapan semua anggota keluarganya dengan raut wajah yang berbeda. Ada yang aneh di sini.
"Ada apa sih?" Tanya Ivanna lagi. Entah mengapa matanya seperti panas. Rasanya ingin menangis.
"Nak, janji sama ummi kamu nggak akan nangis. Ini semua belum pasti." Ujar Dian seraya memegang bahu Ivanna. Sorot matanya memancarkan kesedihan yang membuat Ivanna sesak.
"Maksud Ummi apa?" Tanya Ivanna nyaris berbisik.
"Ini ada apa sebenarnya?" Lanjut Ivanna.
"Iva, kami dapat kabar tentang Hersa." Ucap Ridho mewakili.

KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERFECT HUSBAND (Revisi)
SpiritualCinta itu rasa yang tidak pernah bisa diterka pada siapa dia akan berlabuh, yang datang karena terbiasa bersama atau bisa jadi karena hal yang lainnya. Semua yang terjadi di dunia ini adalah atas izin dari sang maha Pencipta begitupun pertemuan anta...